Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun dengan blak-blakan menuding aksi unjuk rasa reuni akbar 212 itu adalah kegiatan politik (bukan agama). Kegiatan politik itu, menurut Tito berkaitan erat dengan momentum politik Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu (terutama Pilpres) 2019.
"Ini juga enggak akan jauh-jauh dari politik, tetapi politik 2018-2019," ujar Tito saat ditanya wartawan di Gedung Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (30/11/2017).
Saat dimintai penjelasan lebih jauh terkait pernyataannya itu, Tito enggan menjawab lagi, ia hanya berkata, memastikan tudingannya itu:
"Sudahlah, ini pasti larinya ke arah politik 2018-2019", katanya (Kompas.com).
Tito mengharapkan kegiatan politik berbungkus agama itu tidak digelar di Monas, karena selain melanggar hukum, juga mengganggu kepentingan umum.
Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mempertanyakan maksud dari diadakan aksi reuni akbar 212 itu. Dia berharap aksi reuni 212 tidak dilakukan. Semua pihak diminta untuk fokus mengambil bagian menjaga suasana kondusif terus berlangsung. Apalagi, kata dia, dalam waktu dekat akan ada Pilkada serentak di 171 daerah. Hajatan politik daerah itu disebutkan membutuhkan ketenangan dan suasana teduh agar masyarakat bisa memilih calon pemimpin yang terbaik.
Menurut Wiranto, aksi 212 pada 2016 adalah gerakan temporer yang terkait dengan Pilgub DKI Jakarta. Di sisi lain Pilgub DKI Jakarta telah selesai dan berhasil memilih Gubernur DKI yang baru. Karena itu, seharusnya gerakan yang bersifat temporer tersebut sudah selesai.
"Kalau ada gerakan yang bersifat temporer, situasional kemudian mengadakan reuni, dan alasannya juga saya belum tahu, maka sebenarnya pada situasi seperti saat ini, lebih baik kita menjaga kondisi kondusif," kata Wiranto (cnnindonesia.com).
Meskipun dari Kapolri sampai dengan  Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, yang dengan tegas menyatakan bahwa reuni aksi 212 itu tidak perlu diadakan, dan bahwa kegiatan tersebut murni kegiatan politik, tidak menyurut Anies Baswedan memberi restunya kepada reuni aksi 212 itu untuk menggunakan kawasan Monas. Meskipun dengan demikian jelas-jelas telah melanggar Pergub yang dia buat sendiri (bahwa penggunaan kawasan Monas hanya boleh digunakan untuk kegiatan berkaitan kepentingan negara, pendidikan, sosial-budaya, dan keagamaan. Kegiatan politik tidak termasuk di dalamnya).
Maka tidak keliru jika dikatakan Anies mengizinkan kegiatan politik di kawasan Monas itu karena aksi itu untuk kepentingan politik dia sendiri, memperkokoh dukungan politiknya sebagai Gubernur DKI Jakarta, kepentingan Partai Gerindra di pilkada serentak 2018, dan kepentingan politik dia dan Prabowo Subianto di Pilpres 2019.
Dengan kata lain isu SARA akan diteruskan dengan semakin intens di Pilkada Serentak 2018 sampai dengan di Pilpres 2019, karena kesuksesannya sudah terbukti di Pilkada DKI 2017, tak peduli dengan dampak destruktifnya di masyarakat, berupa ancaman perpecahan rakyat atas dasar agama dan etnis yang semakin menakutkan.