Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Strategi Terselubung Jokowi di Balik Larangan Ekspor CPO dan Turunannya

3 Mei 2022   23:45 Diperbarui: 4 Mei 2022   00:19 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Tangkapan layar dari YouTube Sekretariat Presiden)

Jumat, 22 April 2022 melalu kanal YouTube Sekretariat Presiden,   Presiden Jokowi mengumumkan ia baru saja memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, terutama tentang ketersediaan minyak goreng dalam negeri. Dalam rapat tersebut ia memutuskan pemerintah melarang sementara ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, mulai tanggal 28 April 2022 sampai dengan batas waktu yang akan ditentukan kemudian.

Jokowi berkata, "Dalam rapat tersebut telah saya putuskan Pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Mulai Kamis, 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian. Saya akan terus memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini, agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau."

Media massa, baik cetak maupun daring kompak menulis beritanya dengan inti judul 'pemerintah melarang ekspor crude palm oil (CPO) dan minyak goreng'. Semua orang terkejut. Negara-negara pengimpor CPO dari Indonesia pun gempar.

Para pengamat ekonomi pun seperti kompak mengkritik kebijakan yang diumumkan Presiden Jokowi tersebut. Para politisi dan media oposan pun ramai-ramai mengecam langkah 'nekad' Jokowi tersebut.

Mereka menyebut kebijakan Jokowi tersebut sangat salah, emosional, destruktif, seperti hendak membunuh tikus rumah ikut dibakar, dan lain sebagainya.

Mereka mengatakan, kebijakan Jokowi tersebut justru akan memperburuk keadaan dan akan berbalik menghantam perekonomian Indonesia. Para petani sawit yang pertama-tama akan menderita kerugian, karena harga tandon buah segar (TBS) sawit pasti akan anjlok tajam seiring dengan terjadinya kelebihan stok CPO yang jauh melebihi kebutuhan di dalam negeri.

Selama ini CPO dan produk turunannya, lebih dari 70 persen, diekspor. Hanya kurang dari 30 persen diserap  pasar domestik. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana jika 100 persennya hanya untuk dalam negeri. Tentu sebagian besarnya tidak terserap.

Hasil panen TBS para petani sawit dipastikan tidak akan terserap pasar domestik. Sedangkan TBS tidak bisa disimpan lama-lama. Cepat rusak.  Perusahaan CPO kecil-menengah pun akan mengalami kesulitan menjual CPO-nya karena ketersediaan jauh melampui kebutuhan domestik.

Negara-negara penghasil CPO lain, terutama Malaysia, yang merupakan negara penghasil CPO kedua terbesar di dunia akan meraih keuntungan besar dari larangan tersebut. Sebaliknya, Indonesia justru akan kehilangan devisa dan pajak ekspor yang sangat besar, puluhan hingga ratusan triliun rupiah. Semakin lama larangan tersebut berlaku Indonesia akan semakin rugi. Negara-negara pengimpor CPO dari Indonesia juga bisa membalas atau menggugat Indonesia di WTO.

Jika larangan itu sampai satu bulan saja, akan banyak petani sawit yang beralih ke tanaman lain, perusahaan sawit akan banyak yang tutup, dan jutaan pekerja terancam kehilangan pekerjaannya.

Para pengamat dan media oposan itu beranalisa dan berkomentar seolah-olah Presiden Jokowi tidak tahu dan tidak mengerti apa akibat dan dampak dari larangan ekspor tersebut.

Segera sesudahnya, prediksi mereka mulai terbukti. Harga TBS sawit petani pun anjlok luar biasa; 30 -- 50 persen. Bahkan di daerah-daerah tertentu ada yang harganya merosot sampai 70 persen. Sebagian dari mereka sengaja membiarkan TBS sawitnya membusuk di pohon karena dipanen pun tidak akan ada yang beli. Kalau ada pun dengan harga yang sangat rendah jauh di bawah modalnya.

Sementara itu harga CPO dan turunannya  di pasar internasional meroket memecah rekor tertingginya. Malaysia untung besar. Sebaliknya saham-saham emiten perusahaan sawit Indonesia rontok akibat dari larangan ekspor tersebut.

Empat hari setelah pengumuman Presiden Jokowi itu, pada 26 April 2022, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto memberi keterangan bahwa pemerintah tidak melarang ekspor CPO, tetapi hanya melarang ekspor bahan baku minyak goreng yaitu refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein. Produk RBD palm olein yang dilarang ekspor berlaku pada kode nomor HS 1511.90.36; 1511.90.37 dan 1511.90.39. Pelarangan ekspor ini dilakukan hingga harga minyak goreng menyentuh Rp 14.000 per liter. Dengan demikian, kata Airlangga, diharapkan pengusaha tetap membeli TBS sawit petani dengan harga wajar.

Kode nomor HS atau Harmonized System adalah suatu daftar penggolongan (klasifikasi) jenis barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan mempermudah penarifan, transaksi perdagangan, pengangkutan dan statistik dalam perdagangan ekspor-impor.

Aslinya CPO yang berasal dari TBS sawit itu berwarna merah tua, kental, mengandung ampas buah sawit, dan berbau menyengat. Dari CPO bisa diolah untuk menjadi berbagai bahan baku banyak produk seperti minyak goreng, biodiesel, deterjen, sabun mandi, dan produk kebersihan lainnya, kosmetik, dan lain-lain.

RBD adalah CPO yang telah disuling (refined), dijernihkan (bleached), dan dihilangkan baunya (deodorized). Disebut juga olein. Sebenarnya sudah berupa minyak goreng tahapan pertama yang belum terlalu bersih. Biasanya disimpan dalam drum berkapasitas 180 kilogram. Sedangkan minyak goreng kemasan adalah olein yang diolah lagi hingga menghasilkan kwalitas minyak goreng yang jauh lebih tinggi; lebih jernih, lebih bersih, lebih higinis, dengan warna bening kekuningan yang jauh lebih menarik.

Pengumuman Airlangga Hartarto untuk 'memperjelas' pengumuman Presiden Jokowi sebelumnya itu sempat membuat lega pengusaha dan petani sawit, dan negara-negara pengimpor CPO dari Indonesia. Tetapi kelegaan mereka itu hanya berlangsung singkat, sebelum kembali shock lagi. Karena hanya sekitar 14 jam kemudian, pada 27 April 2022, Menko Perekonomian itu meralat sendiri penjelasannya itu.

Ternyata, yang benar Presiden melarang sementara semua bahan baku minyak goreng, baik RBD maupun CPO, dan lainnya, dan minyak goreng sampai dengan kebutuhan minyak goreng dalam negeri tercukupi dengan harga terjangkau rakyat banyak.

Kenapa Airlangga sampai 'salah' memperjelas kebijakan Jokowi itu?

Mungkin saja sebenarnya menurut Airlangga jika mau melarang ekspor, seharusnya pemerintah hanya melarang ekspor RBD palm olein. Tidak secara total CPO dan semua turunannya. Mungkin saja masukan itu kemudian disampaikan kepada Presiden Jokowi. Tetapi, ternyata Jokowi berbeda pendapat dengannya. Jokowi ingin CPO dan semua turunannya secara total harus dilarang diekspor. Sebagai bawahan Presiden ia pun terpaksa menurut dengan meralat penjelasannya sebelumnya.

Segera kembali berbagai media ramai-ramai memuat dan menyiarkan kritik dan kecaman lagi dari para pengamat ekonomi, yang melanjutkan kritikan dan kecaman mereka terhadap kebijakan kontroversial Presiden Jokowi tersebut, yang disebut membingungkan, keliru, tidak efektif, destruktif, dan plin-plan pula.

Koran Tempo,  mengkritik pedas kebijakan larangan ekspor Presiden Jokowi itu. Opini media itu edisi 26 April 2022 menulis, kebijakan larangan itu melanggar ketentuan Persetujuan Umum mengenai tarif dan Perdagangan (GATT) 1977 serta GATT 1994 yang berlaku bagi negara anggota WTO.

Ketentuan GATT itu melarang negara anggota WTO menghambat perdagangan internasional yang dapat merugikan negara anggota lainnya. Dengan demikian Indonesia berpotensi digugat negara lain karena larangan ekspor tersebut.

Pada rubrik Editor, Koran Tempo, edisi 28 April 2022 menulis kebijakan Jokowi itu sebagai sebuah kebijakan yang buruk, grasa grusu, asal-asalan, tidak punya landasan argumentasi yang kuat dan jelas.  Airlangga seharusnya memberi masukan kepada Jokowi bahwa keputusan asal populer itu bisa berkonsekuensi buruk bagi perekonomian Indonesia.  

Editor media itu menulis, Jokowi seharusnya paham bahwa pelarangan itu memberi kerugian besar kepada petani sawit, pengusaha, dan pemerintah itu sendiri. Potensi pungutan dari pajak penghasilan, penjualan, ekspor hilang gara-gara kebijakan asal-asalan.

Padahal komoditas CPO itu memberi kontribusi surplus neraca perdagangan senilai Rp. 68,4 triliun setiap bulan dan menyumbang Rp. 15-20 triliun untuk anggaran setiap tahun.

Produksi CPO Indonesia pada 2021 mencapai 51,3 juta ton, jauh di atas konsumsi dalam negeri -- termasuk untuk biodiesel -- pada tahun lalu yang hanya sekitar 18,4 juta ton. Selebihnya, sekitar 34,2 juta ton harus diekspor. Jika larangan itu diberlakukan, mengacu pada data 2021 itu, tentu akan terjadi kelebihan pasokan sebanyak lebih dari 34 juta ton produk CPO dan turunannya itu. Kelebihan pasokan itu tentu akan menghancurkan harga tandon buah segar sawit petani.

Urusan ekspor minyak sawit, tulis Editor Koran Tempo itu, bukan hanya monopoli persoalan dalam negeri. Ada banyak negara yang mengandalkan sawit Indonesia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sebagai eksportir terbesar dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab moral memenuhi kebutuhan minyak sawit global. Kebijakan larangan ekspor bisa merusak kredibilitas Indonesia di mata dunia. Para investor pun akan berpikir ulang untuk menanam duitnya di Tanah Air, karena pemerintah kerap menelurkan kebijakan yang tak ramah investasi.

Sebagai penutup Editor itu, menyarankan kepada Airlangga Hartarto agar mengundurkan diri saja jabatannya sebagai Menko Perekonomian, jika beragam masukannya tidak digubris Jokowi. Mundur dari jabatan mungkin lebih terhormat ketimbang dipermalukan, karena kewenangan mengurus minyak sawit tidak diperlukan lagi.

Beberapa media, seperti Kompas.com, menulis judul beritanya: "Baru Sehari Diumumkan Jokowi Ralat Aturan Larangan Ekspor CPO". 

Padahal yang meralat larangan tersebut adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, bukan Presiden Jokowi. Saat mengumumkan larangan sementara ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, Jokowi tidak pernah menyebutkan secara spesisik tentang CPO. Ia hanya menyebutkan bahwa pemerintah memutuskan mulai tanggal 28 April 2022 melarang untuk sementara bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. 

Tak lama setelah Airlangga Hartarto meralat penjelasannya tentang larangan ekspor tersebut, Presiden Jokowi kembali melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, 27 April 2022, berbicara secara lebih panjang,  jelas dan tegas tentang larangan ekspor tersebut. Selengkapnya sebagai berikut ia berkata: 

"Saya mengikuti dengan saksama dinamika di masyarakat mengenai keputusan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Saya ingin menegaskan bagi Pemerintah, kebutuhan pokok masyarakat adalah yang paling utama. Ini prioritas paling tinggi dalam pertimbangan Pemerintah setiap membuat keputusan. 

Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, ironis, kita malah mengalami kesulitan dalam mendapatkan minyak goreng. Saya minta bagi para pelaku usaha minyak sawit melihat masalah ini dengan lebih baik. Dengan lebih jernih. Dan, saya sebagai Presiden tak mungkin membiarkan itu terjadi. Sudah empat bulan kelangkaan berlangsung, dan Pemerintah sudah mengupayakan berbagai kebijakan. Namun belum efektif. Oleh sebab itu, Pemerintah memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng ke luar negeri. Larangan itu untuk ekspor dari seluruh wilayah Indonesia termasuk dari kawasan barikat. 

Larangan ini memang menimbulkan dampak negatif. Berpotensi mengurangi produksi, hasil panen petani yang tak terserap. Namun tujuan kebijakan ini adalah untuk menambah pasokan di dalam negeri  hingga pasokan melimpah. 

Saya minta industri minyak sawit untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Prioritas dulu dalam negeri. Penuhi dulu kebutuhan rakyat. Semestinya, kalau melihat kapasitas produksi, kebutuhan dalam negeri dengan mudah tercukupi. 

Volume bahan baku minyak goreng yang kita produksi dan kita ekspor jauh lebih besar daripada kebutuhan dalam negeri. Masih ada sisa kapasitas yang sangat besar. Jika semua mau dan punya niat untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai prioritas, dengan mudah kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi. Ini yang menjadi patokan saya untuk mengevaluasi kebijakan itu. Begitu kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi tentu saya akan mencabut larangan ekspor. Karena saya tahu negara perlu pajak, negara perlu devisa, negara perlu surplus neraca perdagangan. Tapi, memenuhi kebutuhan pokok rakyat adalah prioritas yang lebih penting."


Dari penjelasan Presiden Jokowi tersebut jelas sekali bahwa ia mengaku paham atas konsekuensi dari kebijakan larangan ekspor semua bahan baku minyak goreng dan minyak goreng tersebut. Semua konsekuensi itu sudah ia perhitungkan sebelum mengambil kebijakannya melarang ekspor secara total bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Apapun  konsekuensinya Jokowi mengklaim ia selalu memprioritas kebutuhan rakyat banyak. Kebutuhan rakyat banyak selalu ia jadikan dasar untuk semua keptusannya termasuk saat ini terkait kebutuhan rakyat terhadap minyak goreng.

Bagi Jokowi, mau tak mau, suka tak suka, konsekuensi larangan ekspor tersebut harus dilewati bersama, untuk tercapainya tujuan prioritasnya, yaitu demi memenuhi kebutuhan rakyat banyak terhadap minyak goreng. Minyak goreng sudah lama menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat banyak.

Hal tersebut terpaksa diputuskan Jokowi setelah sebelumnya ia sudah cukup sabar melewati kurun waktu empat bulan berlarut-larutnya permasalahan kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng. Berbagai upaya pemerintah lewat Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian telah dilakukan dalam kurun waktu tersebut, tetapi permasalahan kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng itu belum juga teratasi. Ironisnya kita adalah negera penghasil sawit dan CPO terbesar di dunia, tetapi rakyatnya sendiri sulit mendapat minyak goreng. Kalau dapat pun dengan harga yang sangat mahal.

Jokowi menganggap penyebab utama dari tidak efektif atau gagalnya berbagai upaya pemerintah mengatasi permasalahan minyak goreng selama empat bulan itu di antaranya karena kurang adanya pengertian  dan kerjasama dari para pelaku usaha untuk mematuhi peraturan-peraturan yang pernah ditetapkan pemerintah, seperti tentang domestic market obligation (DMO) dan price domestic obligation (DPO) terhadap CPO, dan kewajiban terhadap produsen minyak goreng untuk memproduksi dan mendistribusi minyak goreng curah.

Secara tersirat Jokowi ingin menegaskan kepada para pelaku usaha sawit dan minyak goreng agar mau berpikiran jernih (dengan hati nurani)  melihat persoalan minyak goreng ini agar sadar bahwa betapa ironisnya negeri ini. Negeri penghasil sawit terbesar di dunia, tetapi rakyatnya sangat berkesulitan mendapat minyak goreng dengan harga terjangkau.

Jokowi berharap kepada para pengusaha sawit dan minyak goreng untuk mau berempati dan bersimpatik terhadap kesusahan rakyat itu. Tidak hanya berpikir soal profit, yang selama ini sudah mereka peroleh dalam jumlah yang sangat besar.

Setelah berbagai regulasi gagal mencapai harapan tersebut, Jokowi pun menilai hanya dengan cara ekstrem dan kejutan tingkat tinggi saja yang akan mampu membuat para pelaku usaha sawit dan minyak goreng jera dan sadar untuk mau berpikir jernih dan bekerja sama dengan pemerintah secara maksimal untuk bersama mengatasi permasalahan minyak goreng itu.

Mungkin saja para pelaku usaha terutama yang besar-besar beranggapan pemerintah tak mungkin berani melarang secara total ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, terutama ekspor bahan baku minyak goreng (CPO dan turunannya), karena semua produk tersebut selalu menghasilkan devisa dan pajak ekspor yang sangat besar. Oleh karena itu mereka kerap membandel terhadap pemerintah, dengan selalu lebih mementingkan eskpor daripada memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Tak disangka oleh mereka. Justru larangan ekspor itulah yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.  Sehingga kemungkinan besar mereka sangat terkejut dan terpukul dengan keputusan Jokowi tersebut. Rupanya Jokowi sungguh sangat tegas, seolah-olah ia tak perduli dengan akibat dan dampak dari larangan tersebut akan berbalik merugikan Indonesia sendiri dalam hal potensi kehilangan devisa dan pajak ekspor yang sangat besar. Seolah-olah Jokowi abai terhadap penderitaan para petani sawit yang menderita kerugian yang besar akibat dari larangan ekspor CPO dan turunannya tersebut.

Negara berpotensi kehilangan pendapatan dari devisa dan pajak ekspor yang sangat besar, tetapi para pengusaha sawit itu pun berpotensi akan menderita kerugian yang sangat besar berupa kehilangan keuntungan dari ekspor mereka yang dilarang itu. Semakin lama larangan itu berlaku semakin besar potensi kerugian itu. Belum lagi kemungkinan kehilangan mitra dagangnya di luar negeri karena kegagalan memenuhi kontrak pengiriman CPO dan produk turunannya itu.

Seperti yang disebutkan di atas, Presiden Jokowi bukan tidak memahami atas potensi kerugian besar yang akan dialami Indonesia atas diberlakukannya larangan ekspor CPO dan turunanannya itu. Tetapi ia terpaksa melakukannya untuk memberi shock-therapy dan efek jera kepada para pengusaha ekspor sawit itu.

Tentu Jokowi sangat berharap setelah larangan tersebut para pengusaha ekspor sawit itu akan lebih patuh kooperatif. Lebih serius dalam menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk membuat di negaranya sendiri minyak goreng kembali berlimpah dengan harga terjangkau. Jika target tersebut tercapai, Jokowi berjanji akan segera mencabut larangan ekspor tersebut.

Jokowi juga pasti tak ingin petani sawit menderita kerugian lebih parah dan lebih lama lagi. Ia pasti juga tak mau kerugian bagi pengusaha industri sawit dan negara akibat dari larangan itu berlangsung lebih lama lagi.

Oleh karena itu dalam larangan ekspor CPO dan turunannya dan minyak goreng itu Jokowi memasang strategi "tersembunyi". Agar kerugian tidak menjadi lebih besar lagi ia sengaja mulai memberlakukan larangan tersebut mulai 28 April 2022. Waktu di mana dimulainya hari liburan panjang Lebaran selama 10 hari berturut-turut (sampai dengan 8 Mei 2022).

Otomatis selama liburan panjang itu dampak kerugiannya tidak akan signifikan bagi industri sawit nasional, karena selama itu juga tidak ada kegiatan usaha ekspor CPO dan turunannya itu. Semua kantor dan pabrik industri sawit, petani sawit, pelabuhan ekspor, angkutan, para pekerja, semua pada libur.

Meskipun demikian, Jokowi tentu sangat berharap shock-therapy-nya itu akan efektif membuat jera para pengusaha industri sawit untuk tidak lagi membandel. Agar mereka mau lebih sungguh-sungguh bekerjasama dengan pemerintah demi secepatnya tercapai target pemerintah, yaitu berlimpahnya minyak goreng di negara sendiri dengan harga terjangkau.

Jika tidak demikian, mereka akan khawatir Presiden Jokowi akan lebih lama memberlakukan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng itu.    

Besar harapan kita semua strategi terselubung Jokowi melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng itu akan benar-benar sukses membuat minyak goreng berlimpah dengan harga terjangkau. Semakin cepat semakin baik. (dht).

Baca juga:

Program Minyak Goreng Curah Bersubsidi Terancam Gagal?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun