Jika GBHN dihidupkan kembali, maka yang berwenang menetapkan GBHN itu MPR (kembali ke Pasal 3 UUD 1945 asli). GBHN itu itu mandat dari MPR yang wajib dilaksanakan oleh presiden dan wakil presiden. Jika tidak dilaksanakan, MPR dapat memberhentikan presiden. Jadi, presiden kembali menjadi mandataris MPR.
Kalau presiden adalah mandataris MPR, maka logikanya presiden harus dipilih oleh MPR. Berarti kewenangan memilih presiden dan wakil presiden dikembalikan ke MPR. Kembali ke Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 asli.
Apakah dasar kewenangan MPR membuat haluan negara yang harus dijalankan presiden? Dasarnya harus karena MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Kembali ke Pasal 2 ayat 2 UUD 1945 asli.
Jadi, lihatlah rentetan masalah efek domino jika amendemen UUD 1945 untuk mengembalikan GBHN dilaksanakan. Pasti akan merembet ke pasal-pasal krusial lainnya karena memang saling berkaitan. Termasuk pada Pasal 7 tentang periodisasi masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Maka, benarlah kata Presiden Jokowi. Lebih baik jangan ada amendemen UUD 1945, karena pasti akan merembet ke mana-mana (ke pasal-pasal lainnya).
Jangan Sampai Seperti Soeharto
Pepatah Perancis mengatakan, "L'Histoire se Rpte." Sejarah akan berulang dengan sendirinya.
George Santayana, filsuf Spanyol berkata, "Those who cannot remember the past are condemned to repeat it." Â Mereka yang tidak dapat belajar dari masa lalu (sejarah), akan dikutuk mengulangi sejarah itu.
Soekarno ditetapkan oleh MPRS sebagai presiden seumur hidup pada 1963, tetapi tiga tahun kemudian ia diberhentikan oleh MPRS yang sama. Setahun berikutnya, mandatnya dicabut sebagai presiden dengan larangan melakukan kegiatan politik apapun. Kekuasaan Soekarno berakhir dengan tragis sebagai tahanan rumah oleh Soeharto, sampai tutup usianya.
Soeharto dibisiki para penjilatnya dipimpin Harmoko agar ia bersedia dipilih lagi sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Harmoko mengatakan kepadanya, dari hasil safari Golkar ke seluruh Indonesia, rakyat masih menghendaki "Bapak Presiden" sebagai presiden lagi.
Hanya dua bulan setelah dilantik MPR menjadi presiden untuk ketujuh kalinya, Soeharto dikhianati Harmoko dan kawan-kawannya, dengan mendesaknya untuk mundur, karena rakyat tak menghendakinya lagi. Bahkan sebagai Ketua MPR Harmoko mengancam Soeharto, mundur atau ia akan memimpin Sidang Istimewa MPR untuk memakzulkannya (impeachment).