Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Jakarta Anies Hidupkan Kembali Becak, di Surabaya Risma Museumkan Becak

30 Januari 2018   00:23 Diperbarui: 30 Januari 2018   17:26 2231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di DKI Jakarta, Gubernur Anies Baswedan, dengan alasan masih dibutuhkan masyarakat di perkampungan, dan demi keadilan rakyat kecil, hendak membawa Jakarta mundur puluhan tahun ke belakang, dengan  melegalkan kembali becak yang secara resmi telah dilarang sejak 2007.

Dasar hukum larangan becak beroperasi di DKI Jakarta adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.  Ketentuan tentang larangan merakit, memasukkan, dan mengoperasikan becak tercantum pada Pasal 29 ayat 1 dan 2 Perda tersebut.

Perda Nomor 8 Tahun 2007 itu diterbitkan saat Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Sutiyoso. Bertahun-tahun sebelum Sutiyoso (sejak sekitar 1980-an), gubernur-gubernur DKI sebelum dia, juga sudah berupaya menghapus becak dari Ibu Kota, dengan berbagai operasi razia becak, tetapi tak pernah berhasil.  

Sampai pada era Gubernur Sutiyoso, penghapusan becak di seluruh wilayah DKI Jakarta efektif diberlakukan dengan dasar hukumnya Perda  2007 itu.   

Larangan beroperasinya becak diberlakukan karena dianggap kendaraan tradisional bertenaga manusia itu merupakan salah satu sumber utama gangguan ketertiban lalu lintas di Ibu Kota.

Selain pertimbangan mengganggu ketertiban umum berlalu lintas, profesi tukang becak juga dianggap kurang manusiawi, dan tidak akan pernah dapat mensejahterakan tukang becaknya.

Selain itu, dari perspektif perkembangan zaman, jelas becak sudah sangat tidak representatif lagi dengan kebutuhan masyarakat modern saat ini yang terus bergerak maju dengan kecepatan tinggi, apalagi di kota-kota metropolitan seperti di Surabaya, dan megapolitan seperti Jakarta.

Kebutuhan masyarakat modern yang hidup di zaman serba digital berbasis teknologi dan informasi yang semakin canggih seperti sekarang ini terhadap moda transportasi adalah kemudahan, keamanan, kecepatan mendapatkannya, kecepatan sampai di tujuan, dan kepraktisan,  dengan biaya murah,  oleh karena itulah antara lain bermunculanlah sistem angkutan manusia berbasis teknologi internet (on-line / daring).

Ke depan, dalam tempo yang tidak terlalu lama lagi, akan bermunculan pula kendaraan-kendaraan masa depan dengan teknologi  artificial Intelligence  (kecerdasan buatan), yang prototipenya sudah ada sekarang, seperti mobil tanpa sopir, mobil listrik, mobil terbang, sampai ke angkutan massal berbentuk tabung yang diberi nama "Hyperloop" yang bisa mencapai kecepatan 1.000 km/jam!

Ketika masyarakat dunia fokus berpikir jauh ke depan mengenai kebutuhan transportasi manusia berteknologi tinggi di masa depan itu, terasa ironi saat Gubernur DKI Jakarta saat ini justru berpikir jauh ke belakang, dengan hendak menghidupkan kembali becak di Jakarta, dengan alasan demi keadilan dan kesejahteraan  rakyat kecil, karena Jakarta rumah untuk semua orang. Bukannya berpikir bagaimana membawa masyarakat Jakarta bersama-sama maju di masa depan.

Karikatur "Konpopilan" dengan tepat mengilustrasikan ironi "evolusi terbalik" tersebut di Kompas Minggu, 28/01/2018:

(Kompas Minggu, 28/01/2018)
(Kompas Minggu, 28/01/2018)
Memang Anies mengatakan bahwa kebijakannya tentang becak itu hanya berlaku di kawasan terbatas di DKI Jakarta, yaitu di lingkungan perkampungan, tetapi sekarang saja, di jalan-jalan di lingkungan perkampungan itu pun sudah padat dengan kendaraan bermotor, yang kerap menimbulkan kesemrawutan lalu lintas, apalagi kelak ditambah dengan becak-becak lagi.

Sampai sekarang, meskipun sudah dilarang, di lingkungan perkampungan tertentu di Jakarta,  masih terdapat segelintir becak, tetapi dengan adanya kebijakan melegalkan kembali becak oleh Gubernur Anies, dengan sendirinya pasti akan bermunculan becak-becak baru di Jakarta.

Siapa bisa menjamin tukang-tukang becak itu kelak akan sepenuhnya patuh pada kebijakan Gubernur Anies yang hanya membolehkan mereka beroperasi di lingkungan perkampungan, tidak boleh di jalan-jalan raya/protokol? Bagaimana jika ada pengguna becak yang hendak ke tempat tujuannya harus melewati jalan raya/protokol?

Sekarang saja, seperti yang bisa dilihat di video yang ditayangkan Najwa Shihab, di Trans7, "Mata Najwa", bertajuk "100 Hari Anies-Sandi", becak-becak sudah mulai berkeliaran di jalan-jalan raya. Para tukang becak pun mengaku, mereka akan tetap lewat jalan raya, jika memang harus melewatinya saat mengantar penumpang ke tujuannya.


Anies dengan enteng menjawab, justru itu, dia akan menertibkan becak-becak itu agar tidak melewati jalan raya. Becak-becak akan dibatasi hanya beroperasi di kawasan tertentu, dan tidak boleh bermunculan becak-becak baru yang tidak terdata/berizin, apalagi yang dari luar Jakarta.

Bicara saja memang gampang, sebab cara yang sama pernah dilakukan oleh Gubernur Sutiyoso, tetapi karena tetap saja tidak bisa ditertibkan, sebaliknya justru semakin bertambah banyak dan semakin bikin semrawut lalu lintas, akhirnya Sutiyoso pun melarang semua becak beroperasi di seluruh wilayah DKI Jakarta, dengan Perda Nomor 8 Tahun 2007 itu.

Karena dasar hukum larangan becak di DKI Jakarta itu adalah Perda DKI Jakarta   2007, maka untuk mencabut larangan tersebut harus pula dengan Perda. Karena Perda harus dibuat oleh Kepala Daerah (Gubernur DKI Jakarta)  bersama dengan DPRD DKI Jakarta, maka untuk mencabut larangan becak itu Anies Baswedan sebagai Gubernur tidak bisa membuat keputusan sendiri. Ia tidak bisa mencabut larangan itu dengan suatu Peraturan Gubernur (Pergub), karena secara hierarki peraturan perundang-undangan, Perda berada di atas Pergub.

Tetapi lucunya, di acara "Mata Najwa", 24 Januari 2018 itu, Anies sempat mengatakan sebagai Gubernur ia punya otoritas untuk mengubah Perda, lalu dikoreksi oleh Najwa, bahwa Perda itu harus dibuat bersama DPRD. Otoritas Gubernur adalah membuat Pergub (Peraturan Gubernur). Hal ini sampai terjadi dua kali di acara itu.

Ketika diminta kepastiannya, apakah dengan akan dilegalkan kembali becak di Jakarta, berarti Perda tersebut akan direvisi, Anies tidak langsung menjawab, tetapi berputar-putar bicaranya, katanya, "Saya menjadi Gubernur, membawa amanat dari rakyat, dan salah satu amanat itu adalah soal keadilan. Karena itu, saya tidak hanya mengurusi 13 juta kendaraan bermotor, tetapi juga ..."

Ia kemudian juga menjelaskan kenapa becak mau ia legalkan kembali, padahal pertanyaan Najwa itu simpel saja: Apakah Perda Nomor 8 Tahun 2007 itu mau diubah supaya becak boleh bebas lagi beroperasi di Jakarta, Anies cukup menjawab, "ya" atau "tidak".

Anies masih tidak tegas menjawab, masih bermain dengan kata-kata, katanya: "Kalau memang harus mengubah, kita ubah, tapi kalau tidak harus mengubah, tetapi bisa mengatur, kita atur."

Najwa pun sampai mengingatkan Anies lagi bahwa:  Perda-nya secara spesifik melarang, jadi kalau Anies hendak memberlakukannya (becak boleh beroperasi lagi di Jakarta), Perda itu memang harus diubah, tidak ada pilihan lain.

Rupanya dicecar terus dengan pertanyaan-pertanyaan yang menohok tentang becak dari Najwa, emosi Anies terpancing juga, sampai ia memprotes Najwa, yang mengadakan satu segmen khusus tentang becak di acara itu, padahal, katanya, penduduk Jakarta 10 juta dengan kendaraan bermotor 16 juta, urusan 1.000 becak saja dibahas dalam satu segmen tersendiri.

Dengan sigap Najwa menjawab, hal itu dibahas dalam satu segmen tersendiri karena Perda hendak diubah, dan mengubah Perda itu bukan urusan sepele.

Mungkin Anies baru berpikir bahwa ternyata tidak semudah itu ia bisa mengubah Perda yang melarang becak beroperasi di DKI Jakarta, karena harus mencapai kesepakatan bersama dengan DPRD DKI.

Maka kemungkinan besar langkah yang diambil Anies adalah tetap nekad melegalkan becak, dengan mengabaikan keberadaan Perda Nomor 8 Tahun 2007 itu. Hal tersebut bukan sesuatu yang pantang dilakukan Anies demi memenuhi janji-janji populisnya dimasa kampanye, sebagaimana telah juga dilakukan dengan menutup jalan Jati Baru, Tanah Abang, untuk digunakan PKL, padahal keputusannya itu jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 275 ayat (1) jo Pasal 28 ayat (2).

Kalau Undang-Undang saja bisa dia abaikan, apalagi cuma  Perda.

***

Bertolak belakang dengan di DKI Jakarta, yang Gubernurnya hendak menghidupkan kembali becak; di Surabaya, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini  justru secara bertahap hendak menghapuskan becak dari Kota Surabaya, karena dia menilai becak sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, dan profesi tukang becak tidak akan mampu meningkatkan taraf hidup mereka.

Sembari sejak Agustus 2017 mulai melakukan penertiban yang lebih tegas terhadap becak di kawasan-kawasan tertentu di Surabaya, Risma juga menawarkan kepada para tukang becak untuk mau beralih profesi menjadi penyapu jalan, tukang jaga dan bersih-bersih sekolah dan kantor-kantor Pemkot Surabaya, hingga dididik menjadi satpam, dengan gaji sesuai dengan UMK Surabaya, Rp. 3,5 juta per bulan, jauh lebih besar dari pendapatan maksimal tukang becak yang sekitar Rp. 600.000 per bulan.

Selain digaji sesuai dengan UMK Surabaya, mereka juga mendapat jaminan kesehatan nasional, dan jaminan kesehatan kerja dari Pemkot Surabaya.

Menurut Risma, programnya itu mendapat sambutan baik dari para tukang becak. Sampai sekarang, dari sekitar 1.000 tukang becak, 50 persennya sudah beralih profesi sesuai dengan yang ditawarkan Risma tersebut.

Indikasi kebenaran klaim Risma tersebut adalah jika kita perhatikan sekarang ini, di kawasan-kawasan tertentu di Kota Surabaya, yang sebelumnya banyak becaknya, sekarang sudah jauh berkurang. Misalnya, di kawasan pusat perkulakan terbesar di Indonesia Timur, di kawasan Kembang Jepun dan Jembatan Merah.

Jika Anda mengunjungi Museum Kota Surabaya, yang berlokasi di eks-Gedung Siola, Jalan Tunjungan Nomor 1, satu gedung dengan  Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Surabaya, Anda akan melihat salah satu koleksi Museum itu adalah moda transportasi yang pernah digunakan di Surabaya, yaitu bemo, Angguna, dan becak berwarna putih dan biru.

(Kompas Minggu, 28/01/2018)
(Kompas Minggu, 28/01/2018)
Bemo adalah angkutan umum bermotor roda tiga menyerupai bajaj di Jakarta, Angguna (angkutan serba guna) adalah  kendaraan yang dimodifikasi dari Mitsubishi L300 pick-up berwarna kuning yang pernah menjadi ciri khas Kota Surabaya, dan becak berwarna putih untuk becak siang, dan becak biru untuk malam hari (artikel tentang Museum Kota Surabaya ini pernah saya tulis di Kompasiana, dapat dibaca di sini).

Jadi, bagi Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, yang mempunyai visi jauh ke depan,  becak sudah layak dimuseumkan, sementara itu di DKI Jakarta, Gubernur Anies Baswedan justru berpikir ke jauh belakang, bahwa becak harus dihidupkan lagi di Ibu Kota.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun