Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demi Kepentingan Politiknya, Anies Izinkan Aksi Politik Reuni 212 Diadakan di Kawasan Monas

1 Desember 2017   11:18 Diperbarui: 1 Desember 2017   11:27 10888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan Monumen Nasional (Monas) dari lantai 24 di Perpustakaan Nasional di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (8/11/2017). (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Pada Rabu (29/11/2017), wartawan bertanya kepada Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, apakah Pemprov DKI Jakarta akan memberi izin penggunaan kawasan Monas untuk kegiatan reuni aksi akbar 212, pada Sabtu nanti (2/12/2017)?

Sandi menjawab, tentang hal itu bukan wewenang dia, tetapi sepenuhnya wewenang Gubernur Anies Baswedan, wartawan dipersilakan bertanya langsung kepada Anies.

"Saya kebetulan enggak menangani khusus penggunaan Monas, Pak Anies tangani sendiri," kata Sandiaga.

Sebelumnya, pada 26/11, wartawan sudah bertanya kepada polisi (Polda Metro Jaya) tentang rencana akan diadakan aksi reuni akbar 212 dengan menggunakan kawasan Monas, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menjawab, yang paling berwenang memberi izin penggunaan kawasan Monas untuk aksi tersebut sepenuh berada di tangan Gubernur Anies Baswedan. Jika Gubernur mengizinkan, tugas polisi hanya mengawal jalannya aksi tersebut bisa berjalan dengan aman, tertib, dan lancar.

Oleh karena itu Argo pun menyarankan wartawan bertanya saja langsung kepada Gubernur Anies Baswedan.

Pada kesempatan itu, Argo menyatakan, polisi menyarankan aksi tersebut jangan dilakukan di Monas, karena akan mengganggu kepentingan umum, sebaiknya dipindahkan ke Masjid Istiqlal. Hal yang sama juga disarankan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Anies Telah Berbohong kepada Publik

Wartawan sudah pernah bertanya kepada Gubernur Anies Baswedan tentang tanggapannya atas rencana reuni aksi akbar 212 yang akan menggunakan kawasan Monas itu, tetapi dia selalu menghindar, tak mau menjawabnya. Kemudian, ia malah meminta wartawan bertanya saja kepada polisi, karena katanya tidak mengurus hal tersebut, bukan wewenangnya.

Pada 27/11, di Balai Kota, ketika Anies ditanya tentang rekomendasi pihak Polda Metro Jaya agar reuni aksi akbar 212 itu tidak dilaksanakan di kawasan Monas, tetapi di Masjid Istiqlal saja, Anies tidak mau menanggapinya, kata dia itu bukan urusan dia.

"Saya enggak ngurusi itu!", jawab Anies singkat.

Ketika ditanya, apakah dia akan mengeluarkan izin penggunaan Monas untuk reuni aksi akbar 212 itu, Anies pura-pura tidak mendengarnya, "Sudah, ya, sudah, ya..", katanya, lalu masuk ke dalam ruangan Balai Kota, meninggalkan para wartawan.

Pada 29/11, di Balai Kota juga, ketika pertanyaan itu diulang diajukan lagi kepada Gubernur Anies, ia menjawab bahwa tentang hal itu bukan wewenang dia, tetapi wewenang Polda Metro Jaya.

"Itu (izin reuni akbar 212 di Monas) dengan Pak polisi, bukan saya," tegas Anies. Wartawan disarankan bertanya ke Polda Metro Jaya, bukan kepada dia.

Sikap Anies terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan wartawan tentang rencana reuni aksi akbar 212 menggunakan Monas tersebut di atas sangat janggal, ia dengan terang-terangan lepas tangan, dan berupaya melontarkan beban tanggung jawab terhadap rencana aksi reuni 212 itu kepada pihak Polda Metro Jaya, padahal jelas-jelas soal perizinan itu merupakan wewenang sepenuhnya dia sebagai Gubernur.

Kewenangan Gubernur DKI Jakarta tentang perizinan kegiatan di Monas itu bahkan dibuatnya sendiri, sebagaimana termaktub di Pasal 6 Peraturan Gubernur Nomor 186 tahun 2017, yang menentukan:   "Kegiatan massa dalam jumlah besar harus seizin gubernur berdasarkan pada rekomendasi sebuah tim."

Sikap Anies Baswedan  itu sendiri pada akhirnya menguak ketidakjujurannya, tampak sekali ia berusaha menutup-nutupi sesuatu yang sesungguhnya sudah menjadi rahasia umum, yaitu adanya keterkaitan erat dia dengan aksi akbar 212.

Sedangkan aksi akbar 212 adalah aksi politik dengan menggunakan agama sebagai senjatanya, dengan mengusung isu SARA, di pilkada DKI Jakarta 2017 untuk memenangkan Anies-Sandi melawan Ahok-Djarot.

Produk provokasi SARA yang antara lain pengumuman-pengumuman tidak mengsholatkan jenazah bagi warga DKI Jakarta yang memilih Ahok-Djarot, dan  ancaman masuk neraka bagi mereka yang memilih Ahok-Djarot, diduga kuat merupakan produk dari para tokoh di belakang aksi 212 tersebut.

Di belakang aksi 212 itu antara lain ada guru spiritual Prabowo Subianto, Ustad Ansufri Sambo, yang kini juga adalah Ketua Presidium Alumni 212.

Dari tanggal 27 sampai 29/11 Anies selalu berkelit ketika ditanya wartawan, tanggapannya tentang rencana aksi reuni akbar aksi 212 yang hendak menggunakan kawasan Monas itu, ia tak mau menjawabnya, ia bahkan mengatakan bahwa tentang wewenang memberi izin itu bukan urusan dia, tetapi Polda Metro Jaya.

Padahal jelas-jelas di dalam Peraturan Gubernur Nomor 186 Tahun 2017 yang dia buat sendiri untuk membuka kembali kawasan Monas untuk kegiatan keagamaan, pendikan dan kebudayaan, disebutkan dengan jelas di Pasal 6-nya bahwa kegiatan massa dalam jumlah besar harus seizin gubernur berdasarkan rekomendasi sebuah tim.

Atas dasar itu, ternyata, diam-diam izin itu sudah Anies berikan sejak 24/11/2017 lalu. Jadi, tak berlebihan jika dikatakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah berbohong kepada publik, ketika dia menyatakan tentang izin penggunaan kawasan Monas untuk reuni aksi akbar 212 itu bukan wewenang dia, bukan urusan dia, tetapi urusan Polda Metro Jaya., padahal diam-diam dia sudah menandatangani disposisi pemberian izin untuk aksi reuni tersebut.

Fakta tersebut pertama kali diungkapkan oleh Kepala Unit Pengelola Teknis (UPT) Monas, Munjirin.  Pada 29/11/2017. Munjirin menyatakan bahwa pihaknya telah menerima surat permohonan izin penggunaan kawasan Monas untuk menggelar acara reuni aksi akbar 212 itu sejak seminggu lalu (24/11).

Pada hari yang sama, surat permohonan izin tersebut telah diserahkan kepada Dinas Pariwisata DKI Jakarta, dari dari Dinas Pariwisata langsung meneruskan kepada Anies Baswedan, dan Anies saat itu juga membuat disposisi persetujuan pemberian izin untuk kegiatan tersebut.

Disposisi Anies Baswedan tertanggal 24/11/2017 yang mengizinkan reuni aksi akbar 212 menggunakan kawasan Monas pada Sabtu, 2/12/2017 (Twitter)
Disposisi Anies Baswedan tertanggal 24/11/2017 yang mengizinkan reuni aksi akbar 212 menggunakan kawasan Monas pada Sabtu, 2/12/2017 (Twitter)
Setelah fakta itu dibuka oleh Kepala UPT Monas, barulah Anies dengan dengan entengnya, tanpa merasa ada beban bahwa sebelumnya ia sudah berbohong kepada publik, mengaku sebenarnya ia sudah memberi izin reuni aksi akbar 212 itu untuk menggunakan kawasan Monas.

"Suratnya sudah masuk kira-kira seminggu yang lalu. Kemudian, diberi ACC (persetujuan). Saya katakan, pastikan sesuai dengan Pergub (peraturan gubernur) yang baru," kata Anies di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (30/11).

Secara politik, -- karena memang sesungguhnya aksi 212 termasuk reuninya itu adalah gerakan politik yang dibalut agama -- Anies tidak mungkin berani menolak permintaan izin dari para tokoh (reuni) aksi akbar 212 itu, karena mereka adalah tokoh-tokoh kepada siapa Anies, dan juga Sandiaga Uno, berhutang budi secara politik. Karena tokoh-tokoh di belakang aksi 212 itulah yang mengusung isu SARA yang dihembuskan secara sistematis, struktural, dan masif di sepanjang masa kampanye pilkada DKI Jakarta, sehingga berkontribusi besar bagi kemenangkan Anies-Sandi.

Selain faktor balas budi politik, mana berani pula Anies Baswedan, dan juga Sandiaga Uno menolak permintaan tokoh semacam Ustad Ansufri Sambo, yang merupakan orang kepercayaan Prabowo Subianto itu? Sedangkan Prabowo Subianto adalah "atasan" Anies-Sandi secara politik.

Apalagi pentolan utama aksi 212 itu, Rizieq Shihab itu adalah "maha guru"-nya Anies. Adalah Anies sendiri yang menyemat gelar "maha guru" itu kepada Rizieq Shihab ketika ia berpidato yang isinya penuh pujian kepada Rizieq di markas besar FPI, 1 Januari 2017 lalu.

Aksi (Reuni) 212 adalah Aksi Politik

Pergub baru yang disebut Anies itu adalah Pergub yang dia buat sendiri, yaitu Pergub Nomor 186 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Kawasan Monumen Nasional, yang menggantikan Pergub sebelumnya yang melarang kegiatan lain, termasuk keagamaan dan politik, selain kegiatan kenegaraan (seperti upacara memperingati hari besar nasional) di kawasan Monas.

Alasan pelarangan kegiatan kemasyarakatan, termasuk kegiatan keagamaan dan politik, apalagi yang melibatkan jumlah massa yang besar di kawasan Monas itu karena kawasan itu telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dan sebagai kawasan  "white area".

Yang dimaksud dengan  "white area"  adalah di kawasan itu selain tidak boleh ada kegiatan kemasyarakatan, apalagi yang melibatkan jumlah massa yang besar, juga tidak boleh ada reklame, sponsor, spanduk bersifat komersial, dan lain-lain sejenisnya.

Dasar hukumnya adalah Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor 150 Tahun 1994 tentang Penataan Penyelenggaraan Reklame di Kawasan Taman Medan Merdeka (Monumen Nasional).

Landasan hukum tertulis ini diperluas lagi ke dalam SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame dalam Bentuk Baliho, Umbul-Umbul, dan Spanduk di DKI Jakarta.

Di masa Jokowi-Ahok, dan Ahok-Djarot larangan kegiatan kemasyarakatan, termasuk keagamaan dan politik di kawasan Monas itu dipertegas. Jadi, keliru, jika ada anggapan yang menyatakan bahwa larangan itu baru ada di masa Ahok-Djarot.

Demi memenuhi janji politiknya, Anies  mencabut larangan itu. Dengan Pergub Nomor 186 Tahun 2017 ia mengizinkan kawasan Monas digunakan untuk kegiatan keagamaan, termasuk kegiatan yang melibatkan jumlah massa yang besar, dengan seizin gubernur.

Tetapi, tidak termasuk kegiatan politik, namun itu hanya teorinya saja, karena buktinya kegiatan reuni aksi akbar 212 itu pun diizinkan Anies. Padahal sesungguhnya kegiatan tersebut bukan kegiatan keagamaan (hanya berkedok agama), tetapi kegiatan politik, khususnya gerakan politik para pendukungnya dan tentu saja Prabowo Subianto.

Pasal 10 huruf b Pergub Nomor 186 Tahun 2017 mengatur kawasan Monas dapat digunakan kegiatan kenegaraan, pendidikan, sosial-budaya, dan keagamaan. Kegiatan politik tidak termasuk di dalamnya (memang haruslah demikian), tetapi nyatanya Anies telah memberi izin pula kegiatan politik yang direncanakan melibatkan massa dalam jumlah besar pula, karena aksi politik itu jelas-jelas merupakan kegiatan dari para pendukung pentingnya di Pilkada DKI Jakarta 2017.

Dalam persetujuan pemberian izinnya itu sesungguhnya Anies telah melanggar pula peraturan yang dia buat sendiri itu, dengan begitu cepatnya izin itu diberikan padahal tim penilai kegiatan keagamaan di Monas itu belum rampung dibentuk, sedangkan di Pergub itu ditentukan izin gubernur baru diberikan setelah ada rekomendasi dari tim penilai.

Tim tersebut berangggotakan gabungan SKPD terkait, Sekretariat Negara, Polda Metro Jaya, Kodam Jaya, tokoh masyarakat, dan instansi lainnya.

Hal itu diakui Anies sendiri : "Ya nanti begitu selesai, diumumkan. Lagi dalam proses (pembentukan tim penilainya)," ujar Anies (30/11/2017).

Bahwa kegiatan reuni aksi akbar 212 itu sesungguhnya kegiatan politik, sangat jelas, terang-benderang. Orang awam pun mengetahuinya. Sedangkan agama hanya dipakai sebagai senjata politiknya itu.

Dengan terang-benderang aksi 212 itu sejak di Pilkada DKI Jakarta adalah kegiatan-kegiatan politik dengan tujuan utama mendukung Anies-Sandi sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Kegiatan itu dibungkus agama, agar masjid-masjid dan agama bisa dijadikan senjata untuk memprovokasi warga Muslim membenci Ahok-Djarot, dan memilih Anies-Sandi.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun dengan blak-blakan menuding aksi unjuk rasa reuni akbar 212 itu adalah kegiatan politik (bukan agama). Kegiatan politik itu, menurut Tito berkaitan erat dengan momentum politik Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu (terutama Pilpres) 2019.

"Ini juga enggak akan jauh-jauh dari politik, tetapi politik 2018-2019," ujar Tito saat ditanya wartawan di Gedung Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (30/11/2017).

Saat dimintai penjelasan lebih jauh terkait pernyataannya itu, Tito enggan menjawab lagi, ia hanya berkata, memastikan tudingannya itu:

"Sudahlah, ini pasti larinya ke arah politik 2018-2019", katanya (Kompas.com).

Tito mengharapkan kegiatan politik berbungkus agama itu tidak digelar di Monas, karena selain melanggar hukum, juga mengganggu kepentingan umum.

Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mempertanyakan maksud dari diadakan aksi reuni akbar 212 itu. Dia berharap aksi reuni 212 tidak dilakukan. Semua pihak diminta untuk fokus mengambil bagian menjaga suasana kondusif terus berlangsung. Apalagi, kata dia, dalam waktu dekat akan ada Pilkada serentak di 171 daerah. Hajatan politik daerah itu disebutkan membutuhkan ketenangan dan suasana teduh agar masyarakat bisa memilih calon pemimpin yang terbaik.

Menurut Wiranto, aksi 212 pada 2016 adalah gerakan temporer yang terkait dengan Pilgub DKI Jakarta. Di sisi lain Pilgub DKI Jakarta telah selesai dan berhasil memilih Gubernur DKI yang baru. Karena itu, seharusnya gerakan yang bersifat temporer tersebut sudah selesai.

"Kalau ada gerakan yang bersifat temporer, situasional kemudian mengadakan reuni, dan alasannya juga saya belum tahu, maka sebenarnya pada situasi seperti saat ini, lebih baik kita menjaga kondisi kondusif," kata Wiranto (cnnindonesia.com).

Meskipun dari Kapolri sampai dengan  Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, yang dengan tegas menyatakan bahwa reuni aksi 212 itu tidak perlu diadakan, dan bahwa kegiatan tersebut murni kegiatan politik, tidak menyurut Anies Baswedan memberi restunya kepada reuni aksi 212 itu untuk menggunakan kawasan Monas. Meskipun dengan demikian jelas-jelas telah melanggar Pergub yang dia buat sendiri (bahwa penggunaan kawasan Monas hanya boleh digunakan untuk kegiatan berkaitan kepentingan negara, pendidikan, sosial-budaya, dan keagamaan. Kegiatan politik tidak termasuk di dalamnya).

Maka tidak keliru jika dikatakan Anies mengizinkan kegiatan politik di kawasan Monas itu karena aksi itu untuk kepentingan politik dia sendiri, memperkokoh dukungan politiknya sebagai Gubernur DKI Jakarta, kepentingan Partai Gerindra di pilkada serentak 2018, dan kepentingan politik dia dan Prabowo Subianto di Pilpres 2019.

Dengan kata lain isu SARA akan diteruskan dengan semakin intens di Pilkada Serentak 2018 sampai dengan di Pilpres 2019, karena kesuksesannya sudah terbukti di Pilkada DKI 2017, tak peduli dengan dampak destruktifnya di masyarakat, berupa ancaman perpecahan rakyat atas dasar agama dan etnis yang semakin menakutkan.

Bahwa reuni aksi 212 itu jelas merupakan kegiatan politik dipertegas kembali pula oleh para alumnus aksi 212 itu sendiri dengan pernyataan-pernyatan politiknya, di Kongres Alumni 212, di Aula Wisma Persatuan Haji Indonesia (PHI) Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Kamis malam (30/11).

Dalam ceramah jarak jauhnya dari Arab Saudi,  yang diperdengarkan di Kongres tersebut, Pemimpin FPI, Rizieq Shihab antara lain menyatakan, gerakan 212 bukan hanya ditujukan dalam rangka Pilkada DKI 2017, tetapi demi memperjuangkan banyak masalah di Indonesia yang harus dihadapi bersama oleh umat Islam.

"Tidak benar semangat 212 itu selesai dengan selesainya Pilkada 2017. Karena digelarnya (Aksi 212) pada tahun lalu tidak hanya untuk urusan Pilkada DKI Jakarta, sebab begitu banyak persoalan yang kompleks yang dihadapi bangsa Indonesia". (cnnindonesia.com)

Sedangkan Amien Rais di dalam pidatonya di acara itu, menuduh Presiden Jokowi selama ini terus berupaya memecah-belah umat Islam dan bangsa sendiri: "Saya ingatkan Mas Jokowi jangan asyik memecah belah umat Islam dan bangsa sendiri!"

Amien juga menuduh Jokowi adalah antek China, yang sedang menjual Indonesia kepada Tiongkok, dan membiarkan serta mendukung WNI etnis tertentu (Tionghoa) menguasai perekonomian Indonesia, mengorbankan rakyat sendiri.

Padahal Jokowi tidak pernah melakukan dan mengeluarkan pernyataan apapun yang menjurus pada upaya memecah-belah umat Islam dan bangsa sendiri. Justru Amien Rais sendiri-lah yang selama ini terus-menerus memprovokasi rakyat Indonesia dengan ujar-ujar kebenciannya terhadap agama dan etnis tertentu, dan justru Jokowi-lah yang terus-menerus berupaya merekat kembali (ancaman) perpecahan bangsa yang diakibatkan oleh racun-racun (fitnah) SARA yang disebarkan oleh orang-orang seperti Amien Rais itu.

Dalam pidatonya itu, Amien juga berulang kali menggunakan istilah "para kecebong" yang harus dihadapi para alumnus 212.

Istilah "kecebong" adalah istilah yang diberikan kubu Anies Baswedan, dan alumnus 212  untuk para pendukung Jokowi dan Ahok di media sosial.

Amien juga menyatakan, pada reuni aksi 212, pada 2 Desemebr besok, akan dibacakan petisi (politik) kepada Pemerintah Jokowi.

Dari pernyataan-pernyataan Rizieq Shihab dan Amien Rais tersebut di atas semakin jelas reuni 212 itu bukan tentang agama, tetapi politik, dan sekali lagi Anies Baswedan telah memberi izin kegiatan politik para pendukungnya itu di kawasan Monas.

Lalu, apakah Anies Baswedan akan ikut hadir di acara reuni akbar alumni 212 itu, karena dia pun sebenarnya bagian dari gerakan 212 itu?

Ketika hal itu ditanyakan kepada dia, seperti biasa Anies pun tidak tegas menjawabnya.

"Belum tahu tuh," ujarnya.

Padahal sesungguhnya ia sangat ingin hadir untuk berterimakasih kepada para alumnus 212 itu, terutama para tokohnya, seperti Amien Rais, "maha gurunya" dia: Riizeq Shihab, dan lain-lain. *****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun