Mohon tunggu...
Daniel Kalis
Daniel Kalis Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Ingin meraih mimpi lewat untaian kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mewujudkan Nirwana Dunia

13 September 2020   01:49 Diperbarui: 13 September 2020   02:25 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: payungmerah.com)

Bayangkan kamu dan keluargamu pindah ke suatu desa. Kamu sudah membayangkan akan hidup tenang dan mendapatkan tetangga yang menyenangkan. Namun, imajinasi indahmu itu lantas buyar seketika, pecah berkeping-keping. Rumah yang kamu sewa didatangi sekelompok orang yang mengatasnamakan warga desa. 

Di tengah kerumunan, ada Pak RT yang kemarin kamu datangi untuk mengurus izin. Mereka semua meneriakimu agar segera angkat kaki dari tempatmu berada. Kamu terkejut, tak habis pikir mengenai apa yang terjadi. Ternyata hanya satu persoalan yang mereka permasalahkan, perbedaan agama. 

Kejadian itulah yang terjadi pada Slamet Jumiarto (42), seniman lukis yang ditolak untuk tinggal di Dusun Karet Kecamatan Bantul karena ia dan keluarganya beragama Katolik sementara semua warga dusun tersebut beragama Islam. Kejadian ini sempat viral beberapa waktu yang lalu sampai membuat Bupati Bantul turun tangan untuk menyelesaikan kejadian ini.

Kejadian-kejadian seperti ini saya yakin tidak hanya terjadi sekali dua kali. Banyak diantaranya yang luput dari liputan media. Kejadian yang menimpa Slamet beruntung dapat viral karena video yang dibuatnya.

Beberapa waktu setelahnya, ada peristiwa rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Satpol PP dan berbagai organisasi masyarakat mengepung Asrama Papua selama 24 jam. Lontaran makian bernada rasisme diteriakkan, batu-batu beterbangan menghunjam atap asrama.

Dua contoh di atas, peristiwa yang dialami Slamet Jumiarto dan mahasiswa Papua, wajib menjadi refleksi kita bersama. Pelecehan terhadap nilai-nilai keberagaman adalah benar dan nyata terjadi. Mungkin, kalian juga pernah melihat atau malah mengalami tindakan seperti ini. Saya pernah mengalami diskriminasi agama oleh keluarga besar saya sendiri. Sakit hati? Pasti.

Namun, kejadian itu membuat saya sadar bahwa benar rasa toleransi dan saling menghormati terhadap budaya yang berbeda itu sangatlah penting. Toleransi dan saling menghormati adalah pondasi utama yang menopang negeri ini agar tidak runtuh oleh terpaan diskriminasi dan iri dengki.

Sebagai upaya membangun toleransi dan rasa saling menghormati, penting bagi kita untuk mempelajari komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya terjadi saat anggota dari satu budaya tertentu memberi pesan kepada anggota budaya lain (Samovar, 2014). Jenis komunikasi ini melibatkan interaksi antara orang-orang dengan persepsi budaya dan sistem simbol yang berbeda.

Komunikasi antar budaya sebenarnya sering kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mahasiswa. Biasanya, saat kuliah teman sekelas kita berasal dari berbagai daerah yang berbeda; ada yang dari Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll. Saat kamu berkomunikasi dengan mereka-mereka ini, maka kamu sudah melakukan komunikasi antar budaya.

Komunikasi antar budaya punya satu prinsip dasar yang wajib untuk kamu pahami dan lakukan yaitu:

"Tidak ada budaya yang salah, yang ada hanya berbeda"

Saya pernah kaget dengan teman saya dari Batak yang kalau berbicara seperti marah-marah. Saya lalu bertanya, "Kamu kenapa marah-marah terus sih kalau ngomong?" dan ternyata saya baru tahu kalau logat mereka memang seperti itu. Hal ini tentu berbeda dengan orang Jawa yang cenderung pelan. Apakah mereka salah? Tidak, hanya berbeda.

Dengan pengamalan terhadap prinsip tersebut serta diperkuat dengan sikap toleransi, maka saya yakin impian akan kedamaian dalam keberagaman bisa terwujud. Tak ada lagi perang suku, rasisme, dan diskriminasi. Bayangkan senyaman apa dunia seperti itu, seperti nirwana.

Selain itu, komunikasi antar budaya menjadi semakin penting untuk dipelajari di era globalisasi ini. Dunia makin lama makin tak bersekat. Hubungan antar negara menjadi semakin dinamis. Perpindahan orang dari satu negara ke negara lainnya juga makin mudah berkat perkembangan di bidang teknologi dan transportasi (Samovar, 2014).

Bapak  Nobertus Ribut Santoso, SS, MA, merupakan salah satu contoh yang mengalami hal ini. Beliau sedang menempuh studi doktoral di Filipina. Dalam videonya, beliau menceritakan mengenai berbagai macam budaya di Filipina mulai dari budaya antrinya yang ternyata lebih rapi daripada di Indonesia, makanan khasnya yang berupa embrio bebek, persamaan beberapa kata bahasa Filipina dengan bahasa Indonesia, stereotipe orang Filipina terhadap orang Indonesia, dan masih banyak lagi.

Dari video itu, saya berpikir tentang semakin mudahnya kita untuk bersinggungan langsung dengan budaya lain bahkan hingga budaya asing dengan mudah. Di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, saya pernah mengikuti Cross Cultural Understanding (CCU) di mana kami bertemu langsung dan berinteraksi dengan mahasiswa asing.

Selain itu, ada banyak program juga bagi mahasiswa seperti pertukaran pelajar atau seminar internasional yang mau tidak mau membuat kita bersinggungan dengan budaya dari negara lain. Dengan bekal komunikasi antar budaya, kamu gak perlu khawatir lagi harus bersikap dan berperilaku bagaimana. Semua sudah diajarkan di sana. Tentunya, dengan berpijak pada toleransi dan sikap saling menghargai.

Kalau kamu memang cinta keberagaman dan perdamaian, mari kita buat nirwana dunia melalui komunikasi antar budaya!

Sumber:

Sahana, Munarsih. "Karena Beda Agama, Slamet Jumiarto Ditolak Tinggal Di Desa Pleret Bantul." VOA Indonesia, Voice of America | Bahasa Indonesia, 3 Apr. 2019, diakses pada 12 September 2020 dari www.voaindonesia.com/a/karena-beda-agama-slamet-jumiarto-ditolak-tinggal-di-desa-pleret-bantul/4860378.html.

Samovar, Larry A., et al. Komunikasi Lintas Budaya. Salemba Humanika, 2014.

Video Pengalaman Bapak Nobertus Ribut Santoso, SS, MA di Filipina. Situs Kuliah. Diakses pada 12 September 2020

Widhana, Dieqy Hasbi, et al. "Siklus Rasisme Terhadap Mahasiswa Papua." Tirto.id, Tirto.id, 20 Aug. 2019, diakses pada 12 September 2020 dari tirto.id/siklus-rasisme-terhadap-mahasiswa-papua-egA4.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun