Mohon tunggu...
Daniel Kalis
Daniel Kalis Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Ingin meraih mimpi lewat untaian kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Wajah Papua dalam Media Indonesia

10 Desember 2020   10:01 Diperbarui: 10 Desember 2020   10:10 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah negara yang terdiri dari beragam ras dan suku. Semuanya tinggal dalam satu bendera yang sama. Namun, kesenjangan suku kerap terjadi hingga memicu perselisihan, bahkan peperangan. Media seringkali bukannya meredakan, tetapi justru melanggengkan stereotip yang terjadi, dalam hal ini bagi masyarakat Papua.

Mari kita menengok sebentar siaran televisi nasional, kira-kira apa peristiwa mengenai Papua yang diberitakan oleh mereka? OPM? Pembunuhan tentara? Perang suku? Kekerasan? Kemiskinan? Semua pemberitaan itu seolah ingin membangun persepsi kita bahwa Papua adalah tanah yang penuh konflik, tanah yang kejam, atau tanah yang berbahaya untuk ditinggali.

Media massa, terutama televisi bagi beberapa orang menjadi sumber rujukan informasi utama. Dalam konteks etnis/suku, media dapat menggambarkannya lewat tulisan, visual, maupun audiovisual. Dalam konstruksi identitas yang demikian, dilekatkanlah dialek, bahasa, dan karakteristik-karakteristik tertentu yang memungkinkan munculnya persepsi, identitas, dan stereotip terhadap etnis/suku yang bersangkutan (Christiani, 2017).

Di Indonesia, pusat media yang berada di Jakarta membuat masyarakat Papua berada dalam posisi minoritas. Posisi ini membuat informasi mengenai Papua menjadi jarang, dan jika ada seringkali bernada negatif. Dalam sebuah masyarakat yang multikultural, persoalan mengenai mayoritas dan minoritas ini memang akan sering kita temui.

Hal ini diperkuat dengan survei dari Dewan Pers tahun ini mengenai Indeks Kebebasan Pers (IKP) yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Hasilnya, dua provinsi terbawah adalah Papua Barat dan Papua. 

Seperti dilansir Kompas, skor yang rendah ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kasus pembatasan internet di Papua yang sempat terjadi beberapa waktu yang lalu.

Dilansir dari Remotivi, jika kita tarik garis ke belakang, permasalahan mengenai Papua mulai mencuat sejak tahun 1969. Pada tahun tersebut, diadakan Pepera untuk menentukan apakah masyarakat Papua ingin bergabung atau berpisah dari NKRI. Namun, referendum ini dinilai bermasalah karena hanya melibatkan 1025 orang dan sebagian besar dipilih oleh Pemerintah Indonesia.

Pada tahun 2015 yang lalu, sempat ada sedikit cahaya cerah dari Papua. Jokowi akhirnya mengizinkan jurnalis asing untuk meliput di Papua. Namun, pada realitanya izin ini hanyalah kesemuan belaka. Kasus dua jurnalis Perancis yang dideportasi menjadi bukti aktualnya. Tak hanya jurnalis asing, jurnalis lokal pun juga mendapatkan tindak kekerasan. Remotivi mencatat bahwa pada tahun 2016-2017, terdapat tujuh kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua. Padahal, Indonesia telah memiliki UU Pers yang mendukung kebebasan pers dan menentang sensor di media.

Pers diharapkan dapat menjadi pilar keempat demokrasi. Pers harus bisa menjadi sebuah sistem kontrol untuk memastikan pemerintahan yang baik. Namun, pembatasan akses jurnalis untuk meliput berita di Papua pada akhirnya menimbulkan ironi. Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana dan bagaimana kondisi mereka. Masyarakat dibuat buta terhadap sesama warga negaranya sendiri.

Dalam media massa, seringkali sumber informasi resmi yang didapatkan adalah dari aparatur resmi pemerintah seperti polisi dan militer. Suara masyarakat Papua jarang terdengar gaungnya. Masalahnya, informasi yang hanya berasal dari satu sumber rentan akan manipulasi. Kita sudah pernah mengalami masa kelam ini saat Orde Baru.

Pada akhirnya, akses informasi yang serba terbatas ini yang secara tidak langsung memunculkan stereotip-stereotip seperti yang sudah penulis tuliskan di atas. Media akan mengambil frame berdasarkan desas-desus dan informasi yang sangat bias. Jika tidak segera dibenahi, maka Papua akan terus menjadi anak tiri yang seolah terasingkan dari dunia luar.

Efek pemberitaan media ini dapat menyentuh akar rumput. Pola pikir masyarakat kita sangat berpotensi untuk terpancing dari apa yang diberitakan oleh media tersebut. Hal ini selaras dengan teori agenda setting yang menjelaskan bahwa agenda media dapat memengaruhi agenda publik. 

Kondisi  demikian rawan menimbulkan konflik yang berpotensi memecah belah bangsa. Kita mungkin masih ingat akan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, di mana mereka diteriaki dengan kata-kata seperti 'monyet', 'hitam', 'bodoh', dan lain sebagainya. Penulis yakin masih banyak kasus serupa yang tidak terekspos oleh media.

Maka dari itu, bersikap kritis  menjadi hal yang sangat perlu untuk dikembangkan. Kita perlu menumbuhkan pemahaman bahwa berita di media tidak pernah lepas dari kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Maka dari itu, carilah informasi dari berbagai sumber yang kredibel sebagai bahan pembanding. Jangan lupakan juga untuk selalu menumbuhkan sikap toleransi kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali. 

Salam hangat.

DAFTAR PUSTAKA

Christiani, Lintang C. 2017. Representasi Identitas Etnis Papua dalam Serial Drama Remaja Diam-Diam Suka. Jurnal Komunikasi dan Kajian Media 1(1):15-30.

Ihsanuddin. (2020, September 11). Indeks Kemerdekaan Pers di Jakarta, Papua Barat, dan Papua Paling Rendah. Diakses pada 9 Desember 2020 dari  

Remotivi. (2017, September 8). Papua dalam Media Indonesia. Diakses pada 9 Desember 2020 dari

Remotivi. (2019, Oktober 2). Menyensor Papua. Diakses pada 9 Desember 2020 dari https://www.youtube.com/watch?v=TejBXBF4rHE

Samovar, Larry A., et al. Komunikasi Lintas Budaya. Salemba Humanika, 2014.

Wirawan Jerome. (2017, Maret 19). RI deportasi dua wartawan Prancis yang hendak meliput di Papua. Diakses pada 9 Desember 2020 dari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun