Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Tiga Periode

26 Maret 2021   21:42 Diperbarui: 27 Maret 2021   14:43 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 13 Maret 2021 lalu, pendiri Partai Umat, Amien Rais, di akun You Tube-nya, Amien Rais Official, menuduh Presiden Jokowi terlibat dalam konspirasi tingkat tinggi untuk mengubah periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode, dengan cara mengamendemenkan (lagi) UUD 1945. 

Amien Rais terang-terangan menuduh Presiden Jokowi berada di dalam konspirasi tingkat tinggi yang dia sebut paling berbahaya itu. Menurutnya, Jokowi didukung kekuatan politik dan keuangan (taipan) yang betul-betul luar biasa. Skenarionya, supaya nanti Jokowi bisa mencekram semua lembaga tinggi, terutama DPR, MPR, dan DPD. Bahkan juga melibatkan TNI dan Polri untuk diajak main politik sesuai dengan selera rezim.

"Jadi, sekarang sudah ada semacam publik opini. Yang mula-mula samar-samar. Tapi, sekarang semakin jelas ke arah mana rezim Jokowi ini untuk melihat masa depannya. Jadi, mereka akan mengambil langkah pertama, meminta sidang istimewa MPR, yang mungkin 1-2 pasal,  yang katanya perlu diperbaiki, yang mana saya juga tidak tahu. Tapi, kemudian, nanti akan ditawarkan pasal baru, yang kemudian memberikan hak bahwa presiden itu bisa dipilih tiga kali. Nah, kalau ini betul-betul keinginan mereka, maka, kita sudah segera bisa mengatakan,  Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un."

Respons Jokowi

Pada 15 Maret 2021, di Istana Merdeka, Jokowi menjawab tuduhan Amien Rais itu.

Presiden Jokowi menjawab: "Apalagi yang saya (harus) sampaikan? Bolak-balik. Sikap saya nggak berubah. Janganlah membuat kegaduhan baru! Kita saat ini tengah fokus pada penanganan pandemi. Dan, saya tegaskan, saya tidak ada niat, tidak ada juga berminat, menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanahkan, dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama-sama!"

Belum cukup. Pada hari yang sama, Jokowi mencuit bantahannya di akun Twitter-nya. Ia kembali menegaskan bahwa ia sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan konstitusi (UUD 1945), maka sikapnya terhadap konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden paling lama dua periode, tidak berubah.

Ia mengajak semua WNI agar mematuhi UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden paling banyak dua periode.

Dalam cuitannya itu secara tersirat Jokowi memberi peringatan kepada Amien Rais agar jangan membuat kegaduhan baru, di saat kita semua sedang fokus pada penanganan pandemi.

Akun Twitter @jokowi
Akun Twitter @jokowi

Akun Twitter @jokowi
Akun Twitter @jokowi
MPR Membantah

MPR juga membantah tuduhan Amien Rais tersebut.

Pada 15 Maret 2021, Ketua MPR, Bambang Soesatyo melalui keterangan tertulisnya kepada media memastikan tidak ada pembahasan untuk memperpanjang periodisasi masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode di internal MPR.

Ia mengatakan, ketentuan tentang masa jabatan presiden tertuang di dalam Pasal 7 UUD 1945, yang memang dapat diubah melalui proses amendemen oleh MPR. Tetapi, tegasnya: "Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD 1945, MPR RI tidak pernah melakukan pembahasan apapun untuk mengubah Pasal 7 UUD 1945."

Bahwa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode itu sudah ditentukan berdasarkan pertimbangan yang matang.

"Pembatasan maksimal dua periode dilakukan agar Indonesia terhindar dari masa jabatan kepresidenan tanpa batas, sebagaimana pernah terjadi pada masa lalu.  Pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode itu juga memastikan regenerasi kepemimpinan nasional dapat terlaksana dengan baik.

Bambang mengingatakan kepada seluruh rakyat Indonesia agar mewaspadai terhadap isu perpanjangan periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode yang sengaja dihembuskan, agar tidak menjadi bahan pertikaian dan perpecahan.

"Stabilitas politik yang sudah terjaga dengan baik, yang merupakan kunci kesuksesan pembangunan, jangan sampai terganggu karena adanya propaganda dan agitasi perpanjangan masa jabatan kepresidenan," tegasnya.

