Setelah bertahun-tahun menjalani perjuangan sebagai mahasiswa, melewati tugas-tugas berat, ujian, hingga menyelesaikan skripsi, akhirnya saya berhasil menyelesaikan sidang pada bulan Agustus lalu. Bagi seorang mahasiswa, sidang merupakan puncak dari perjalanan panjang di dunia perkuliahan. Namun, ternyata menyelesaikan sidang bukan berarti akhir dari segalanya. Ada satu tahap penting yang selalu dinantikan oleh setiap mahasiswa akhir: yudisium dan wisuda.
Sayangnya, hingga saat ini, kepastian tentang kapan yudisium dan wisuda akan dilaksanakan masih belum saya dapatkan. Ketidakpastian ini bukan hanya menimbulkan kekecewaan, tetapi juga membebani mental, terutama ketika harus menjawab pertanyaan keluarga, teman, dan orang-orang di sekitar yang menganggap semuanya akan berjalan mulus setelah sidang selesai.
Ketidakjelasan ini membuat saya bertanya-tanya: bagaimana sebuah sistem yang seharusnya mendukung mahasiswa bisa terjebak dalam ketidakpastian? Mengapa mahasiswa yang telah memberikan segalanya untuk menyelesaikan studinya harus menunggu tanpa kepastian? Melalui artikel ini, saya ingin berbagi pengalaman dan refleksi, bukan hanya untuk menyalurkan uneg-uneg pribadi, tetapi juga untuk memberikan suara bagi mahasiswa lain yang mungkin berada dalam situasi serupa.
Proses Setelah Sidang
Bagi banyak mahasiswa, sidang adalah langkah terakhir yang paling menegangkan. Tetapi setelah sidang selesai, biasanya ada proses administrasi lanjutan seperti pengumpulan revisi skripsi, validasi nilai, dan pengurusan dokumen lainnya. Semua ini dilakukan agar mahasiswa bisa mengikuti yudisium, yaitu momen resmi pengesahan kelulusan.
Namun, proses ini seringkali tidak berjalan sesuai ekspektasi. Saya pribadi telah menyelesaikan semua revisi dan kewajiban administratif dalam waktu yang ditentukan. Dengan penuh harap, saya menunggu kabar tentang jadwal yudisium. Sayangnya, waktu terus berlalu tanpa ada informasi yang jelas dari pihak kampus.
Ketidakpastian yang Dialami
Ketidakjelasan ini tidak hanya memengaruhi perasaan saya, tetapi juga rencana hidup saya ke depan. Sebagai mahasiswa akhir, saya punya banyak rencana setelah kelulusan, mulai dari mencari pekerjaan hingga melanjutkan studi. Tetapi tanpa ijazah atau surat keterangan lulus yang resmi, semua rencana itu terpaksa tertunda.
Yang lebih berat adalah menghadapi pertanyaan dari orang-orang di sekitar. "Kapan wisuda?", "Kapan kerja?", atau "Sudah selesai, kenapa belum dapat kabar?" adalah pertanyaan yang sering saya dengar. Meskipun saya tahu mereka hanya ingin menunjukkan perhatian, pertanyaan-pertanyaan ini terasa seperti tekanan tambahan.
Refleksi Pribadi
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa kehidupan pasca kampus tidak selalu berjalan mulus. Sebagai mahasiswa, kita sering diajarkan untuk menyelesaikan tanggung jawab kita dengan baik. Tetapi, terkadang, sistem yang kita harapkan berjalan dengan lancar justru memberikan tantangan yang tidak terduga.
Saya juga belajar pentingnya komunikasi dan advokasi. Sebagai mahasiswa, kita berhak meminta penjelasan dari pihak kampus. Transparansi dan tanggung jawab adalah hal yang harus dimiliki oleh institusi pendidikan. Mungkin pengalaman ini juga menjadi pengingat bahwa kita perlu memperjuangkan hak kita dengan cara yang baik dan konstruktif.
Penutup
Di tengah ketidakpastian ini, saya tidak hanya belajar tentang pentingnya kesabaran, tetapi juga tentang arti sebuah harapan. Setiap langkah yang diambil menuju kelulusan seharusnya dihargai dan dihormati oleh institusi pendidikan yang kita pilih. Yudisium dan wisuda bukan sekadar seremoni, tetapi simbol pengakuan atas kerja keras dan perjuangan setiap mahasiswa yang telah menuntaskan studinya.
Melalui artikel ini, saya berharap pihak kampus dapat lebih transparan dalam memberikan informasi terkait jadwal yudisium dan wisuda, serta lebih sensitif terhadap kondisi mahasiswa yang tengah menunggu kepastian. Bagi sesama mahasiswa yang mungkin berada dalam situasi serupa, saya ingin menyampaikan: tetaplah kuat, jangan ragu untuk bertanya, dan percayalah bahwa setiap perjuangan pasti akan menemukan jalannya.
Sebagai penutup, saya berharap pengalaman ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua baik sebagai mahasiswa maupun sebagai pihak yang bertanggung jawab atas keberlangsungan pendidikan. Semoga ke depan, sistem yang ada dapat lebih baik dan mengutamakan kesejahteraan mahasiswa sebagai prioritas utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H