Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Belum di Balik Nama, Tanah Dimohonkan Sita Jaminan

5 September 2022   18:32 Diperbarui: 15 September 2022   23:24 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus:
B berhutang kepada A sebesar Rp. 3 miliar. Hutang tersebut telah jatuh tempo bertahun-tahun lalu tetapi belum dibayar oleh B. Akhirnya, mereka sepakat hutang tersebut dilunasi B dengan cara B menjual sebidang tanah dengan bangunan rumah tinggal di atasnya miliknya kepada A. Disepakati berharga Rp. 10 miliar dipotong hutang. Tetapi Sertifikat Tanahnya masih dijaminkan di Bank. 

Pada 10 Januari 2022, A dan B membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) di hadapan PPAT.

Pokok perjanjiannya adalah B menjual tanah dan bangunan rumah itu kepada A seharga Rp. 10 miliar dipotong Rp 3 miliar hutangnya kepada A. A membayar Rp. 7 miliar kepada B yang ditransfer melalui Bank itu. B wajib menggunakan dari uang itu untuk melunasi seluruh hutangnya kepada Bank. Sisanya barulah menjadi miliknya sepenuhnya.

Setelah B melunasi seluruh hutangnya kepada Bank, Bank melakukan roya atas Hak Tanggungan pada Sertifikat itu di BPN, lalu menyerahkan kembali Sertifikat Tanah itu kepada B. B menyerahkan Sertifikat itu kepada A. B mengosongkan rumah itu dan menyerahkan semua kuncinya kepada A. Mulai saat itu A menguasai tanah dan bangunan itu.

A sebetulnya tidak berminat membeli tanah dan bangunan milik B itu. Pembelian itu semata-mata hanya demi permasalahan hutang B kepadanya yang sudah berlarut-larut itu dapat segera diselesaikan. Karena B selalu mengaku belum mampu membayar hutangnya itu.

Sebab itu A tidak segera mengurus balik nama atas tanah dan bangunan yang dibelinya dari B itu. Ia berencana hendak menjualnya kembali.

A tidak segera mengurus balik nama itu juga dengan pertimbangan jika ia langsung melakukan balik nama, maka ia harus membayar biaya balik nama dan pajak yang cukup besar. Padahal ia hendak menjual kembali tanah dan bangunannya itu. Kalau kelak ada yang membeli tanah dan bangunan itu, maka sebagai penjual ia harus membayar sejumlah biaya dan pajak lagi.

Tapi, kemudian pada 1 Juli 2022 A memutuskan untuk mengurus balik nama atas tanah dan bangunan itu di BPN. Betapa terkejutnya ia ketika BPN menolak permohanan balik namanya itu. Padahal semua persyaratan dan dokumen yang diperlukan; sertifikat asli, PJBB, dan lain-lain,  sudah ia lengkapi.

BPN beralasan permohonan balik nama itu belum bisa dikabulkan karena tanah dan bangunan tersebut sedang dimohonkan ke Pengadilan Negeri oleh orang lain untuk disitajaminankan (conservatoir beslag).

Ternyata, B juga punya hutang kepada orang lain, yaitu C.

Karena B telah wanprestasi, pada 10 Mei 2022, C mengajukan gugatan kepada B agar melunasi hutangnya itu di Pengadilan Negeri setempat, disertai dengan permohonan sita jaminan atas tanah dan bangunan yang sama dengan yang telah dijual B kepada A .

Secara hukum apa yang dilakukan oleh C sudah lazim dalam gugatan hutang-piutang seperti itu. Gugatan wanprestasi hutang-piutang biasanya selalu disertai dengan permohonan conservatoir beslag. Supaya jika tergugat tidak mampu atau tidak mau membayar, maka harta bendanya yang dimohonkan untuk disita jaminan dapat disita oleh pihak penggugat dengan perantara juru sita Pengadilan untuk dilelang.

Dasar hukumnya Pasal 1131 KUH Perdata: Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, manjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.

Masalahnya adalah bagaimana dengan nasib A yang telah terlebih dahulu membeli tanah dan bangunanan tersebut secara sah, tetapi belum melakukan balik nama atas namanya?

Dalam kasus ini yang paling menentukan pertama ada dua hal yang sama pentingnya. Yaitu, siapakah yang terlebih dahulu melakukan perbuatan/tindakan hukum atas obyek sengketa yang sama? Ia yang lebihdulu, haknya mengesampingkan hak siapa yang kemudian. Dalam hal ini A yang terlebih dahulu (10 Januari 2022) telah membeli dari B tanah dan bangunan tersebut secara sah menurut UU, yaitu dengan PPJB di hadapan PPAT. Sedangkan C baru mengajukukan gugatannya di PN pada 10 Mei 2022.

Hal kedua, apakah telah terjadi peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut dari B kepada A? Mengingat A belum melakukan balik nama atas namanya?

Pasal 616 KUHPerdata menentukan, penyerahan atas suatu benda tidak bergerak (dalam hal ini tanah) dilakukan melalui pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata, antara lain dengan melakukan pendaftarannya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, setiap perolehan, peralihan, dan pembebanan hak atas tanah harus didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat.

Atas pendaftaran tersebut BPN akan mencatatnya di dalam Buku Tanah dan menerbitkan Sertifikat Tanah-nya untuk diserahkan kepada pemegang haknya sebagai bukti pemilikan hak atas tanah tersebut.

Dalam kasus di artikel ini, A belum melakukan pendaftaran atas PPJB-nya di BPN,  atau dalam bahasa awamnya A belum belakukan balik nama menjadi atas namanya terhadap tanah dan bangunan yang dibeli dari B itu. Sertifikat tanahnya masih atas nama B.  

Apakah dengan demikian belum terjadi peralihan hak atas tanah dari B kepada A?

Dalam praktiknya, masalah pensertifikatan tanah dan pendaftaran peralihan haknya itu sering lambat dilakukan oleh pemilik/pembeli barunya. Padahal ia beritikad baik. Seperti dalam kasus A tersebut di atas.

Pada 9 Desember 2016 Mahkamah Agung RI menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

SEMA tersebut merupakan bagian dari penerapaan sistem kamar di Mahkamah Agung yang salah satu tujuannya untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan hakim di semua pengadilan.

Pada Bagian Kamar Perdata, Perdata Umum angka 7 SEMA itu ditentukan pedoman untuk hakim dalam memutuskan perkara terkait peralihan hak atas tanah berdasarkan PPJB, bahwa:
Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.

Di dalam pedoman dari Mahkamah Agung yang harus dipatuhi hakim itu ditentukan bahwa peralihan hak atas tanah harus dianggap sudah terjadi meskipun belum disertifikasikan atau belum dibaliknama atas nama pemilik/pembeli baru dengan syarat:

1.Pembeli harus sudah membayar lunas harga tanah tersebut;
2.Pembeli sudah harus menguasai obyek tanah tersebut;
3.Pembeli harus pembeli yang bertitikad baik.

Dengan demikian pada kasus tersebut di atas dapat dipastikan bahwa meskipun A belum melakukan balik nama atas namanya untuk tanah dan bangunan yang dibeli dari B berdasarkan PPJB yang dibuat di hadapan PPAT pada 10 Januari 2022 itu, secara hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut harus dianggap sudah terjadi pada saat itu juga.

Alasannya, karena:
1.A telah membayar lunas tanah dan bangunannnya kepada B, B telah menerima baik pembayaran itu, sebagaimana tersebut pada PPJB;
2.Tanah dan bangunan tersebut telah dikosongkan B, semua kunci rumahnya telah diserahkan oleh B kepada A. Dengan demikian A telah menguasai tanah dan bangunan tersebut;
3.A mempunyai itikad baik dalam transaksi jual beli tanah dan bangunan itu dari B.

Tentang itikad baik A itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas tanah dan bangunan itu dilakukan secara resmi menurut hukum yang berlaku, yaitu dengan akta PPJB di hadapan PPAT.

Sertifikat Tanah itu semula dijaminkan B di Bank. Sesuai kesepakatan di antara mereka yang tertuang di PPJB, A telah membayar lunas dipotong hutang B kepadanya harga tanah dan bangunan tersebut. Dengan uang yang diperoleh dari A, B telah menebus hutangnya kepada Bank. Bank melakukan roya Hak Tanggungan pada Sertifikat itu di BPN, lalu mengembalikan Sertifikat itu kepada B. B menyerahkan Sertifikat itu kepada A sebagai pemilik baru.

Dengan demikian A yakin Sertifikat Tanah itu tidak bermasalah. Ia percaya kepada B sebagai pemilik asal yang berhak menjual kepadanya.

Dengan demikian berdasarkan hukum tanah dan bangunan tersebut telah beralih kepada A secara sah pada 10 Januari 2022, meskipun ia belum melakukan balik nama. Maka seharusnya permohonan sita jaminan oleh C atas tanah dan bangunan tersebut, yang baru diajukan pada Juni 2022, dinyatakan tidak dapat diterima oleh hakim pengadilan negeri. Karena tanah dan bangunan tersebut sudah bukan milik B lagi, melainkan A.

Untuk menyelesaikan kasus tersebut tentu harus dengan keputusan hakim. Tapi bisa juga, sebelum para pihak maju di pengadilan, hakim akan berupaya memediasi para pihak untuk lebih baik diselesaikan secara kekeluargaan di antara mereka.
Mungkin C harus diberi pemahaman hukum bahwa oleh karena peralihan hak atas tanah tersebut sudah terjadi kepada A sebelum ia mengajukan gugatan dan permohonan sita jaminannya itu, maka sebaiknya ia mencabut permohon sita jaminannya itu. Supaya tiada sengketa lagi atas tanah tersebut, dan A bisa melakukan tindakan hukum atasnya, seperti menjualnya, atau melakukan permohonan balik nama ke BPN. (dht)

**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun