Mohon tunggu...
Daniel Keynes
Daniel Keynes Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Aegroto dum anima est, spes est

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

27 Juni 2021   17:53 Diperbarui: 27 Juni 2021   22:33 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukum acara perdata menurut Wirjono Projodikoro adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata. Menurut Abdul Manan, hukum acara perdata mengatur hal-hal mengenai mengajukan gugatan kepada pengadilan agama, prosedur cara tergugat membela diri dari penggugat, prosedur hakim sebelum maupun saat pemeriksaan dilaksanakan dan proses hakim dalam memutuskan perkara yang diajukan oleh penggugat serta pelaksanaan putusan sesuai dengan peraturan yang berlaku, agar hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum perdata berjalan dengan sebaik-baiknya.

Dalam hukum acara perdata terdapat pihak yang merasa ada suatu hak yang dilannggar yang disebut dengan penggugat. Apabila penggugat terdiri lebih dari 1 orang maka disebut penggugat I, penggugat II, pengguat III dan seterusya, penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan agar pengadilan dapat memeriksa dan memutuskan perkara yang diajukan oleh penggugat. Pengadilan dalam prosesnya membawa pihak yang dianggap melakukan pelanggaran terhadap hak penggugat disebut dengan tergugat. 

Apaabila tergugat terdiri lebih dari 1 orang maka disebut tergugat I, tergugat II, tergugat III dan seterusnya. Yurisprudensi dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Agustus 1983 No. 1972 K/ Sip/1982, dimuat dalam Yurisprudensi Indonesia, diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, penerbitan 1983-1, halaman 191) dijelaskan bahwa dalam gugatan mengenai barang sengketa dapat hanya ditujukan kepada pihak yang dengan nyata menguasai barang sengketa.

Dari serangkaian proses dalam hukum acara perdata terdapat proses pembuktian. Hukum pembuktian dalam proses litigasi sangat kompleks. Hal ini karena dalam pembuktian harus dapat merekonstruksi kejadian masa lampau sebagai suatu kebenaran. Kebenaran  yang dihasilkan dalam proses litigasi bukanlah kebenaran yang bersifat mutlak melainkan bersifat relatif atau kemungkinan, dalam mengungkapkan kebenaran tentu mengalami kesulitan dalam proses-proses yang dijalani. Kesulitan dapat ditemukan pada 3 faktor yakni: faktor sistem adversarial, pada prinsipnya kedudukan hakim dalam proses pembuktian lemah dan pasif, dan kesulitan menemukan kebearan karena fakta yang diperoleh tidak dianalisis dan diperiksa oleh ahli.

Faktor sistem adversarial, pada sistem ini semua kedudukan para pihak yang berperkaran setara dalam proses peradilan, para pihak memiliki hak untuk mengajukan dan membantah kebenaran dengan adanya proses adversarial. 

Faktor kedudukan hakim dalam sistem adversarial lemah dam pasif, hakim dalam hal ini tidak secara aktif mencari kebenaran di luar lingkup perkara yang diajukan para pihak yang berperkara dalam persidangan. Hakim tidak dapat memberlakukan sistem inkuisitorial dalam melaksanakan proses perdata. 

Dalam hal ini hakim berfungsi untuk mencari kebenaran yang memiliki Batasan seperti tidak dapat memilih alat bukti yang sepurna dan mengikat dalam hal ini hakim tidak dapat memberikan penilaian terhadap alat bukti tersebut. Faktor kesulitan dalam menemukan kebenaran karena fakta dan bukti yang diperoleh tidak diperiksa secara detail dianalisis dan tidak dinilai oleh ahli.

Hukum pembuktian yang merupakan hukum acara memiliki unsur formil dan materiil. Unsur fomil mengatur mengenai prosedur acara pembuktian dalam persidangan. 

Unsur materiil mengatur mengenai wewenangn seperti hak dan kewajiban para pihak yang berperkata. Hukum pembuktian positif diatur dalam Herzien Indlandsch Reglement, Rechteglement voor de Buitengewesten, dan Burgerlijk Wetboek buku IV yang memuat acara contradictoir untuk bidang hukum harta kekayaan dalam proses persidangan perdata sedangkan untuk acara declaratoir atau peradilan volunteer pada asasnya berlaku secara analog dan tidak berlaku hukum pembuktian BW buku IV.

Pembuktian dalam hukum acara memiliki pengertian secara yuridis yakni hakim menerima dasar-dasar atas perkara yang cukup untuk diperiksa dan memastikan tentang kebenaran dalam peristiwa yang diajukan, selain itu menurut Suyling dalam pembuktian juga harus dibuktikan kebenaran dalam persitiwa tersebut tanpa tergantung pada para pihak dan pada putusan yang berdasarkan keyakinan oleh hakim.

Pembuktian juga memiliki unsur historis dalam hal ini pembuktian memproses utnuk menemukan suatu kebenaran yang terjadi dalam peristiwa masa lalu yang memiliki relevansi. Beberapa hal tersebut menjelaskan bahwa dalam pembuktian bertujuan untuk mencari dan menetapkan kepastian dalam fakta yang menghasilkan kebenaran dalam suatu peristiwa melalui proses persidangan yang sudah difasilitasi dengan sarana-sarana dalam hukum. Dalam memberikan pertimbangan setelah menganilisis harus dilakukan secara rasional dengan alasan yang dapat diterima dalam suatu peristiwa yang memberikan kebenaran dan kepastian hukum.

Pembuktian memiliki prinsip umum, prinsip umum dalam pembuktian sebagai landasan dalam penerapan pembuktian. Prinsip umum dalam hukum acara perdata antara lain: pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran formil, pengakuan mengakhiri pemeriksaan perkara, pembuktian perkara tidak bersifat logis, fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan, bukti lawan, dan persetujuan pembuktian.

Pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran formil, hukum acara perdata tidak menganut sistem pembuktian negatif menrut undang-undang (negatief wettelijk stelsel). Pembuktian dapat diajukan berdasrkan kebohongan dan ketidakpastian dari para pihak yang berperkara, dan hakim harus menerima itu  untuk melindungi hak para pihak yang bersangkutan. Hakim harus menerima kebenaran yang diakui tergugat atas gugatan dari penggugat meskipun dilandasi dengan kebohongan atau kepalsuan, adanya pengakuan tergugat atas dalil yang diajukan oleh penggugat menandakan bahwa tergugat telah melepas hak perdatanya dalam perkara. Hal ini berbeda dengan hukum acara pidana yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP yakni harus terdapat minimal 2 alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil yang disertai dengan keyakinan hakim atas kebenaran dalam pembuktian kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa (beyond reasonable doubt).

Pengakuan mengakhiri pemeriksaan terdakwa, dengan adanya pengakuan dari salah satu pihak yang bersengketa secara menyeluruh mengenai materi pokok perkara maka secara prinsip pemeriksaan perkara sudah selesai. Pengakuan ini sebagai tanda telah selesainya hubungan hukum antar pihak yang bersengketa. 

Hal ini juga berlaku apabila penggugat mengakui kebenaran atas bantahan yang diajukan tergugat atas dalil yang diajukan oleh penggugat bahwa dalil itu tidak benar adanya maka dapat dipastikan bahwa gugatan yang diajukan penggugat tersebut tidak benar. Hal ini didukung dengan asas dalam hukum acara perdata yakni hakim bersifat pasif, meskipun hakim mengetahui bahwa pengakuan dari tergugat atau penggugat terdapat kebohongan tetapi hakim harus menerimanya sebagai suatu fakta yang memuat kebenaran serta mengakhiri  pemeriksaan karena dengan adanya pegngakuan maka materi pokok perkara sudah selesai secara keseluruhan.

Sejak dikeluarkannya putusan MA No.288 K/Sip/1973 yang menetapkan bahwa apabila pengakuan yang diberikan tidak benar, hakim dapat menilai suatu pengakuan yang dianggap tidak benar, maka dalam hal ini hakim hakim tidak bersifat pasif secara keseluruhan dalam proses peradilan. Dalam mengakhri perkara secara berbobot jika pengakuan dengan tegas dinyatakan (expressis verbis) dan pengakuan yang dinyatakan murni dan bulat.

Pembuktian perkara secara tidak logis, dalam hukum pembuktian dalam membuktikan perkara tidak selogis apabila dengan menggunakan ilmu pasti. Hal ini dapat terjadi karena dibuat dengan cara yang berujung pada hasil yang mutlak. 

Pembuktian dalam hukum perdata harus memenuhi syarat formil dan materiil tetapi tidak pernah menghasilkan pembuktian yang rasional dan pasti, dalam pembuktian hukum acara perdata selalu bersifat tidak mutlak, maka kebenaran yang dihasilkan dari pembuktian tersebut bersifat relative atau nisbi. 

Alat bukti yang sah juga dalam praktiknya meskipun diperoleh dan memiliki kebenaran hamper 100% tetapi dalam pembuktiannya masih terdapat sedikit keraguan, jika alat bukti itu memang benar adanya tapi disangkal oleh salah satu pihak maka akan timbul sedikit keraguan atas alat bukti tersebut.

Pembuktian dalam hukum acara perdata yang tidak logis hal ini tetap dapat diterima akal manusia. Hal ini menunjukkan bahwa alat bukti tersebut diutarakan sejajar dengan kesadaran dalam masyarakat. Seperti dalam melakukan transaksi dilakukan dengan uang tunai yang sesuai dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga tidak menjamin suatu kepastian, bisa saja uang yang digunakan dalam transaksi merupakan uang palsu dan dapat menimbulkan keraguan sesuai dalam H.R (Ho ge Raad) 5 November 1937, N.J 193.7,250, bahwa dalam menyampaikan fakta pleh para pihak dan saksi terdapat masalah kepastian yang sejak awal sudah disadari, dalam menyampaikan dalam persidangan memungkinkan bersifat duga-dugaan, dilandasi adanya kebohongan, dan pembuktiannya mengandung kepalsuan, namun apabila hakim tidak dapat membuktikan hal-hal tersebut selama persidangan, maka dalam pembuktian mereka terdapat kebenaran fakta.

Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan, tidak semua fakta tidak perlu dibuktikan, hanya yang bersangkutan dengan pokok perkara yang didalilkna penggugat terhadap tergugat. Hal ini sesuai dengan doktrin dan praktik yang dimulai dari doktrin jus curia novit yang menyatakan bahwa haki telah dianggap mengetahui segala hukum positif.

 Adanya perkembangan peraturan perundang-undangan membuat seorang hakim dirasa mustahuk untuk mengetahui seluruh hukum positif sehingga yang perlu diperhatikan dalam permasalahan yakni hakim harus menerapkan hukum yang sesuai dengan permasalahan dan tidak bertentangan dengan hukum positif dan objektif yang berlaku, maka dari itulah tugas hakim dalam mencari hukum yang berlaku dari berbagai sumber peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, komentar hukum dan berita negara. 

Mengenai dasar hukum baik peraturan perudnang-undangan, yurisprudensi, komentar hukum yang berlaku tidak dapat dilakukan tuntutan kepada para pihak yang berperkara untuk membuktikannya. Hal ini sudah menjadi kewajiban hakim untuk menyepurnakan dasar-dasar hukum tersebut.

Bukti lawan, dalam Pasal 1918 KUHPer kalimat terakhir pada frasa pembuktian sebaliknya secara implisit menyatakan adanya pembuktian oleh lawan atau iegenbewijs. Bukti lawan adalah bukti yang diajukan oleh tergugat sebagai dasar untuk membela diri dari dalil yang digugatkan kepada dirinya dan bukti yang diajukan sebagai respon atas bukti penggugat. Bukti lawan dalam pembuktian ini bertujuan untuk menentukan status bukti pengguat dan dapat memengaruhi pertimbangan hakim terhadap tergugat.

Persetujuan pembuktian, para pihak yang bersengkata dapat membuat kesepakatan mengenai alat bukti apa saja yang dapat diajukan. Berdasarkan teori dikenal dengan istilah perjanjian mengenai beban pembuktian , jenis alat bukti, dan pembuktian. Dalam hal alat bukti dapat disepakati alat bukti elektronik seperti: e-mail, screenshoot dan lain-lain. 

Kesepakatan ini hanya terbatas pada perkara yang terdapat dalam bidang komersial. Hal ini juga berlaku adanya itikad baik sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata untuk mencegah pihak yang ingin melanggar perjanjian karena sifatnya mengikat para pihak seperti undang-undang. Misalnya dalam bidang asuransi kebakaran terdapat klausul yang menyatakan bahwa nilai kerugian dinilai oleh juru taksir (apparatsal). Klausul yang dicantumkan dalam polis dapat menjadi bukti kesepakatan bagi para pihak. Apabila ingin mengajukan bukti lawan maka dapat melalui juru taksir kedua.

Peristiwa yang sudah dilakukan pembuktian baik oleh Penggugat maupun Tergugat harus dinilai oleh hakim. Hakim memiliki kewenangan dalam menetukan nilai dari sebuah Alat-alat bukti yang sudah diajukan. Hakim terikat oleh alat-alat bukti tertulis berupa akta dalam memberikan penilaiannya. Sedangkan terhadap alat-alat bukti berupa kesaksian dari saksi-saksi. Hakim memiliki kewenangan dengan bebas dalam menilai kesaksian. Selama undang-undang tidak mengatur sebaliknya maka hakim bebas dalam memberikan penilaian terhadap alat-alat bukti. Penilaian terhadap suatu pembuktian hanya dilakukan oleh hakim, dan hanya judex facti yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.

Terdapat teori-teori yang mengenai batas suatu huku positif dalam mengikat hakim dan para pihak yang berperkara dalam persidangan yakni: teori pembuktian bebas, teori pembuktian negatif, dan teori pembuktian positif. Teori pembuktian bebas, teori ini menyatakan bahwa hakim tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan, hakim memiliki kewenangan sepenuhnya dalam menilai suatu pembuktian. 

Teori pembuktian negatif, teori menyatakan bahwa hakim harus terikat dengan ketentuan-ketentuan yang berisfat negatif yang melarang hakim terlibat dalam sesuatu yang berkaitann dengan proses pemmbuktian. Teori pembuktian postif, teori ini menyatakan bahwa selain ada larangan, terdapat juga perintah hakim, dalam perintah hakim tersebut terdapat syarat. 

Pada umumnya banyak yang menggunakan teori pembuktian bebas dengan memberikan keleluasan kepada hakim dalam mencari kebenaran melalui pembuktian. Pada umumnya banyak yang menggunakan teori pembuktian bebas dengan memberikan keleluasan kepada hakim.

Referensi:

Asser-Annema-Verdam, 1953. Mr.C.Asser's Hadleiding tot de boefening van bet nederlands 

Burgerlijk Recht, Vijfde deel: Van Bewijs, NV, Uitvegers Maatscapij, W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle.

Hamzah, Andi. 2016. KUHP & KUHAP Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Manan, Abdul. 2000. Penerapan Huku Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.

Jakarta: Yayasan Al himah.

Mertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Mertokusumo, Sudikno. 1980. Beberapa Azaz Pembuktian Perdata dalam Praktik

Yogyakarta: Liberty.

Pitlo A. 1986. Pembuktian dan Daluwarsa (terj). Jakarta: Intermasa.

Projodikoro, Wirjono. 1982. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Sumur

Samudera, Teguh. 1992. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Bandung: Alumni

Subekti, R. 1987. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun