Media terus berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan ini memengaruhi cara kerja media, dari yang semula sangat terjadwal menjadi semakin fleksibel. Di sisi lain, perilaku audiens turut berubah, dari yang pasif menjadi semakin interaktif.Â
***
Bagi saya, rasanya belum lama ketika banyak penjual koran yang tiap hari lewat depan rumah saya. Dengan sepeda onthel tua, mereka membunyikan bel sembari mengacungkan satu tangannya.
"Koran koran," ucap mereka kala itu.
Namun, suara mereka kian jarang terdengar, pun dengan kertas koran yang besar itu. Orang kini lebih suka membaca dari layar kecil yang bernama smartphone.Â
Berangkat dari fenomena tersebut, tulisan ini  akan membahas mengenai produksi media baik dulu dan sekarang, serta apa pengaruhnya bagi audiens.
Media Masa Lalu
Berbicara tentang media konvensional, tidak bisa kita lepaskan dari kehadiran surat kabar, televisi, dan radio. Media-media tersebut rutin menemani kita mulai dari bangun pagi hingga tidur kembali.
Pada pagi hari, orang tua kita mungkin biasa meminum teh sembari membaca koran untuk mengetahui kabar terbaru. Sebagai media harian, surat kabar selalu disebarkan ke tiap daerah setiap paginya.
Dulu, saya pernah tergabung di salah satu surat kabar di Yogyakarta. Pernah suatu ketika, para pegawai di sana menceritakan tentang bagaimana alur kerja yang mereka lakukan. Kurang lebih seperti ini:
Pada pagi hari, diadakan rapat redaksi untuk menentukan kasus atau isu apa yang akan diliput hari itu. Setelahnya, para jurnalis akan meliput sesuai yang diinstruksikan. Biasanya, naskah paling lambat masuk ke redaktur pada pukul tujuh atau delapan malam.
Setelah koreksi, bagian desain dan layout akan menata sedemikian rupa agar siap cetak. Dini hari biasanya menjadi waktu pencetakan. Pada pukul empat pagi, koran mulai didistribusikan untuk dibaca konsumen.
Satu hal yang sama dari tiap media konvensional adalah keteraturan. Setiap proses telah diberi waktunya masing-masing.
Televisi misalnya, punya runtime yang jarang berubah. Jika di pukul 15.00 terdapat acara berita, maka acara tersebut tidak seketika berubah menjadi pukul 18.00, pun dengan urutan berita yang ditampilkan. Radio juga sama dengan televisi, bedanya hanya tanpa menggunakan visual.
Prinsip keteraturan ini berdampak pada perilaku audiens.Â
Audiens akan cenderung menerima saja apa yang ditampilkan oleh media.
Kita tidak bisa melihat tayangan sepakbola pukul 11.00 jika di jadwal tertera pukul 19.00. Kita juga tidak bisa membaca berita tayangan bola tadi malam di surat kabar esok pagi, karena biasanya baru akan dimuat pada edisi lusa. Atau, kita tidak bisa semena-mena meminta lagu untuk diputar di radio, karena tergantung dari lagu apa yang ingin diputar oleh penyiar.
Prinsip keteraturan media dan penerimaan audiens ini berubah ketika media baru mulai masuk dan berkembang di Indonesia.
Media Baru, Aturan Baru
Kehadiran media baru dipelopori oleh internet, sekitar 25 tahun yang lalu di Indonesia. Saya sudah pernah membahas tentang awal mula kehadiran media baru ini pada tulisan berikut.
Pada awalnya, media baru sebatas hanya media daring. Contohnya seperti detik.com yang juga menjadi salah satu pelopor media daring pertama di Indonesia.
Pada fase ini, audiens bisa mendapatkan informasi nyaris secara real time. Audiens juga dapat memilih berita mana yang ingin dibaca.Â
Maka, satu prinsip penting dalam era ini adalah interaktivitas.
Prinsip ini makin kentara pada era jurnalisme multimedia. Konten multimedia memberi opsi audiens untuk memandu cerita mereka sendiri. Mereka bisa memulai cerita dari banyak bagian, tidak melulu dari awal.
Audiens juga dapat melewatkan bagian yang tidak mereka sukai. Maka, pengalaman terhadap satu konten multimedia bisa jadi berbeda antara satu orang dengan yang lain.
Untuk memenuhi hal ini, media harus beradaptasi dengan cara kerja yang baru. Misalnya, memperbanyak konten visual. Visual berperan penting dalam menarik minat pembaca. Sekarang, tulisan yang baik perlu diimbangi pula dengan visual yang baik, entah berupa foto, video, atau animasi.
Multimedia juga menuntut jurnalis untuk tidak hanya dapat menulis saja, tetapi seperti dikatakan McAdams, mengembangkan kemampuan digital dan familiar dengan alat-alatnya.
Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi media, terutama jurnalis. Mengembangkan kemampuan baru membutuhkan investasi waktu dan tenaga, sementara media berputar dalam arus yang makin cepat.
Maka di video berikut, saya membahas tentang apa saja konsekuensi perkembangan  media bagi jurnalis dan solusi untuk mengatasi masalah tersebut.Â
Transisi Tanpa Henti
Media harus terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Situasi ini membuat media nyaris tak beranjak dari situasi transisi.
Menarik untuk melihat seperti apa rupa media dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan. Apakah kehadiran metaverse misalnya, akan kembali mengubah wajah media sama seperti yang dilakukan media sosial dahulu?
Satu yang pasti, sebagai audiens kita harus tetap menggunakan media dan menyaring informasi di dalamnya dengan bijak.
Salam hangat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H