Adi sudah mendaftar untuk mendapat Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) di kantor kecamatannya: Mengisi data, difoto (pasfoto), rekam sidik jari dan iris mata.
Beberapa bulan kemudian. Sudah tiga kali ia datang di kantor kelurahannya untuk mengambil KTP-el yang seharusnya sudah jadi, tetapi ia selalu gagal. Petugas kelurahan bilang, datanya tidak ada di server data kependudukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Jengkel karena di kelurahan selalu pulang dengan tangan hampa, Ade mendatangi kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) di kotanya. Ia rela mengantre berjam-jam lamanya bersama ratusan orang yang senasib dengannya, tetapi hasilnya sama saja, ia gagal lagi mendapat KTP-el, karena lagi-lagi server Kemendagri di sana pun tidak merekam data dirinya.
Di sini ia hanya diberikan surat keterangan (suket) bahwa ia sudah melakukan pendaftaran dan perekaman KTP-el di kotanya, tanpa ada kepastian kapan ia bisa mendapatkan KTP-el-nya itu. Tentu saja, secara hukum, suket tidak diakui sebagai bentuk identitas yang sah sebagaimana KTP.
Kemudian Ade mendengar, pada 18 -- 22 Oktober 2017, Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri  membuka stand di Pameran Nusantara Expo, di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, untuk melayani warga yang mau mencetak KTP-el miliknya (khususnya untuk warga yang datanya sudah terekam di server Kemendagri dan sudah berstatus  print ready record, siap cetak).
Dengan membawa suket kependudukannya itu dan kartu keluarganya, di pagi buta  Ade sudah berangkat dari rumahnya menuju lokasi, tiba di sana sekitar pukul lima dini hari, ternyata sudah ada seribuan orang yang mengantre.
Dari sebelum terbit matahari sampai matahari berada di atas kepala, lalu turun hujan, Ade bertahan dalam antreannya.
Dari warga yang sudah mendapat giliran, Ade mendapat tahu masih banyak yang gagal lagi mendapat KTP-el-nya karena lagi-lagi data mereka tidak terdapat di server Kemendagri.
Ade pun menjadi trauma, antrean masih panjang, seolah tak bergerak maju, Â jangan-jangan nasibnya pun sama saja, tiba gilirannya, gagal lagi mendapat KTP-el karena tidak ada datanya di server.
Lalu, Ade pun teringat dengan kasus korupsi KTP-el, yang menurut KPK telah merugikan negara sampai Rp. 2,3 triliun, yang saat ini kasusnya masih terus berjalan diproses KPK. Sejauh ini baru dua orang pelaku korupsi itu, yakni dua pejabat dari Kemendagri, yang divonis masuk penjara, sedangkan koruptor-koruptor kakapnya, pentolan-pentolannya masih bebas, meskipun nama-nama mereka sudah disebutkan berkali-kali di pengadilan tipikor.
Di antara mereka itu, Â ada satu orang yang diduga paling berperan penting dalam kasus mega korupsi itu, yaitu Ketua Umum Partai Golkar, dan yang juga Ketua DPR-RI, Setya Novanto, yang super licin bak belut dilumuri oli.
Setelah melewati berbagai intrik dan peristiwa dramatisir yang berliku-liku, ia akhirnya bisa ditahan KPK.
Seiring panasnya sinar matahari di atas kepalanya, hati Ade pun mulai memanas, baru kepikir dia, gara-gara para koruptor mega proyek KTP-el itu, dengan dugaan pentolannya Setya Novanto, yang membuat mereka semua yang sedang menanti KTP-el, sengsara seperti sekarang, itu pun belum pasti kapan kesengsaran itu akan berakhir dengan memperoleh fisik KTP-el yang sudah lama didambakan itu.
Maka dengan geram, Ade pun keluar dari antrean, sambil berteriak lantang: "Persetan! Ini semua gara-gara Setya Novanto, membuat kita, rakyat, harus mengantre di mana-mana untuk mendapat sebuah KTP-el. Saya sangat marah, saya mau ke Gedung KPK sekarang, saya mau cari dia di tahanan KPK, saya akan tonjok wajahnya sampai bengkak-bengkak sebesar bakpao, saya akan pukul dia sampai luka sangat parah, sampai berdarah-darah, dan pingsan!"
Lalu ia pun pergi ke Gedung KPK.
Sekitar sejam kemudian, Ade balik lagi dengan wajah semakin kesal, ke TMII, untuk mengantre kembali di antrean KTP-el itu mulai dari paling belakang lagi.
Orang-orang pun bertanya kepadanya dengan penuh harap, "Apakah Bapak sudah berhasil memukul Setya Novanto?"
Dengan cemberut, Ade menjawab: "Tidak! Sialan! Ternyata antrean di Gedung KPK yang mau pukul Setya Novanto jauh lebih panjang daripada antrean di sini!"
