Mengenai dasar hukum baik peraturan perudnang-undangan, yurisprudensi, komentar hukum yang berlaku tidak dapat dilakukan tuntutan kepada para pihak yang berperkara untuk membuktikannya. Hal ini sudah menjadi kewajiban hakim untuk menyepurnakan dasar-dasar hukum tersebut.
Bukti lawan, dalam Pasal 1918 KUHPer kalimat terakhir pada frasa pembuktian sebaliknya secara implisit menyatakan adanya pembuktian oleh lawan atau iegenbewijs. Bukti lawan adalah bukti yang diajukan oleh tergugat sebagai dasar untuk membela diri dari dalil yang digugatkan kepada dirinya dan bukti yang diajukan sebagai respon atas bukti penggugat. Bukti lawan dalam pembuktian ini bertujuan untuk menentukan status bukti pengguat dan dapat memengaruhi pertimbangan hakim terhadap tergugat.
Persetujuan pembuktian, para pihak yang bersengkata dapat membuat kesepakatan mengenai alat bukti apa saja yang dapat diajukan. Berdasarkan teori dikenal dengan istilah perjanjian mengenai beban pembuktian , jenis alat bukti, dan pembuktian. Dalam hal alat bukti dapat disepakati alat bukti elektronik seperti: e-mail, screenshoot dan lain-lain.Â
Kesepakatan ini hanya terbatas pada perkara yang terdapat dalam bidang komersial. Hal ini juga berlaku adanya itikad baik sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata untuk mencegah pihak yang ingin melanggar perjanjian karena sifatnya mengikat para pihak seperti undang-undang. Misalnya dalam bidang asuransi kebakaran terdapat klausul yang menyatakan bahwa nilai kerugian dinilai oleh juru taksir (apparatsal). Klausul yang dicantumkan dalam polis dapat menjadi bukti kesepakatan bagi para pihak. Apabila ingin mengajukan bukti lawan maka dapat melalui juru taksir kedua.
Peristiwa yang sudah dilakukan pembuktian baik oleh Penggugat maupun Tergugat harus dinilai oleh hakim. Hakim memiliki kewenangan dalam menetukan nilai dari sebuah Alat-alat bukti yang sudah diajukan. Hakim terikat oleh alat-alat bukti tertulis berupa akta dalam memberikan penilaiannya. Sedangkan terhadap alat-alat bukti berupa kesaksian dari saksi-saksi. Hakim memiliki kewenangan dengan bebas dalam menilai kesaksian. Selama undang-undang tidak mengatur sebaliknya maka hakim bebas dalam memberikan penilaian terhadap alat-alat bukti. Penilaian terhadap suatu pembuktian hanya dilakukan oleh hakim, dan hanya judex facti yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
Terdapat teori-teori yang mengenai batas suatu huku positif dalam mengikat hakim dan para pihak yang berperkara dalam persidangan yakni: teori pembuktian bebas, teori pembuktian negatif, dan teori pembuktian positif. Teori pembuktian bebas, teori ini menyatakan bahwa hakim tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan, hakim memiliki kewenangan sepenuhnya dalam menilai suatu pembuktian.Â
Teori pembuktian negatif, teori menyatakan bahwa hakim harus terikat dengan ketentuan-ketentuan yang berisfat negatif yang melarang hakim terlibat dalam sesuatu yang berkaitann dengan proses pemmbuktian. Teori pembuktian postif, teori ini menyatakan bahwa selain ada larangan, terdapat juga perintah hakim, dalam perintah hakim tersebut terdapat syarat.Â
Pada umumnya banyak yang menggunakan teori pembuktian bebas dengan memberikan keleluasan kepada hakim dalam mencari kebenaran melalui pembuktian. Pada umumnya banyak yang menggunakan teori pembuktian bebas dengan memberikan keleluasan kepada hakim.
Referensi:
Asser-Annema-Verdam, 1953. Mr.C.Asser's Hadleiding tot de boefening van bet nederlandsÂ
Burgerlijk Recht, Vijfde deel: Van Bewijs, NV, Uitvegers Maatscapij, W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle.