Mari kita ambil contoh orang miskin yang tinggal di emperan sungai. Mayoritas dari mereka berpendidkan dan berpenghasilan rendah.Â
Anak-anak mereka juga dibesarkan dengan pola makan dan gizi yang ala kadarnya. Budaya yang tumbuh di sekitar mereka pun juga budaya marjinal yang menghambat mereka untuk naik ke strata yang lebih tinggi.Â
Belum lagi jika kita tambah relasi dengan kelas atas yang minim. Maka dari itu, jangan heran jika semisal ada anak tukang sampah yang menjadi sarjana maka beritanya heboh bukan main.Â
Ya karena jarang-jarang ada orang yang bisa mendobrak garis nasib ini, butuh effort berkali-kali lipat lebih besar daripada mereka yang sudah mapan.
Saya jadi ingat, dulu saya pernah membaca artikel yang membahas tentang Maudy Ayunda diterima di dua universitas bergengsi dunia. Lalu ada seseorang yang berkomentar beginiÂ
"Maudy Ayunda itu bisa kayak gitu karena keluarganya sudah kaya, biaya hidup dia waktu sekolah aja bisa buat biaya hidup kamu sampai berkeluarga (Maudy dari SD-SMA bersekolah di Mentari Intercultural School yang memang terkenal mahal). Jadi, wajar jika dia bisa sampai pada level itu. Kita yang cuma rakyat biasa ini diterima di universitas negeri juga sudah bersyukur".
Dari komentar tersebut, mungkin ada sebagian dari pembaca yang menganggap hal ini sebagai sebuah rasa pesimis.Â
Namun bagi saya, kenyataan yang terjadi memang seperti itu. Kalau ada yang mau mencapai level Maudy dengan kondisi finansial biasa-biasa saja, ya maka harus mengeluarkan effort berkali-kali lipat daripada yang dilakukan Maudy. Semakin sulit tantangannya, semakin sedikit juga yang berhasil.
Kembali ke masalah gir, kecepatan berputar tiap gir ini berbeda. Perawatan yang kita lakukan pun pasti berbeda. Namun, perlu diingat bahwa dari sekian banyak gir tersebut, ada satu gir utama yang mengendalikan semuanya, yakni gir kehidupan.Â
Ketika gir ini berhenti, maka semua gir lainnya juga akan berhenti, bahkan ketika mereka belum menyelesaikan putarannya. Ini bisa menjawab pertanyaan kenapa ada manusia yang tidak mendapatkan pasangan hingga akhir hayat atau tidak sempat kaya hingga akhir hayat.
Lalu, bagaimana cara kita menyikapi tentang roda kehidupan ini? Soal ini, saya jadi ingat pepatah yang mengatakan "Berlomba-lombalah dalam hidup". Jujur, saya pribadi tidak setuju dengan pepatah ini.Â