Pernyataan senada juga dilontarkan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Asrul Sani.

Asrul Sani mengatakan, Amien Rais memang terbiasa melontarkan dugaan atau prasangka di ruang publik. Sebagai pimpinan di MPR, pihaknya tidak pernah menerima usulan tersebut. Termasuk, dari partai politik pendukung pemerintah, meski hanya bersifat informal sekalipun.

"Karena itu, saya dan kawan di koalisi parpol pendukung pemerintah. Melihat lontaran Pak AR itu hanya sebagai political joke saja," katanya.

Bagi saya apa yang disuarakan Amien Rais di akun You Tube-nya itu bukan sekadar political joke, seperti yang dikatakan Asrul Sani, tetapi lebih tepat seperti yang disebut Ketua MPR, Bambang Soesatyo.

Secara tersirat Bambang Soesatyo menyebut Amien Rais itu seorang agitator, penghasut yang menyebarkan propaganda untuk menghasut dan mempengaruhi rakyat banyak yang berpotensi mengganggu stabilitas politik yang saat ini sudah stabil.

Kenapa Amien Rais "tiba-tiba" menyebarkan tuduhan yang sedemikian serius kepada Jokowi? Apakah ia mempunyai bukti? Kalau hanya sebagai analisa atau dugaan, seharusnya narasinya bukan menuduh langsung seperti itu.

Wacana 2019

Sebelum kegaduhan yang dibuat Amien Rais itu, Isu tentang wacana mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode terakhir kali ramai dibicarakan pada Oktober -- Desember 2019.

Pada 7 Oktober 2019 Sekretaris Jenderal Partai NasDem Johnny G. Plate, yang juga anggota DPR  (sekarang Menteri Komunikasi dan Infomatika RI) berkomentar tentang rencana amendemen UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN. Ia mengusulkan agar amendemen tersebut sekalian untuk mengubah periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Wacana itu pun dikait-kaitkan dengan Presiden Jokowi. Bahwa wacana amendemen Pasal 7 UUD 1945 itu dimaksud untuk membuka peluang Jokowi maju lagi di Pilpres 2024, alias agar Jokowi bisa menjadi presiden lagi untuk ketiga kalinya.

Sebetulnya dugaan tersebut terlalu sempit sekali. Masakan mengamendemen UUD 1945 hanya untuk kepentingan politik sesaat seorang Jokowi? Ingat, UUD 1945 itu Konstitusi, suatu hukum dasar, sumber dari semua ketentuan peraturan perundang-undangan negara.

Lebih tepat jika dugaannya adalah untuk kepentingan jangka panjang partai-partai politik tertentu. Untuk calon presiden mereka di kemudian hari. Bukan untuk Jokowi.  Apalagi selain itu ada juga terdengar wacana untuk sekaligus mengamendemen UUD 1945 dengan mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden.

Apabila itu terjadi (koalisi) partai politik yang menguasai DPR dan MPR akan leluasa menentukan siapa calon presiden mereka. Dan akan berusaha terus mempertahankan kekuasaan mereka itu untuk terus memilih presiden mereka sampai tiga periode berturut-turut.

Tetapi, itu pun perkara yang mudah dilaksanakan. Karena selain harus melalui prosedur yang ketat sesuai dengan UUD 1945, juga pasti akan mendapat perlawanan yang luar biasa dari segenap rakyat, yang bisa jadi mengakibatkan terjadinya kekacauan politik yang serius.

Pada 2 Desember 2019, di Istana Negara, Jokowi membantah isu tersebut.  

Dia berkata, "Sejak awal, sudah saya sampaikan, kan saya sampaikan bahwa saya ini produk dari pemilihan langsung. Sehingga, saat itu waktu ada keinginan untuk amendemen (UUD 1945), apa jawaban saya? Apakah bisa yang namanya amendemen itu hanya dibatasi untuk urusan haluan negara, apakah tidak melebar ke mana-mana?".

Jokowi mengaku sejak awal dirinya memiliki kekhawatiran bahwa wacana amendemen UUD 1945 yang berlangsung di MPR itu akan melebar. Kekhawatiran itu  menjadi kenyataan.

"Sekarang kenyataannya seperti itu kan. Ada yang lari ke presiden dipilih oleh MPR, ada yang lari presiden tiga periode, ada yang lari presiden satu kali tapi delapan tahun. Kan ke mana-mana seperti yang saya sampaikan".

Maka, menurut Jokowi, lebih baik tidak usah diadakan amendemen UUD 1945 itu. Ia malah curiga kepada orang-orang yang menghendaki dia bersedia menjadi presiden untuk periode ketiga, mempunyai maksud buruk terselubung kepadanya.

"Jadi, lebih baik tidak usah amendemen. Kita konsentrasi saja ke tekanan-tekanan eksternal yang sekarang ini bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan."

"Ada yg ngomong presiden dipilih tiga periode itu, ada tiga (motif) menurut saya. Satu, ingin menampar muka saya; yang kedua ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka; yang ketiga, ingin menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi.

Itu kejadian 2019.

Setelah itu tak terdengar lagi isu amendemen UUD 1945 dengan juga mengubah masa jabatan presiden manjadi tiga periode. Kemudian Amien Rais muncul dengan tuduhan konspirasi langsung kepada Jokowi.

Di Era SBY

Wacana mengubah periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode, pernah mencuat juga di masa periode kedua SBY Presiden.

Adalah Ruhut Sitompul, yang ketika itu adalah salah satu Ketua DPP Partai Demokrat, yang melontarkan gagasan agar MPR mengamendemen Pasal 7 UUD 1945 agar presiden bisa dipilih untuk ketiga kalinya.

Ada indikasi kuat bahwa memang SBY dan Partai Demokrat ingin SBY menjadi presiden untuk ketiga kalinya, dengan terlebih dahulu mengamendemen UUD 1945 tentang masa jabatan presiden.  

Indikasi itu adalah SBY yang beberapakali berupaya keras berkonsilidasi dengan Megawati. Diduga kuat agar PDIP mau berkoalisi dengan pemerintahannya. Ketika itu posisi SBY dan koalisi parpol pendukungnya sangat kuat.

Koalisi parpol pendukung SBY di DPR meliputi Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PKB, dan PPP dengan total 423 anggota. Hanya PDIP (94 anggota), Partai Gerindra (26), dan Partai Hanura (17) yang berada di luar koalisi. Jika PDIP berhasil ditarik untuk bergabung, maka kekuatan SBY di DPR menjadi 517 dari 560 anggota DPR.

Berkali-kali SBY melakukan berbagai upaya pendekatan untuk berkonsilidasi dengan Megawati. Berbagai lobi dilakukan. Tetapi Megawati tidak meresponnya.

Entah itu karena ia masih menyimpan dendam kesumatnya kepada SBY yang dianggap pernah mengkhianatinya, ataukah memang Megawati mengetahui maksud tersembunyi SBY itu.

Ketika itu SBY adalah Menko Polhukam-nya Megawati. Menjelang Pilpres 2004, beredar isu SBY akan ikut kontestasi calon presiden di Pilpres tersebut. Megawati beberapakali mengkonfirmasi hal tersebut kepada SBY, dia membantah.

Ternyata, dia ikut mencalonkan diri di Pilpres tersebut, melawan Megawati yang ketika itu berpasangan dengan Hamzah Haz. Megawati menganggap SBY berbohong dan mengkhianatinya. Sejak itu Megawati tidak pernah lagi mau menyapa SBY sampai sekarang.

Apalagi dengan memainkan drama "playing victim", sebagai korban dizalimi Megawati, SBY yang berpasangan dengan JK berhasil menang telak.

Berkali-kali gagal upaya berkonsilidasi dengan Megawati, SBY mendekati suaminya, Taufiek Kiemas (alm). Taufiek Kiemas pun dirayu dengan jabatan Ketua MPR. Maksudnya supaya akhirnya Megawati luluh hatinya, agar Taufiek Kiemas juga mau membujuk Megawati agar PDIP bergabung dengan SBY.

Ternyata tetap gagal, meskipun Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR berkat dukungan SBY dan Demokrat, Megawati bagaikan batu karang tak tergoyahkan dengan berbagai bujukan SBY.

Godaan

Jokowi tentu merasa tidak perlu menanggapi tuduhan-tuduhan Amien Rais tanpa dasar kepadanya tentang konspirasi dan lain-lain itu. Karena kalau ditanggapi terlalu banyak justru hanya akan membuat kegaduhan-kegaduhan politik baru yang tidak perlu.

Namun, lepas dari tuduhan konspirasi tingkat tinggi tersebut, hikmahnya adalah tuduhan Amien Rais terhadapnya itu juga merupakan suatu peringatan keras, agar ia sungguh-sungguh jangan sampai tergoda mendengar para pembisik di sekitarnya agar bersedia menjadi presiden lagi untuk ketiga kalinya. Itu jika kelak ternyata (koalisi) parpol di MPR nekad melakukan amendemen UUD 1945 dengan juga mengubah periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

"Power tend to corrupt absolute Power Corrupt absolutely", "kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak benar-benar korup (merusak)." Itulah dalil terkenal dari seorang sejarahwan Inggris abad ke-18, John Emerich Edward Dalberg Acton, atau lebih dikenal sebagai Lord Acton (1834-1902), yang sering digunakan untuk mengingatkan seseorang jika sedang berkuasa. Agar jangan tergoda menyalahgunakan kekuasaan itu, dan jangan sampai serakah sehingga ingin berkuasa terus-menerus. Kekuasaan mutlak yang terlalu lama akan mengerus kebaikan dan moral pemiliknya.

Lord Acton, mengungkapkan pendapat ini dalam sebuah surat kepada Uskup Mandell Creighton pada tahun 1887, tulisnya: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men." -- "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut benar-benar merusak. Orang hebat hampir selalu orang jahat."

Sebagai manusia biasa, setelah merasa nikmatnya kekuasaan sebagai orang nomor satu di Republik ini, Jokowi pasti mendapat godan-godaan yang kuat  untuk kalau bisa terus menjadi presiden. Apalagi selama ini kekuasaan demi kekuasaan ia peroleh dengan relatif mudah.  Jokowi  tidak pernah kalah dalam setiap pemilu. Sejak pilkada wali kota Solo, pilkada DKI Jakarta, dan dua kali Pilpres.

Dari seorang pengusaha mebel kayu, Jokowi "tergoda" menjadi wali kota Solo. Dua kali pemilihan wali kota Solo, dua kali ia menang mutlak dengan lebih dari 90 persen suara berturut-turut. Lalu, ia tergoda untuk menjadi gubernur DKI Jakarta, menang di Pilgub DKI Jakarta 2012. Kemudian, ia tergoda menjadi presiden RI, orang nomor satu di negeri ini. Dua kali berturut-turut pula ia menang Pilpres.

Baca pula: Jokowi Presiden Adalah kehendak Tuhan YME

Di periode kedua presidennya kini, kekuasaan yang ada di tangannya menjadi paling kuat. Ia didukung oleh mayoritas partai politik di DPR. Dari sembilan partai politik, tujuh di antaranya merupakan pendukungnya (471 anggota). Hanya dua parpol, yaitu Partai Demokrat dan PKS yang beroposisi (104 anggota). Dengan kekuatan itu saja, apapun yang diinginkan sebagai presiden hampir pasti disetujui DPR.

Contohnya adalah revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja. Meksipun mendapat penolakan rakyat banyak, dengan berbagi unjuk rasa yang demokratis sampai anarkis. Tetap saja kedua UU tersebut mulus disahkan DPR.

Dengan posisi seperti itu, jika saja MPR jadi melakukan amendemen UUD 1945, termasuk mengubah ketentuan pasal 7 menjadikan presiden bisa menjabat sampai tiga periode, lalu mereka menawarkan Jokowi untuk maju lagi di Pilpres 2024, apakah ia tidak akan terguncang?

**

Pasal 37 UUD 1945 mengatur tentang syarat-syarat dilakukan amendemen UUD 1945, dengan syarat Pembukaan UUD 1945 dan Dasar Negara (Pancasila) tidak bisa diubah.

Usul amendemen dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan secara tertulis beserta alasannya oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

Jumlah anggota MPR adalah terdiri dari 575 anggota  DPR ditambah 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sepertiganya adalah 237 anggota. Sedangkan pendukung Jokowi di DPR saja ada 471 anggota.

Syarat berikutnya, untuk mengamendemen UUD 1945, sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.

Dan, putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

Jadi, minimal 356 anggota MPR harus setuju dilakukan perubahan pasal(-pasal) UUD 1945 itu.

Maka, secara teoritis peluang untuk memenuhi semua syarat itu relatif mudah dipenuhi oleh anggota MPR pendukung Jokowi.

Ada yang curiga bahwa "kudeta" Partai Demokrat oleh Kepala Staf Kepresiden (KSP) Moeldoko bisa jadi berkaitan dengan upaya untuk menambah kekuatan mereka di MPR guna lebih memastikan mulusnya amendemen jika memang akan dilakukan.

Jumlah anggota Partai Demokrat di DPR adalah 54 orang. Sehingga jika Partai Demokrat berhasil ditarik untuk bergabung, maka total jumlah pendukung amendemen menjadi minimal 525 anggota dari 711 anggota MPR! Jauh di atas syarat batas minimal yang 356 anggota.

Dengan kekuatan politik sedemikian kuat, sehingga apapun yang diiinginkan secara perhitungan matematika politik  akan bisa diwujudkan, termasuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Maka godaan yang juga hebat kepada Jokowi sangat mungkin terjadi saat ini. Tetapi bisa jadi sampai sekarang benteng Jokowi masih kuat untuk bertahan agar tidak tergoda.

Apalagi jika amendemen itu juga meliputi dikembalikannya kewenangan MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden. Maka, dengan kekuatan yang sedemikian kuat itu koalisi partai yang menguasai MPR akan leluasa untuk menentukan siapa calon presiden mereka, dan bila perlu memilihnya terus sampai tiga periode.

Kekuasaan itu seperti air laut. Semakin diminum, semakin haus. Diminum terus, bisa mati.

Soekarno dan Soeharto

Berkat kekuatan kharisma dan politiknya, Presiden Soekarno,  pada 18 Mei 1963 ditetapkan sebagai Presiden Seumur Hidup dengan Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 Tahun 1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.

Pasca peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh Jenderal oleh PKI, terjadi gejolak dan kekacauan politik yang luar biasa. Pada 11 Maret 1966, Presiden Soekarno terpaksa menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar), yang berisi perintah kepada Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.

Kekuatan politik bergeser ke Soeharto, yang memanfaatkan Super Semar itu untuk bukan hanya memulihkan kemanan dan politik nasional, tetapi secara perlahan mengambilalih kepimpinan nasional. Didukung MPRS, yang baru tiga tahun sebelumnya mengangkat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.

Pidato pertanggungjawaban Soekarno ditolak MPRS. MPRS menyatakan Supersemar mengikat semua orang, dan dengan TAP MPRS Nomor IX Tahun 1966, 21 Juni 1966, MPRS memberhentikan Soekarno sebagai Presiden. Soeharto ditetapkan sebagai pengemban tugas Supersemar.

Pada 7 -- 12 Maret 1967 diadakan Sidang Istimewa MPRS. Menghasilkan empat Ketetapan, salah satunya Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno. MPRS berpendapat Soekarno ikut bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Tuduhan kepada Soekarno itu tidak pernah terbukti. Itu hanya intrik politik Soeharto dan MPRS memanfaatkan gejolak politik yang sangat panas ketika itu untuk menyingkirkan Soekarno, diganti Soeharto (kudeta terselubung).

Pada 2 November 2012, Presiden SBY menetapkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno-Hatta. Hal tersebut dinilai hanya sebuah penegasan saja, karena Soekarno-Hatta sudah sejak awal merupakan dua Pahlawan Proklamator yang berarti juga pahlawan nasional.

Isi TAP MPRS Nomor XXXII/1967 tersebut antara lain: 1. Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno; 2. Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD 1945; 3. Mengangkat pengemban TAP Nomor IX/MPRS/1966 tentang Supersemar itu sebagai pejabat Presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum.

Pemilihan Umum dimaksud tidak pernah dilaksanakan. Sebaliknya, pada 27 Maret 1968, dalam Sidang MPRS, Soeharto dilantik oleh Ketua MPRS Abdul Haris Nasution sebagai Presiden ke-2 Republik Indonesia. Dimulailah era pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto selama 32 tahun, yang secara perlahan namun pasti berubah menjadi pimpinan tirani, otoriter, dan diktator. Sekaligus rezim yang korup dari anak-anak sampai ke cucu-cucunya.

UUD 1945 asli menetapkan masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah lima tahun, setelah itu dapat dipilih kembali. Tanpa batasan.

Dengan dasar itu Soeharto dengan segala kharisma dan kekuatan politiknya, bersama Golkar yang menguasai DPR dan MPR, dan dengan dukungan penuh ABRI (sekarang TNI), dipilih oleh MPR sebagai Presiden sampai tujuh periode.

Para Penjilat Pencari Muka

Sampai tahun 1997, saat krisis ekonomi dan moneter mulai menghantam Indonesia, sebenarnya Soeharto sudah menyatakan niatnya untuk tidak mau lagi dipilih sebagai presiden. Tetapi beberapa orang dekatnya yang dia percaya selama bertahun-tahun, terutama sekali Menteri Penerangan Harmoko terus membujuknya agar bersedia lagi dipilih sebagai presiden.

Harmoko kepada Soeharto mengatakan bahwa berdasarkan hasil safari Golkar keliling Indonesia, rakyat masih menghendaki dia menjadi presiden lagi. Maka pada 11 Maret 1998 MPR memilih dan melantik Soeharto sebagai presiden untuk periode ketujuh, dengan BJ Habibie sebagai Wakil Presiden. Sedangkan Harmoko dipercaya Soeharto sebagai Ketua MPR.

Ketika itu Harmoko paling dikenal sebagai tukang cari muka dan penjilat utama Presiden Soeharto. Setiap keterangan pers yang ia berikan, selalu diawali dengan kalimat: "Menurut petunjuk Bapak Presiden ..."

Hanya dua bulan kemudian, bersamaan dengan perekonomian Indonesia semakin hancur akibat krisis ekonomi dan moneter, mengakibatnya terjadinya krisis sosial dan politik, ribuan mahasiswa melakukan unjuk rasa di hampir seluruh Indonesia dengan tuntutan Soeharto harus mengundurkan diri atau diturunkan secara paksa. Orang-orang kepercayaan Soeharto, yang selama ini menjilatnya, pun mulai menjauh darinya. Termasuk Harmoko, bahkan yang pertama kali mengkhianatinya.

Pada 18 Mei 1998, Gedung MPR-DPR diduduki massa mahasiswa. Harmoko yang sebelumnya mendorong Soeharto agar bersedia dipilih lagi sebagai Presiden, dalam kedudukannya sebagai Ketua MPR berseru kepada Soeharto, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar segera mengundurkan diri. Rakyat tidak lagi menghendaki dia sebagai Presiden!

Harmoko pun mengancam, jika Soeharto tidak mau mundur secara sukarela, maka ia akan memimpin Sidang Istimewa untuk mencabut mandat MPR darinya sebagai Presiden.

Posisi Soeharto semakin lemah ketika 14 Menterinya dipelopori oleh Ginandjar Kartasasmita yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri dan juga Kepala Bappenas, menyatakan mundur.

Pada 21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB, di kediamannya di Jalan Cendana, Soeharto membacakan surat pernyataannya mundur sebagai Presiden RI, yang berlaku saat itu juga. Berakhirlah dengan tragis kekuasaan Soeharto yang sebelumnya sangat kuat.

MPR

Memang Ketua MPR Bambang Soesatyo, Wakil ketua MPR dari PPP, Asrul Sani, dan Wakil Ketua MPR, dari PKS Hidayat Nur Wahid, sama-sama menyangkal mereka mempunyai rencana untuk mengubah periodisasi masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode, atau perubahan lainnya, selain rencana menghidupkan kembali GBHN (yang akan diberi nama Pokok-Pokok Haluan Negara, PPHN). Katanya, tidak ada niat, dan dibicarakan secara internal saja pun tidak pernah.

Tetapi, sebagaimana dikutip dari Koran Tempo (17/3/2021), pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengakui, pada 2016, lembaganya, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas pernah bekerjasama dengan Lembaga Kajian MPR mengadakan acara diskusi tentang wacana amendemen UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN.

Acara diskusi itu dihadiri oleh beberapa pakar hukum tata negara. Ketika itu ada pakar yang mendukung, ada yang menolak amendemen. Pusako, salah satu yang menolak. Sejak itu, Pusako tidak  pernah lagi diundang MPR membahas wacana amendemen UUD 1945.

Salah satu alasan mereka yang menolak adalah adanya kekhawatiran amendemen itu jika dilaksanakan akan melebar ke pasal-pasal lain juga, bukan hanya tentang GBHN. Gelagatanya ada. Yaitu, adanya usulan dalam diskusi-diskusi berikutnya yang datang dari anggota MPR, untuk juga mengembalikan kewenangan memilih presiden dan wakil presiden kepada MPR (Pasal 3 UUD 1945). Alasannya karena pemilihan langsung oleh rakyat membutuhkan biaya yang terlalu besar.

Ketika itu dalam diskusi pihak MPR juga mengajukan usulan untuk mengubah masa jabatan presiden dan wakil presiden dari lima tahun dalam satu periode menjadi 7-8 tahun dalam satu periode. Ketika itu belum ada wacana untuk mengubah periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Dari pengalaman Feri Amsari itu mengindikasikan bahwa dari kalangan MPR ada yang mempunyai keinginan untuk selain menghidupkan kembali GBHN juga sekaligus mengubah masa jabatan presiden.

Namanya politik, semuanya bisa berubah drastis kelak. Sekarang, memang tidak, tetapi kelak? Siapa yang berani menjamin MPR tidak akan berubah kelak. Seperti biasa, mereka akan selalu mengatasnamakan rakyat.  "Jika rakyat menghendaki", maka amendemen itu harus dilakukan.

Seperti pernyataan Wakil Ketua MPR dari PKB, Jazilul Fawaid. Yang menyatakan, ia setuju dengan perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, jika itu memang kehendak rakyat.

Demikian juga dengan politisi dari Partai Gerindra, Arief Puyuono, yang setuju dengan perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, agar Jokowi dapat dan bersedia menjadi presiden untuk ketiga kalinya, dengan alasan demi kesinambungan pembangunan nasional dan mengatasi masalah pandemi Covid-19. Seolah-olah tiada orang lain selain Jokowi yang bisa bekerja dengan sama baiknya atau bahkan lebih baik lagi.

Seperti Soeharto dahulu, Harmoko dan para penjilat, tukang cari muka lainnya, mengatakan kepada Soeharto bahwa rakyat masih menghendaki dia menjadi presiden lagi. Padahal, sebenarnya, mereka yang ingin terus membonceng kekuasaan Soeharto untuk kepentingan politik mereka sendiri.

Maka, Soeharto yang pada dasarnya mabok kekuasaan itu dengan mudah dibujuk untuk bersedia dipilih lagi sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Ketika di dalam Gedung MPR para penjilat itu berseru; "Setuju!" Di luar Gedung MPR, massa rakyat berseru: "Tidak!"

Apakah Mungkin Amendemen Hanya untuk Kembalikan GBHN?

MPR punya rencana mengamendemen UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN. Itu artinya sama saja dengan kembali ke Pasal 3 UUD 1945 yang asli.

Pasal 3 UUD 1945 asli, berbunyi: Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.

Pasal 1 ayat (2): Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dalam melaksanakan kedaulatan rakyat itu MPR berwenang menetapkan GBHN. GBHN tersebut wajib dijalankan oleh presiden dan wakil presiden, karena menurut UUD 1945 asli, presiden dan wakil presiden adalah mandataris MPR.

Dengan demikian MPR adalah lembaga tertinggi negara, di atas presiden.

Presiden wajib menjalankan mandat dari MPR, karena presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR  (Pasal 6, ayat 2). Jika mandat tersebut tidak dijalankan, maka MPR berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden.

Sedangkan UUD 1945 hasil amendemen menghapus ketentuan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat dilaksanakan berdasarkan UUD. Presiden bukan lagi mandataris MPR, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara.

Pasal 3 UUD 1945 hasil amendemen ketiga dan keempat menghapus ketentuan tentang GBHN. Diganti dengan: 1. MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD; 2. MPR melantik presiden dan/atau wakil presiden (hasil pemilihan langsung); 3. MPR memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam jabatannya menurut ketentuan UUD.

Jika GBHN dihidupkan kembali, maka yang berwenang menetapkan GBHN itu MPR (kembali ke Pasal 3 UUD 1945 asli). GBHN itu itu mandat dari MPR yang wajib dilaksanakan oleh presiden dan wakil presiden. Jika tidak dilaksanakan, MPR dapat memberhentikan presiden. Jadi, presiden kembali menjadi mandataris MPR.

Kalau presiden adalah mandataris MPR, maka logikanya presiden harus dipilih oleh MPR. Berarti kewenangan memilih presiden dan wakil presiden dikembalikan ke MPR. Kembali ke Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 asli.

Apakah dasar kewenangan MPR membuat haluan negara yang harus dijalankan presiden? Dasarnya harus karena MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Kembali ke Pasal 2 ayat 2 UUD 1945 asli.

Jadi, lihatlah rentetan masalah efek domino jika amendemen UUD 1945 untuk mengembalikan GBHN dilaksanakan. Pasti akan merembet ke pasal-pasal krusial lainnya karena memang saling berkaitan. Termasuk pada Pasal 7 tentang periodisasi masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Maka, benarlah kata Presiden Jokowi. Lebih baik jangan ada amendemen UUD 1945, karena pasti akan merembet ke mana-mana (ke pasal-pasal lainnya).

Jangan Sampai Seperti Soeharto

Pepatah Perancis mengatakan, "L'Histoire se Rpte." Sejarah akan berulang dengan sendirinya.

George Santayana, filsuf Spanyol berkata, "Those who cannot remember the past are condemned to repeat it."  Mereka yang tidak dapat belajar dari masa lalu (sejarah), akan dikutuk mengulangi sejarah itu.

Soekarno ditetapkan oleh MPRS sebagai presiden seumur hidup pada 1963, tetapi tiga tahun kemudian ia diberhentikan oleh MPRS yang sama. Setahun berikutnya, mandatnya dicabut sebagai presiden dengan larangan melakukan kegiatan politik apapun. Kekuasaan Soekarno berakhir dengan tragis sebagai tahanan rumah oleh Soeharto, sampai tutup usianya.

Soeharto dibisiki para penjilatnya dipimpin Harmoko agar ia bersedia dipilih lagi sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Harmoko mengatakan kepadanya, dari hasil safari Golkar ke seluruh Indonesia, rakyat masih menghendaki "Bapak Presiden" sebagai presiden lagi.

Hanya dua bulan setelah dilantik MPR menjadi presiden untuk ketujuh kalinya, Soeharto dikhianati Harmoko dan kawan-kawannya, dengan mendesaknya untuk mundur, karena rakyat tak menghendakinya lagi. Bahkan sebagai Ketua MPR Harmoko mengancam Soeharto, mundur atau ia akan memimpin Sidang Istimewa MPR untuk memakzulkannya (impeachment).

Jokowi harus belajar dari sejarah Soekarno dan Soeharto, terutama Soeharto. Sekarang, banyak penjilat dan pencari muka juga ada di sekitarnya, yang berbisik kepadanya bahwa ia masih diharapkan rakyat untuk menjadi presiden untuk ketiga kalinya.

Padahal, pembisik-pembisik itu sesungguhnya, seperti yang Jokowi sendiri bilang, bermaksud mencari muka kepadanya, menampar mukanya, dan menjerumuskannya. Jika Jokowi terjerumus, mereka akan menjadi "Harmoko-Harmoko" masa kini, yang mengkhianatinya.

Kita berharap kepada Jokowi bahwa ia benar-benar akan teguh hatinya dan konsisten dengan prinsip dan pernyataannya bahwa ia sungguh-sungguh "patuh pada Konstitusi" dan "tidak berminat menjadi presiden tiga periode."

Jangan sampai, seandainya saja MPR jadi mengamendemenkan UUD 1945 termasuk mengubah periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode, lalu Jokowi bersedia dicalonkan lagi. Argumentasinya, ia kan tetap taat pada Konstuitusi juga, yaitu UUD 1945 hasil "amendemen kelima" itu. Ingat, ada lagi pernyataannya, "saya tidak berminat menjadi presiden tiga periode."  (dht).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun