Mohon tunggu...
Daniel Kalis
Daniel Kalis Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Ingin meraih mimpi lewat untaian kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memahami Roda Kehidupan

4 Januari 2021   14:20 Diperbarui: 10 Januari 2021   19:04 3182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: catatanlaci.com

Kemarin, saat saya baca-baca tulisan di Quora, saya menemukan satu tulisan yang sangat menarik. Tulisan itu membicarakan tentang roda kehidupan, suatu hal yang seringkali disinggung dalam percakapan tentang nasib seseorang. 

Namun, tulisan itu sekaligus memberi saya gambaran lain tentang roda kehidupan dan jawaban atas pertanyaan yang mungkin selama ini kita tanyakan. Pada tulisan ini, saya akan mencoba untuk membahas ulang dan melengkapi apa yang sudah ditulis pada artikel tersebut.

Saya akan memulai dengan sebuah pertanyaan, pernahkah terlintas di benak pembaca pertanyaan-pertanyaan seperti, "Kalau hidup itu seperti roda berputar, kenapa sih kok orang kaya itu terus bertambah kaya dan orang miskin terus hidup miskin?" atau "Kenapa ada orang yang seperti tidak pernah sakit seumur hidupnya dan ada orang yang sakit-sakitan terus seumur hidupnya?"

Pertanyaan ini tentu susah terjawab jika kita mengandaikan roda kehidupan itu seperti ini:

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com
Padahal, roda kehidupan itu lebih mirip seperti ini:

Sumber: catatanlaci.com
Sumber: catatanlaci.com
Ya, hidup tidak sesimpel itu. Hidup ini terdiri dari berbagai komponen yang saling bertautan satu sama lain. Kalau kita andaikan tiap elemen kehidupan adalah gir, maka akan ada gir karir, gir kesehatan, gir asmara, gir pendidikan, gir prestasi, gir kekayaan, dan masih banyak gir lainnya. 

Jika kita mengandaikan hidup seperti roda kayu, maka kita seolah menyamaratakan semua elemen kehidupan menjadi "di atas" dan "di bawah". 

Padahal bisa jadi, misal dalam elemen keuangan kamu sedang di bawah tetapi dalam elemen asmara kamu malah sedang berada di atas. Ya, kehidupan memang tidak bisa digeneralisir.

Satu hal lagi yang perlu diingat adalah tiap orang memiiki roda yang berbeda. Apakah orang kaya tidak pernah "jatuh"? Saya yakin pasti pernah. Namun kejatuhan mereka akan kita anggap tetap pada standar "kaya". Inilah alasan kenapa kita menganggap orang kaya akan tetap kaya, karena indikator yang dipakai untuk mengukur kekayaannnya saja sudah berbeda.

Kekayaan ini pun dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, ada faktor orangtuanya yang memang sudah kaya, faktor relasi, faktor tekad dan kerja keras, faktor pendidikan, dan berbagai macam faktor-faktor lainnya. 

Ini baru tentang kekayaan, belum tentang yang lainnya. Jadi, meski kita punya kehendak atas diri kita sendiri, tetapi kita tidak pernah benar-benar bebas. Kita hidup dalam dunia yang sudah saling berkaitan satu dengan yang lain.

Mari kita ambil contoh orang miskin yang tinggal di emperan sungai. Mayoritas dari mereka berpendidkan dan berpenghasilan rendah. 

Anak-anak mereka juga dibesarkan dengan pola makan dan gizi yang ala kadarnya. Budaya yang tumbuh di sekitar mereka pun juga budaya marjinal yang menghambat mereka untuk naik ke strata yang lebih tinggi. 

Belum lagi jika kita tambah relasi dengan kelas atas yang minim. Maka dari itu, jangan heran jika semisal ada anak tukang sampah yang menjadi sarjana maka beritanya heboh bukan main. 

Ya karena jarang-jarang ada orang yang bisa mendobrak garis nasib ini, butuh effort berkali-kali lipat lebih besar daripada mereka yang sudah mapan.

Saya jadi ingat, dulu saya pernah membaca artikel yang membahas tentang Maudy Ayunda diterima di dua universitas bergengsi dunia. Lalu ada seseorang yang berkomentar begini 

"Maudy Ayunda itu bisa kayak gitu karena keluarganya sudah kaya, biaya hidup dia waktu sekolah aja bisa buat biaya hidup kamu sampai berkeluarga (Maudy dari SD-SMA bersekolah di Mentari Intercultural School yang memang terkenal mahal). Jadi, wajar jika dia bisa sampai pada level itu. Kita yang cuma rakyat biasa ini diterima di universitas negeri juga sudah bersyukur".

Dari komentar tersebut, mungkin ada sebagian dari pembaca yang menganggap hal ini sebagai sebuah rasa pesimis. 

Namun bagi saya, kenyataan yang terjadi memang seperti itu. Kalau ada yang mau mencapai level Maudy dengan kondisi finansial biasa-biasa saja, ya maka harus mengeluarkan effort berkali-kali lipat daripada yang dilakukan Maudy. Semakin sulit tantangannya, semakin sedikit juga yang berhasil.

Kembali ke masalah gir, kecepatan berputar tiap gir ini berbeda. Perawatan yang kita lakukan pun pasti berbeda. Namun, perlu diingat bahwa dari sekian banyak gir tersebut, ada satu gir utama yang mengendalikan semuanya, yakni gir kehidupan. 

Ketika gir ini berhenti, maka semua gir lainnya juga akan berhenti, bahkan ketika mereka belum menyelesaikan putarannya. Ini bisa menjawab pertanyaan kenapa ada manusia yang tidak mendapatkan pasangan hingga akhir hayat atau tidak sempat kaya hingga akhir hayat.

Lalu, bagaimana cara kita menyikapi tentang roda kehidupan ini? Soal ini, saya jadi ingat pepatah yang mengatakan "Berlomba-lombalah dalam hidup". Jujur, saya pribadi tidak setuju dengan pepatah ini. 

Bagaimana bisa kita berlomba jika apa yang dituju saja berbeda? Ibarat lomba lari, pelari pertama 200 meter sudah finish sementara pelari kedua 400 meter baru finish, kan tidak imbang. Maka dari itu, kita sudah harus paham akan jalan hidup kita sendiri.

Sudah paham jalan berarti kita harus tahu tujuan kita hendak ke mana. Ingat, yang menentukan adalah kita sendiri bukan orang lain. Setiap manusia diciptakan unik, jadi tidak bisa disamakan. 

Punya impian yang tinggi itu sah-sah saja, tetapi pastikan kamu memiliki kekuatan untuk menggapainya. Suatu impian yang terlalu muluk biasanya jarang tercapai. Ini juga alasan kenapa resolusi tahun baru biasanya sering gagal, ya karena terlalu muluk dan tanpa langkah-langkah untuk mencapainya yang jelas.

Kedua, pastikan roda kita betul-betul memiliki makna terhadap diri kita sendiri. Sebelum bermakna bagi sesama, alangkah lebih baik untuk bermakna bagi diri kita sendiri. Nikmati makna hidup kalian sebelum membaginya. 

Tujuannya, agar kita merasa tulus dan ikhlas dalam berbagi. Kita berbagi bukan untuk mendapatkan pujian, tetapi karena tulus untuk menolong mereka yang membutuhkan.

Akhir kata, kenali kelebihan dan batasan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Salam hangat .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun