Saya seorang gay. Dan apa yang akan Anda baca selama lima belas menit berikutnya, bukanlah pembenaran mengapa saya berada dalam kondisi seperti ini.Â
Cerita ini tidak pernah menjadi alasan buat saya tidak sanggup memiliki hasrat seksual pada lawan jenis. Saya menerima keadaan, tapi sejujurnya saya belum benar-benar berdamai dengan masa lalu.
Ibu saya meninggal dunia saat saya masih terlalu kecil untuk memahami.
"Ibu mau dibawa ke mana?"
Saya ingat betul kata-kata itu keluar dari mulut saya, ketika beberapa orang memapah peti mati milik ibu. Kemudian sebuah acara adat batak diadakan di balai warga, dan ibu pun dikembalikan pada asalnya. Tanah.
Ayah saya seorang pekerja yang harus keluar kota setiap bulannya. Kakak tertua saya masih duduk dibangku sekolah dasar. Tidak ada kemungkinan saya yang masih balita untuk tumbuh dan besar dirumah saya sendiri. Ayah memutuskan menyerahkan saya pada bibi, adik perempuan ayah yang hanya memiliki satu orang putera.
Awalnya semua berjalan sesuai rencana. Tidak ada yang salah sampai saya berusia sembilan tahun dan masih bertahan di rumah bibi.
Menurut sebagian keluarga besar, saya adalah satu-satunya keponakan yang sanggup bertahan di sana lebih dari dua tahun. Kenyataannya saya berada di sana sampai tiga tahun berikutnya.
Tiga tahun yang saya jalani dengan rahasia. Tidak ada satu pun pernah mendengar. Tidak keluarga, tidak bibi saya, tidak kakak saya, tidak pula ayah saya. Rahasia yang tertutup rapat, bukan karena saya takut, bukan karena saya malu.
Saya memutuskan tidak megatakannya pada siapa pun karena tidak siap menerima kenyataan apa yang akan terjadi pada keluarga besar bila mendengar kisah ini. Kisah yang dimulai saat saya duduk dibangku kelas tiga sekolah dasar.
Putra bibi, sepupu saya berusia tujuh tahun lebih tua. Saat saya duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, sepupu saya sudah memasuki masa puber. Ketika itu, sepupu saya yang duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama baru mengenal video porno yang entah dia dapat dari mana.
Ketika paman dan bibi sedang tidak ada di rumah, sepupu saya menonton video tersebut dan meminta saya untuk melakukan oral sex kepadanya.
Lalu, fantasi sepupu saya mungkin menjadi lebih liar. Setiap kali ibu dan ayahnya tidak berada dirumah, saya didandani layaknya wanita lalu diminta untuk melakukan hal sama.
Mungkin Anda akan mengatakan, kenapa mau?
Saat itu saya adalah bocah sekolah dasar yang tidak tahu apa-apa. Saat itu yang saya pikirkan adalah bahwa saya tetap bisa bersekolah dan tidak memikirkan dampak perlakuan itu kepada masa depan saya.
Perlakuan yang membuat saya tumbuh menjadi pria kemayu setidaknya sampai enam tahun berikutnya. Perlakuan yang mengakibatkan saya tidak hanya harus memuaskan nafsu seorang remaja yang sedang puber di rumah, tapi juga menjadi sasaran perundungan oleh anak-anak lain disekolah. Saya tidak tahu harus berlari ke mana. Saya hilang.
Pernah suatu kejadian, sepupu saya berfantasi seolah saya adalah wanita yang dia culik dan perkosa. Saya didandani sedemikian rupa. Dan saya tidak sanggup untuk mengatakan tidak.
Kemayu yang saya dapatkan, berdampak buruk juga di sekolah. Seorang siswa yang terkenal adalah paling nakal, tidak naik kelas selama beberapa kali, juga berhasil menjadikan saya budak nafsunya. Dan saya menjalani kehidupan seperti itu sampai setidaknya lulus dari sekolah dasar.
Saya yakin betul, saat tanda-tanda akan tumbuh menjadi pria yang tidak normal di hadapan masyarakat muncul, bibi saya menyadarinya. Hanya saja, bukannya memberi bantuan, bibi tampaknya lebih bangga saat saya menjadi seperti itu.
Singkat cerita, saya muak tidak hanya oleh sepupu, tidak hanya oleh orangtuanya, tapi saya tidak ingin tinggal di kota yang sama dengannya sama sekali.
Saya tidak ingin melihat wajahnya. Tidak ingin bertegur sapa. Dendam yang membuat saya memaksa ayah agar menyekolahkan saya di Jakarta. Waktu itu saya baru akan duduk di bangku sekolah menengah atas.
Sampai di Jakarta, dengan semua akses yang ada saya mulai mencari informasi mengenai korban perlakuan pelecehan seksual.
Selanjutnya diam-diam saya bertemu dengan beberapa psikiater berusaha menceritakan apa yang saya alami di masa kecil.
Pada kenyataannya, saya tidak pernah benar-benar siap mengutarakan apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga tidak pernah ada solusi.
Apa yang saya rasakan ketika tumbuh dewasa, kemudian menyadarkan saya akan satu hal. Saya seharusnya segera menceritakan apa yang terjadi pada saya tepat ketika saya menyadari kejadian itu adalah sesuatu yang salah.
Saya harus segera meminta bantuan. Saya tidak seharusnya berdiam diri. Karena apa yang terjadi berikutnya, sungguh saya tidak berani lagi mengungkapkannya. Saya ingin mati.
Bukan karena saya merasa diri saya tidak berguna. Bukan karena saya merasa malu dengan luka masa lalu saya. Saya ingin mati, karena saya percaya bahwa tidak ada yang mengerti dengan jalan hidup saya.
Bukan hanya itu, tidak ada yang mau peduli apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Anda menjadi yakin bahwa anda hanya sendiri menjalani beban dunia, tidak ada keinginan lain selain menyelesaikan hidup dan bersatu bersama semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H