Mohon tunggu...
Daniel HP Simanjuntak
Daniel HP Simanjuntak Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Bersama Orang tua Membangun Pendidikan Berkualitas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akar Masalah di Negeri Ini Ada di Dunia Pendidikan

2 Oktober 2019   04:04 Diperbarui: 2 Oktober 2019   04:34 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang pengajar saya merasa tergelitik dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang mengatas namakan demokrasi. 

Aksi demonstrasi mahasiswa tidaklah salah apabila demokrasi diartikan sebagai kebebasan. Namun saya kurang sependapat dengan arti tersebut. 

Kebebasan menurut saya adalah anarki sehingga tidak bisa dijadikan arti dari demokrasi. Namun sayang konsep yang digunakan dalam UUD 1945, Demokrasi didefinisikan sebagai kebebasan. Misalnya demokrasi diartikan sebagai kebebasan mengemukakan pendapat, berkumpul dll. 

Kata kebebasan harus dihapus dan diganti dalam UUD 1945 karena kata tersebut akan menjadi kunci bagi maraknya demonstrasi yang sering sekali berujung kepada kekisruhan. Kekisruhan dalam demonstrasi tidak terhindarkan karena pada situasi itu akan selalu memancing emosi meski kerap sekali digabungkan "aksi secara damai". 

Kebebasan seperti yang saya katakan sebelumnya merupakan kata yang sangat lekat dengan anarki tidak cocok disandingkan dengan demokrasi. Demokrasi seharusnya menggunakan kata "kesempatan yang sama". 

Artinya dalam demokrasi kita juga seharusnya lebih mengedepankan kesempatan berbicara yang sama atau musyawarah ketimbang voting. 

Dalam demokrasi Pancasila seharusnya voting bukan merupakan opsi apalagi diartikan sebagai demokrasi. Mufakat seharusnya menjadi opsi yang utama dalam demokrasi kita. Perwakilan menjadi opsi terakhir dalam musyawarah Mufakat ketika hal tersebut tidak dapat dilakukan dalam level nasional. 

Kita selama ini dipaksa mengamini DPR dan DPD kita yang dipilih secara voting menjadi cerminan hasil demokrasi Pancasila padahal voting itu adalah cara Barat dalam memutuskan sesuatu yang diadopsi oleh pendahulu kita. 

Demokrasi kita harus kembali kepada akar demokrasi bangsa ini yaitu musyawarah dan Mufakat. 

Hampir dalam setiap Tradisi kita mengedepankan musyawarah dan Mufakat. 

Misalnya dalam adat Batak, disetiap kegiatan adat Batak, dalihan natolu selalu duduk (berkumpul) bersama. Setiap unsur dari  dalihan natolu selalu diberikan kesempatan yang sama untuk berpendapat. 

Saya sangat yakin semua adat di negeri musyawarah dan Mufakat merupakan cara utama dalam mengambil setiap keputusan. 

Akar permasalahan ini ada di dunia pendidikan, ada di kampus kampus dan sekolah sekolah. Lalu apa yang harus direvolusi dalam dunia Pendidikan kita? 

Kata kebebasan pun sering digunakan dalam dunia Pendidikan sehingga baik pendidik maupun peserta didik merasa bebas melakukan apapun yang ada dihatinya tanpa memandang nilai dan norma yang ada, tanpa mengedepankan musyawarah dan Mufakat dengan bijaksana dan Hikmat. 

Orang-orang di dunia Pendidikan merasa tabu dengan demokrasi karena demokrasi dianggap akan merusak marwah pendidikan. 

Anggapan ini terlalu berlebihan, musyawarah dan Mufakat dengan Hikmat dan bijaksana sudah jarang dilakukan di dunia pendidikan. Otonomi, otoritas, dan voting menjadi alasan untuk tidak melakukan musyawarah dan Mufakat di kampus. 

Akibatnya mahasiswa menjadi sangat terbiasa berbicara di luar konteks dan koridor. Hal ini pun terjadi akibat dari metode pembelajaran yang diterapkan di proses pembelajaran kita hanya sebatas ceramah, ceramah, dan ceramah yang pada akhirnya memberikan Penugasan. 

Kita berfikir dengan memberikan tugas yang banyak kita telah membangun karakter penerus bangsa ini. 

Bahkan di negeri ini ada sebuah kampus yang memberikan 6 Penugasan kepada mahasiswanya untuk setiap mata kuliah yang diampuh. Apalagi jika setiap tugas diberikan oleh masing-masing mata kuliah tanpa terintegrasi. Bisa dibayangkan apa yang terjadi? 

Proses pembelajaran seharusnya memberikan tidak hanya pengetahuan namun juga pengalaman yang membentuk afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) bagi peserta didiknya baik pada level individual maupun kelompok. Bukan sekedar memberikan tugas membuat mahasiswa sibuk meng-copy paste tulisan orang lain. 

Diskusi, Problem Based Learning, dan Project Based Learning saya pandang perlu dijadikan metode yang sering dilakukan dalam proses pembelajaran. Konsep Learning harus lebih diutamakan dibanding teaching dalam proses pembelajaran. 

Sehingga nilai musyawarah dan mufakat lebih bisa sering dipraktikkan dan menjadi pengalaman empiris bagi penerus bangsa.

Demokrasi Pancasila itu bukan kebebasan, Demokrasi Pancasila itu bukan Demonstrasi, Voting Bukan Cerminan Demokrasi Pancasila, Demokrasi Pancasila = Kesempatan Yang Sama. 

Jangan pernah menyamakan kebebasan dengan demokrasi. Karena mengartikan kebebasan dengan demokrasi akan membuat kita semakin jauh dengan arti demokrasi Pancasila itu sendiri. 

Rekomendasi:

  1. Bagi anggota DPR yang baru Revisi kata kebebasan yang berkaitan dengan demokrasi dalam semua UU apalagi UUD 1945 kita
  2. Bagi pengajar di kampus dan sekolah untuk lebih sering menggunakan metode diskusi, PBL, dan PjBL dalam proses pembelajaran. 

Salam Demokrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun