Mohon tunggu...
daniellnonok
daniellnonok Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Saya mahasiswa B-, yang mungkin tak selalu bersinar di atas kertas, tapi tak pernah berhenti belajar, merenung, dan mencari makna di balik perjalanan ini. Nilai boleh menilaimu, tapi jangan biarkan ia mendefinisikanmu.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kebijakan Rekrutmen Guru 2025: Meningkatkan Kualitas atau Mengabaikan Realitas?

30 Desember 2024   11:27 Diperbarui: 30 Desember 2024   11:27 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru muda merenung, simbolisasi tantangan kebijakan Dapodik 2025.(Sumber : Ilustrasi oleh OpenAI DALL*E)

Pada tahun 2025, pemerintah Indonesia akan mengunci Data Pokok Pendidikan (Dapodik), menjadikan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai satu-satunya jalur rekrutmen guru. Kebijakan ini, meskipun bertujuan baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan, memunculkan kritik yang tidak bisa diabaikan.

Mengabaikan Perjuangan Lulusan S1 Pendidikan

Sebagai lulusan S1 Pendidikan, kebijakan ini terasa seperti pengingkaran terhadap usaha selama empat tahun menempuh pendidikan. Gelar sarjana pendidikan, yang sebelumnya menjadi langkah awal untuk berkarier sebagai guru, kini dianggap belum cukup. Mahasiswa harus menghadapi tahapan tambahan yang memerlukan biaya, waktu, dan energi, yakni PPG.

Kebijakan ini seolah-olah mengatakan bahwa pendidikan S1 tidak memberikan kompetensi yang memadai untuk menjadi guru, padahal kurikulum sarjana pendidikan sudah dirancang untuk membentuk tenaga pendidik. Lalu, apakah empat tahun di kampus hanya sekadar formalitas?

Tantangan bagi Guru Honorer

Guru honorer yang telah puluhan tahun mengabdi kini menghadapi risiko tersingkir. Kebijakan ini tidak hanya mengabaikan pengalaman mereka tetapi juga mempersulit mereka untuk beradaptasi dengan sistem baru. Bagi guru honorer yang sudah lama mengajar, apakah PPG benar-benar diperlukan untuk membuktikan kompetensi mereka?

Ketimpangan Akses dan Kuota Terbatas

Realitas pendidikan di Indonesia tidak merata. Di daerah terpencil, akses ke PPG seringkali terkendala oleh infrastruktur, teknologi, dan biaya. Selain itu, kuota PPG yang terbatas setiap tahun membuat ribuan lulusan S1 pendidikan harus bersaing, sementara kebutuhan guru di lapangan justru semakin mendesak.

Potensi Kekosongan Guru

Dalam masa transisi menuju kebijakan baru ini, sekolah-sekolah di daerah terpencil berpotensi mengalami kekosongan tenaga pendidik. Selama ini, guru honorer dan lulusan S1 pendidikan yang belum bersertifikat pendidik menjadi penopang utama sekolah-sekolah tersebut. Menghapus jalur alternatif tanpa solusi transisi yang jelas bisa memperburuk ketimpangan pendidikan.

Alternatif Solusi

1. Pengakuan Terhadap Pengalaman: Guru honorer yang sudah lama mengajar seharusnya diberikan sertifikasi berdasarkan pengalaman, bukan hanya melalui PPG.

2. Integrasi Kurikulum PPG ke S1 Pendidikan: Jika PPG dianggap penting, mengapa tidak mengintegrasikan program tersebut ke dalam kurikulum sarjana pendidikan? Dengan begitu, lulusan S1 pendidikan langsung siap mengajar tanpa perlu proses tambahan.

3. Kuota yang Lebih Besar: Pemerintah harus memastikan bahwa kuota PPG mencukupi untuk menampung seluruh lulusan S1 pendidikan, sehingga tidak ada yang merasa terabaikan.

4. Fasilitas untuk Daerah Terpencil: Infrastruktur dan aksesibilitas untuk mengikuti PPG di daerah terpencil perlu ditingkatkan agar tidak ada diskriminasi terhadap calon guru di wilayah tersebut.

Kesimpulan

Kebijakan rekrutmen guru melalui PPG pada tahun 2025 memang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan, kebijakan ini justru bisa menciptakan kesenjangan baru. Lulusan S1 pendidikan dan guru honorer yang telah mengabdi perlu diberikan perhatian lebih. Pendidikan tidak hanya soal standar, tetapi juga tentang menghargai usaha dan kontribusi nyata di lapangan.

Jika kebijakan ini ingin berhasil, pemerintah harus memastikan transisi yang adil dan tidak memberatkan para calon guru serta tenaga honorer. Sebab, pendidikan yang berkualitas bukan hanya soal aturan, tetapi juga tentang keadilan dan keberpihakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun