Ternyata, sumbernya ada pada sosok Arief Hidayat, sang Ketua MK.
Pada akhir November 2017 lalu, terungkap Arief Hidayat telah menulis surat kepada DPR, dan melakukan lobi-lobi kepada para pimpinan fraksi di DPR agar dia dipilih kembali sebagai hakim konstitusi (masa jabatannya akan berakhir pada 1 April 2018). Imbalannya: garansinya, MK akan menolak permohonan uji materi kewenangan Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK itu.
Saat melakukan lobi-lobinya di DPR itu, Arief juga disebut beberapakali menyampaikan ancaman terselubungnya kepada DPR, bahwa jika ia tidak dipilih kembali sebagai hakim konstitusi, maka ia tidak bisa menjamin MK akan menolak permohonan uji materi tersebut.
Seolah-olah untuk membuktikan kepada DPR bahwa ia punya pengaruh kuat dalam putusan MK, dengan menggunakan kewenangannya sebagai Ketua MK, Arief telah memutuskan menolak permohonan putusan provisi (putusan sela) yang diajukan oleh Koalisi. Permohonan provisi itu meminta MK memerintahkan kepada DPR untuk menghentikan sementara sidang Pansus Hak Angket sampai ada putusan tentang permohonan uji materi tersebut.
Pada 5 September 2017, saat memimpin sidang tentang permohonan uji materi itu, Arief mengatakan putusan provisi itu belum bisa diputuskan karena MK harus mendengar juga keterangan dari DPR.
Pada 6 September 2017, Arief memimpin delapan hakim konstitusi dari seharusnya sembilan untuk  mengadakan rapat membahas dan memutuskan permohonan provisi tersebut. Satu hakim konstitusi, yaitu Saldi Irsa tidak hadir karena sedang naik haji.
Pasal 48 ayat 3-6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK 2003) mengatur bahwa putusan MK harus diambil berdasarkan musyawarah-mufakat.
Apabila putusan tidak dapat diambil berdasarkan musyawarah mufakat, maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak (ayat 7).
Dalam rapat itu, empat hakim konstitusi menerima permohonan provisi itu, sedangkan empat hakim lainnya yang semua pilihan DPR termasuk Arief Hidayat menolak.
Rapat itu gagal mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, karena jumlah yang menolak dengan yang menerima sama banyaknya: 4- 4.
Maka berlakulah Pasal 45 ayat 8 UUMK, yang mengatur: