Mohon tunggu...
Daniel Keynes
Daniel Keynes Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Aegroto dum anima est, spes est

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

27 Juni 2021   17:53 Diperbarui: 27 Juni 2021   22:33 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembuktian memiliki prinsip umum, prinsip umum dalam pembuktian sebagai landasan dalam penerapan pembuktian. Prinsip umum dalam hukum acara perdata antara lain: pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran formil, pengakuan mengakhiri pemeriksaan perkara, pembuktian perkara tidak bersifat logis, fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan, bukti lawan, dan persetujuan pembuktian.

Pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran formil, hukum acara perdata tidak menganut sistem pembuktian negatif menrut undang-undang (negatief wettelijk stelsel). Pembuktian dapat diajukan berdasrkan kebohongan dan ketidakpastian dari para pihak yang berperkara, dan hakim harus menerima itu  untuk melindungi hak para pihak yang bersangkutan. Hakim harus menerima kebenaran yang diakui tergugat atas gugatan dari penggugat meskipun dilandasi dengan kebohongan atau kepalsuan, adanya pengakuan tergugat atas dalil yang diajukan oleh penggugat menandakan bahwa tergugat telah melepas hak perdatanya dalam perkara. Hal ini berbeda dengan hukum acara pidana yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP yakni harus terdapat minimal 2 alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil yang disertai dengan keyakinan hakim atas kebenaran dalam pembuktian kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa (beyond reasonable doubt).

Pengakuan mengakhiri pemeriksaan terdakwa, dengan adanya pengakuan dari salah satu pihak yang bersengketa secara menyeluruh mengenai materi pokok perkara maka secara prinsip pemeriksaan perkara sudah selesai. Pengakuan ini sebagai tanda telah selesainya hubungan hukum antar pihak yang bersengketa. 

Hal ini juga berlaku apabila penggugat mengakui kebenaran atas bantahan yang diajukan tergugat atas dalil yang diajukan oleh penggugat bahwa dalil itu tidak benar adanya maka dapat dipastikan bahwa gugatan yang diajukan penggugat tersebut tidak benar. Hal ini didukung dengan asas dalam hukum acara perdata yakni hakim bersifat pasif, meskipun hakim mengetahui bahwa pengakuan dari tergugat atau penggugat terdapat kebohongan tetapi hakim harus menerimanya sebagai suatu fakta yang memuat kebenaran serta mengakhiri  pemeriksaan karena dengan adanya pegngakuan maka materi pokok perkara sudah selesai secara keseluruhan.

Sejak dikeluarkannya putusan MA No.288 K/Sip/1973 yang menetapkan bahwa apabila pengakuan yang diberikan tidak benar, hakim dapat menilai suatu pengakuan yang dianggap tidak benar, maka dalam hal ini hakim hakim tidak bersifat pasif secara keseluruhan dalam proses peradilan. Dalam mengakhri perkara secara berbobot jika pengakuan dengan tegas dinyatakan (expressis verbis) dan pengakuan yang dinyatakan murni dan bulat.

Pembuktian perkara secara tidak logis, dalam hukum pembuktian dalam membuktikan perkara tidak selogis apabila dengan menggunakan ilmu pasti. Hal ini dapat terjadi karena dibuat dengan cara yang berujung pada hasil yang mutlak. 

Pembuktian dalam hukum perdata harus memenuhi syarat formil dan materiil tetapi tidak pernah menghasilkan pembuktian yang rasional dan pasti, dalam pembuktian hukum acara perdata selalu bersifat tidak mutlak, maka kebenaran yang dihasilkan dari pembuktian tersebut bersifat relative atau nisbi. 

Alat bukti yang sah juga dalam praktiknya meskipun diperoleh dan memiliki kebenaran hamper 100% tetapi dalam pembuktiannya masih terdapat sedikit keraguan, jika alat bukti itu memang benar adanya tapi disangkal oleh salah satu pihak maka akan timbul sedikit keraguan atas alat bukti tersebut.

Pembuktian dalam hukum acara perdata yang tidak logis hal ini tetap dapat diterima akal manusia. Hal ini menunjukkan bahwa alat bukti tersebut diutarakan sejajar dengan kesadaran dalam masyarakat. Seperti dalam melakukan transaksi dilakukan dengan uang tunai yang sesuai dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga tidak menjamin suatu kepastian, bisa saja uang yang digunakan dalam transaksi merupakan uang palsu dan dapat menimbulkan keraguan sesuai dalam H.R (Ho ge Raad) 5 November 1937, N.J 193.7,250, bahwa dalam menyampaikan fakta pleh para pihak dan saksi terdapat masalah kepastian yang sejak awal sudah disadari, dalam menyampaikan dalam persidangan memungkinkan bersifat duga-dugaan, dilandasi adanya kebohongan, dan pembuktiannya mengandung kepalsuan, namun apabila hakim tidak dapat membuktikan hal-hal tersebut selama persidangan, maka dalam pembuktian mereka terdapat kebenaran fakta.

Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan, tidak semua fakta tidak perlu dibuktikan, hanya yang bersangkutan dengan pokok perkara yang didalilkna penggugat terhadap tergugat. Hal ini sesuai dengan doktrin dan praktik yang dimulai dari doktrin jus curia novit yang menyatakan bahwa haki telah dianggap mengetahui segala hukum positif.

 Adanya perkembangan peraturan perundang-undangan membuat seorang hakim dirasa mustahuk untuk mengetahui seluruh hukum positif sehingga yang perlu diperhatikan dalam permasalahan yakni hakim harus menerapkan hukum yang sesuai dengan permasalahan dan tidak bertentangan dengan hukum positif dan objektif yang berlaku, maka dari itulah tugas hakim dalam mencari hukum yang berlaku dari berbagai sumber peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, komentar hukum dan berita negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun