Bencana alam datang silih berganti. Gempa bumi di Lombok, Palu, dan Situbondo. Letusan gunung berapi di Sinabung-Sumatera dan Agung-Bali. Tak terhitung bencana banjir, longsor, dan tsunami.Â
Indonesia memang terletak  di daerah rawan bencana alam. Labilnya daratan Indonesia akibat dari pertemuan beberapa lempeng bumi yang rawan bergeser dan masuknya wilayah nusantara dalam ring of fire, jajaran gunung berapi aktif di sekitar samudra pasifik. Itu semua membuat Indonesia akrab dengan peristiwa bencana alam.
Setiap bencana datang, selalu langkah spontanitas pertama adalah membuka rekening untuk sumbangan bagi korban bencana alam. Itu dilakukan oleh media cetak maupun televisi, perusahaan pemerintah atau swasta, maupun organisasi keagamaan dan sosial, bahkan perseorangan.
Ketika penggalangan dana dilakukan oleh sebuah badan untuk suatu maksud tertentu, selalu pertanyaan iseng muncul, "Dana tersebut sebetulnya dipakai untuk apa ya?"Â
Transparansi Informasi
Pertanyaan itu sebetulnya wajar, waras, dan normal. Setidaknya menurut Saya. Tapi pertanyaan itu menjadi kurang sopan ditanyakan ketika hal itu terkait dengan sumbangan untuk kemanusiaan dan bencana.
Seakan pertanyaan itu menyiratkan kecurigaan, ketidakikhlasan menyumbang, dan syak wasangka pada pihak pengelola sumbangan.Â
Sebetulnya bukanlah hal yang berlebihan bila dana yang sudah dikumpulkan dari masyarakat untuk suatu tujuan tertentu mesti dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Transparansi mesti berjalan karena dana yang dikumpulkan berasal dari banyak pihak dan untuk banyak pihak juga. Pertanggungjawabannya mesti jelas.Â
Apalagi sudah jamak terjadi penyelewengan dana dilakukan oleh oknum pengumpul dana. Kejadian terakhir, dugaan penyelewengan dilakukan oleh oknum pengumpul dana yang menggunakan dana penanggulangan bencana Sinabung untuk operasi plastik pribadinya.Â
Payung Hukum