Baru-baru ini Indonesia menyatakan kerja samanya atau joint statement dengan negara "tirai bambu". Pernyataan ini didapat usai pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Xi Jinping pada pertemuan beberapa waktu lepas di Beijing.Â
Dilansir dari situs berita CNN, pertemuan ini membahas kerja sama maritim kedepannya antara China dan Indonesia beserta beberapa topik panas yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam pembicaraan secara bilateral tersebut, kerja sama kedua negara sepakat untuk menguatkan mitra perdagangan dalam hal perikanan hingga pelatihan militer di bidang maritim.Â
Dalam kerja sama ini, kedua negara akan meningkatkan kerja samanya di wilayah laut china selatan. Wilayah laut ini bersampingan dengan laut natuna yang mana merupakan wilayah strategis dan merupakan timbunan emas bagi Indonesia.
Laut natuna teridentifikasi memiliki banyak flora, fauna, serta cadangan minyak-gas yang besar di Indonesia. Dikutip dari tribunnews, cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 1.400.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680.000 barel. Aset pentong ini sudah jelas menjadi target dari negara-negara besar yang tamak.Â
Natuna dapat dikatakan sebagai target empuk arena posisinya yang cukup jauh dari dua pulau besar di Indonesia, menjadikannya rawan eksploitasi sewenang-wenang dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Posisi ini cukup menyulitkan untuk pengiriman logistik bilamana terjadi intervensi asing di kawasan Natuna.
Joint statement antara Indonesia dan China, kita dapat berharap peningkatan kekuatan maritim pada Kawasan Natuna serta melancarkan transfer ekonomi kedua negara. Kerja sama ini dapat membantu Indonesia dalam mengisi celah kosong yang menjadi kekurangan angkatan laut Indonesia. Harapannya dengan kerja sama ini, ilegal fishing di Kawasan Natuna dapat dihapuskan berkat kekuatan dua negara yang saling menutupi celah kekurangan masing-masing.
 Indonesia juga dapat lebih berani dalam mempertegas hukum kelautannya karena adanya pihak asing yang membantu menlindungi dari belakang. Kemudian, kerja sama ini juga dapat mempermudah proses ekspor dan impor antara kedua negara.Â
Dengan kata lain, membantu meningkatkan devisa negara lewat sektor penjualan hasil kelautan dan mengisi bagian kosong yang perlu diisi oleh Indonesia. Hubungan yang semakin akrab dapat Indonesia manfaatkan untuk mengiklankan pariwisata budaya yang dimiliki Indonesia. Terutama negara dengan jumlah penduduk kedua terbanyak di dunia saat ini, diharapkan Indonesia semakin dikenal di kancah Internasional.
Dibalik semua kemungkinan yang menggiurkan ini, Indonesia tidak boleh lupa akan konsekuansi lain dari negara-negara tetangga yang berkonflik dengan China di LCS. Konflik di Laut China Selatan bukanlah konflik anyar abad 21. Dikutip dari situs liputan6, konflik laut china selatan telah terjadi sejak tahun 1947 memproduksi peta Laut Cina Selatan dengan sembilan garis putus-putus atau dikenal sebagai "nine-dash line".
Klaim wilayah ini membuat negara Taiwan, Brunei, Malaysia, dan Filipina meradang. Pasalnya, wilayah tersebut juga termasuk dal
am Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) masing-masing negara. Zona ini diukur 200 mil dari bibir pantai dan dihitung sebagai kekayaan alam yang dimiliki negara tersebut. "Nine-dash line" secara kasar, wilayah peta ini memang tidak memakan Wilayah Natuna Indonesia. Hanya saja dengan berkerja sama dalam militer maritim, sama saja dengan memberi rambu hijau kapal perang China untuk mondar mandir di kawasan Laut China Selatan. Atau dengan kata lain, Indonesia menyatakan bahwa Laut China Selatan seluruhnya adalah milik China dan boleh di manfaatkan sepenuhnya oleh China.
Pernyataan kerja sama ini dapat mengurangi kepercayaan asing terutama dari negara asia tenggara serta pihak barat. Sebagai anggota ASEAN yang sangat berpengaruh Indonesia pastinya akan ditekan dengan puluhan sanksi yang muncul dari kerja sama ini. Indonesia harus memperhatikan nasib negara ASEAN yang wilayahnya terdampak "nine-dash line" yang dibuat oleh China.Â
Adapaun ancaman ain yang mengintai Indonesia adalah kekuatan negara-negara barat yang berpengaruh besar terhadap sektor ekonomi, militer, dan politik yang ada di Indonesia. Sebagian besar minyak bumi dan bahan alam lainnya banyak kita impor dari mereka. Jika kerja sama ini dilihat sebagai ancaman bagi pihak barat, maka sanksi embargo dapat mengancam Indonesia. Membawa Indonesia kedalam krisis apokaliptik yang mampu mengahancurkan Indoneisa.
Posisi kerja sama yang dilakukan Indonesia ini, rawan juga oleh sanksi negara-negara lain yang menandatangi hukum perjanjian UNCLOS. Sebagai salah satu negara yang menandatangani perjanjian UNCLOS, penting bagi Indonesia untuk sadar diri dan berhati-hati dari jebakan yang mampu menyeret Indonesia ke konflik wilayah. Bisa saja, China memerangkap Indonesia untuk dijadikan alat guna mengklaim Wilayah LCS.Â
Adapun hasil kerja sama ekonomi ini dapat menjadi bumerang bagi UMKM di Tanah Air yang harus bersaing dengan barang-barang murah dari China. Serta tantangan masuknya kebudayaan asing ke Indonesia yang dapat mengikis kebudayaan Indonesia itu sendiri.
Usaha melakukan kerja sama di Laut China Selatan menjadi pisau bermata dua. Dengan melakukan kerja sama ini, maka Indonesia akan diuntungkan dengan peningkatan sektor maritim dan perekonomian. Tetapi perlu diingat, bahwa itu artinya Indonesia telah siap dengan segala sanksi yang dijatuhkan oleh negara-negara ASEAN dan juga anggota lain negara-negara UNCLOS.Â
Oleh karena itu, ada baiknya bagi pemerintah untuk berfikir matang dalam menjalin kerja sama lanjutan terutama kawasan Laut China Selatan. Jangan sampai membawa babak baru dalam konflik LCS yang dapat membahayakan posisi Indonesia sebagai negara cinta damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H