Pada tahun 2025, pemerintah Indonesia akan mengunci Data Pokok Pendidikan (Dapodik), menjadikan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai satu-satunya jalur rekrutmen guru. Kebijakan ini, meskipun bertujuan baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan, memunculkan kritik yang tidak bisa diabaikan.
Mengabaikan Perjuangan Lulusan S1 Pendidikan
Sebagai lulusan S1 Pendidikan, kebijakan ini terasa seperti pengingkaran terhadap usaha selama empat tahun menempuh pendidikan. Gelar sarjana pendidikan, yang sebelumnya menjadi langkah awal untuk berkarier sebagai guru, kini dianggap belum cukup. Mahasiswa harus menghadapi tahapan tambahan yang memerlukan biaya, waktu, dan energi, yakni PPG.
Kebijakan ini seolah-olah mengatakan bahwa pendidikan S1 tidak memberikan kompetensi yang memadai untuk menjadi guru, padahal kurikulum sarjana pendidikan sudah dirancang untuk membentuk tenaga pendidik. Lalu, apakah empat tahun di kampus hanya sekadar formalitas?
Tantangan bagi Guru Honorer
Guru honorer yang telah puluhan tahun mengabdi kini menghadapi risiko tersingkir. Kebijakan ini tidak hanya mengabaikan pengalaman mereka tetapi juga mempersulit mereka untuk beradaptasi dengan sistem baru. Bagi guru honorer yang sudah lama mengajar, apakah PPG benar-benar diperlukan untuk membuktikan kompetensi mereka?
Ketimpangan Akses dan Kuota Terbatas
Realitas pendidikan di Indonesia tidak merata. Di daerah terpencil, akses ke PPG seringkali terkendala oleh infrastruktur, teknologi, dan biaya. Selain itu, kuota PPG yang terbatas setiap tahun membuat ribuan lulusan S1 pendidikan harus bersaing, sementara kebutuhan guru di lapangan justru semakin mendesak.
Potensi Kekosongan Guru
Dalam masa transisi menuju kebijakan baru ini, sekolah-sekolah di daerah terpencil berpotensi mengalami kekosongan tenaga pendidik. Selama ini, guru honorer dan lulusan S1 pendidikan yang belum bersertifikat pendidik menjadi penopang utama sekolah-sekolah tersebut. Menghapus jalur alternatif tanpa solusi transisi yang jelas bisa memperburuk ketimpangan pendidikan.
Alternatif Solusi
1. Pengakuan Terhadap Pengalaman: Guru honorer yang sudah lama mengajar seharusnya diberikan sertifikasi berdasarkan pengalaman, bukan hanya melalui PPG.
2. Integrasi Kurikulum PPG ke S1 Pendidikan: Jika PPG dianggap penting, mengapa tidak mengintegrasikan program tersebut ke dalam kurikulum sarjana pendidikan? Dengan begitu, lulusan S1 pendidikan langsung siap mengajar tanpa perlu proses tambahan.
3. Kuota yang Lebih Besar: Pemerintah harus memastikan bahwa kuota PPG mencukupi untuk menampung seluruh lulusan S1 pendidikan, sehingga tidak ada yang merasa terabaikan.
4. Fasilitas untuk Daerah Terpencil: Infrastruktur dan aksesibilitas untuk mengikuti PPG di daerah terpencil perlu ditingkatkan agar tidak ada diskriminasi terhadap calon guru di wilayah tersebut.
Kesimpulan
Kebijakan rekrutmen guru melalui PPG pada tahun 2025 memang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan, kebijakan ini justru bisa menciptakan kesenjangan baru. Lulusan S1 pendidikan dan guru honorer yang telah mengabdi perlu diberikan perhatian lebih. Pendidikan tidak hanya soal standar, tetapi juga tentang menghargai usaha dan kontribusi nyata di lapangan.
Jika kebijakan ini ingin berhasil, pemerintah harus memastikan transisi yang adil dan tidak memberatkan para calon guru serta tenaga honorer. Sebab, pendidikan yang berkualitas bukan hanya soal aturan, tetapi juga tentang keadilan dan keberpihakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H