**
Kisah Ade di atas memang merupakan lelucon satire, yang saya adaptasi dari kisah lelucon satire tokoh reformis Uni Soviet, Gorbachev, ("Ha-ha-ha", Subhan SD, Kompas, 23/11/17).
Tetapi kisah rakyat mengantre dengan sengsara di mana-mana untuk memperoleh KTP-el bukan hanya lelucon, tetapi kisah nyata, sampai hari ini.
Salah satunya adalah antrean panjang rakyat yang sangat mendambakan KTP-el di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), pada 18-22 Oktober lalu. Selama 5 hari berturut-turut itu rakyat mengantre panjang, mulai dari pintu masuk TMII sampai dengan di lokasi pelayanan pencetakan KTP-el, di dekat Theater Keong Emas, berjam-jam dari dini hari sampai sore hari, berpanas-panas, dan hujan-hujanan.
Sehingga maksud utama dari mega proyek KTP-el itu, yakni ketunggalan data administrasi kependudukan, terancam tidak tercapai, padahal hampir 6 triliun rupiah sudah dikucurkan negara. Demikian juga gara-gara korupsi, rakyat banyak pun harus sengsara hanya untuk mendapat sebuah KTP-el yang merupakan haknya.
Kwalitas KTP-el Sama dengan KTP Lama Biasa
Kalau sudah dapat pun, KTP-el itu pasti berkwalitas rendah, baik fisiknya, maupun teknologinya. Teknologi cip yang terkandung di KTP-el ternyata sudah ketinggalan zaman dengan harga yang mahal. Ujung-ujungnya yang namanya KTP-el itu tidak ada bedanya dengan KTP lama yang terbuat dari kertas (yang dahulu, biasanya kita laminating supaya awet itu).
Bahan pembuatan KTP-el itu seharusnya terbuat dari bahan  polyvinyl chloride  yang tidakmudah rusak, tetapi realisasinya dibuat dari bahan  polyethylene terephthalate glycol yang mudah rusak, terkelupas.
Teknologi Automated Biometric Identification System (ABIS) yang dibeli dan terkandung di setiap KTP-el, menjadi tidak berguna, karena untuk bisa membaca cip yang terkandung di dalamnya itu (misalnya, untuk kepentingan validasi data) Â harus menggunakan piranti lain lagi, yang tidak termasuk di dalam mega proyek itu. Jadi, harus beli lagi dengan harga yang mahal.
Sudah begitu cip yang digunakan itu sudah ketinggalan teknologinya, tetapi dibeli dengan harga yang sangat mahal, karena di-mark-up, menjadikan ia bahkan lebih mahal daripada teknologi yang lebih baru
Maksud Diadakannya KTP-el
Sejatinya, maksud diadakam KTP-el tersebut merupakan bagian dari, atau tahap pertama menuju program pemerintah untuk tercapainya sistem nomor identitas tunggal kependudukan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, -- yang kemudian diubah dengan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2013. Aturan itu mengharuskan setiap penduduk Indonesia (mulai dari bayi sampai orang tua) wajib mempunyai nomor induk kependudukan (NIK), yang dicantumkan pada Kartu Keluarga dan KTP,  diterap sejak 2011.
Fungsi NIK nantinya adalah sebagai dasar validasi dari berbagai dokumen kependudukan lain, seperti paspor, Â surat izin mengemudi, dan juga akan digunakan sebagai dasar pelayanan publik lain, seperti pelayanan kesehatan.
Seharusnya dengan teknologi yang terkandung di KTP-el berdasarkan perekaman sidik jari, identitas setiap penduduk akan terlacak secara presisi. Selain sidik jarinya, saat merekam data identitas, setiap penduduk direkam iris mata, wajah, dan tanda tangan. Data biometrik ini, berguna untuk verifikasi berbagai urusan, dari urusan pelayanan oleh pemerintah, imigrasi, data yang dibutuhkan dalam urusan perbankan, sampai keperluan yang berwajib dalam menangani masalah yang berkaitan dengan kejahatan dan terorisme.
Mengapa Gagal Mendapat KTP-el?
Kenapa orang-orang seperti Ade dalam ilustrasi di atas datanya tidak ada di server Kemendagri, sehingga KTP-el mereka tidak kunjung bisa dicetak?
Ada banyak sekali permasalahannya, dengan faktor akibat korupsi di mega proyek itu sebagai penyebab utamanya.
Seharusnya, saat penduduk melakukan pendaftaran dan perekaman data, maka semua data itu (identitas, pasfoto, tanda tangan, sidik jari/iris mata) terekam di server di kantor kecamatan. Server di setiap kecamatan terhubung lewat jaringan internet ke server pusat di Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta.
Di server pusat ini, data setiap orang secara otomatis akan masuk di dalam sistem antrean (message queuing -- MQ, untuk kemudian masuk ke sistem  yang disebut Automated Biometric Identification System (ABIS), -- Sistem manunggal data.
Setiap data yang terproses di ABIS akan di-back-up pada Data Recovery System (DRC), yang servernya ada di Batam.
Jika semuanya normal, maka data kependudukan setiap orang di sistem ABIS itu akan diproses komputer menjadi berstatus: sprint ready record (PRR), maka KTP-el siap dicetak. Di dalam setiap KTP-el itu terkandung teknologi cip yang menyimpan biodata, pasfoto, tanda tangan, sidik jari telunjuk kanan dan kiri.
Faktanya, selain faktor sumber daya manusia, faktor yang paling signifikan yang membuat mega proyek bernilai Rp 5,9 triliun itu nyaris mubazir, teknologinya tidak bisa dimanfaatkan, adalah korupsi yang berukuran mega pula. Korupsi membuat selain biaya proyeknya terlalu mahal, juga mengakibatkan kwalitas KTP-el pun tak ubahnya dengan kwalitas KTP konvensional zaman dahulu yang menggunakan kertas biasa.
Masalah berjibun itu sudah dimulai sejak di kantor kecamatan, bisa terjadi saat ada saja petugas kecamatan tidak melakukan perekaman data dengan benar, sehingga data tidak tersimpan di server, atau tersimpan tetapi tidak sempurna.
Lalu, masalah jaringan internet di Indonesia yang masih banyak yang buruk, sehingga pengiriman data dari server kecamatan terganggu, atau tidak terkirim sama sekali ke server pusat di Kemendagri. Akibatnya saat data sampai ke sistem ABIS, maka sistem itu akan menolaknya. Maka penduduk yang sudah merekam datanya ke kantor kecamatannya itu, datanya tidak ada di server pusat, dan oleh karena itu tidak bisa dicetak KTP-el-nya.
Masalah lain, apabila data sudah terkirim ke sistem ABIS secara sempurna, maka tetap saja akan ada jutaan data penduduk yang tidak bisa diproses, karena untuk memprosesnya pemerintah harus membeli lisensi baru lagi. Karena lisensi yang sudah dibeli dari PT Biomorf Lone Indonesia di dalam mega proyek senilai Rp. 5,9 triliun itu hanya dapat memproses 172 juta data penduduk.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Gede Suratha, pembelian lisensi itu dilakukan bertahap karena saat itu, yang digunakan  adalah data kependudukan 2011, yang memperkirakan jumlah penduduk wajib KTP sebanyak 172 juta.
Sampai dengan 2016, terjadi pertambahan sekitar 6 juta penduduk yang wajib KTP, karena kuota data lisensi sistem ABIS itu sudah terpenuhi, maka sekitar data 6 juta penduduk tersebut tidak bisa diproses KTP-el-nya. Data 6 juta penduduk tersebut sekarang masih tersimpan di kantor pusat Biomorf Lone. di Amerika Serikat.
Akibat kasus mega korupsi di mega proyek KTP-el itu, KPK sempat meminta proses pembelian lisensi baru itu dihentikan sampai ditemukan siapa saja para penggarong uang negara di mega proyek itu.
Saat ini, pemerintah telah mengadakan kembali lelang pembelian lisensi untuk 10 juta data penduduk wajib KTP yang diharapkan cukup sampai dengan data Desember 2017. Lelang itu akan diakhiri pada November 2017.
Masalah lain, kelangkaan blangko, karena pemerintah menghentikan pengadaannya akibat temuan korupsi dalam pengadaannya.
Baru Maret 2017, pemerintah mulai menandatangani kontrak baru untuk pengadaan tujuh juta blangko.
Masalahnya, karena pengadaan bertahap, maka blangko tidak bisa disebarkan secara serentak, banyak pemohon KTP-el di beberapa daerah yang pulang dengan tangan hampa meskipun sudah antre berjam-jam, bahkan ada yang sampai menginap di kantor kelurahan.
Pada 14 November 2017, Kementerian Dalam Negeri meneken kontrak pengadaan 6,75 juta blanko KTP elektronik atau LTP-el.
Pengadaan kali ini tidak dilakukan dengan sistem lelang, melainkan melalui katalog elektronik (E-Katalog) sektoral.
Pengadaan blanko KTP-el melalui E-Katalog dinilai akan membuat prosesnya lebih efisien dan efektif. Baik dari sisi waktu, harga, hingga ketersediaan barang blanko E-KTP.
Masalah Validasi Data KTP-el
Itu baru masalah proses pendataan sampai pada pencetakan fisik KTP-el, belum pada masalah validasi data, yang ternyata lebih serius masalahnya. Karena rancunya sistem validasi menyebabkan kemungkinan besar sebagian besar data yang sudah tersimpan, termasuk yang sudah dicetak fisik KTP-el-nya, tidak dapat divalidasi, akibatnya misi dari proyek KTP-el itu, yakni tercapainya ketunggalan data pada KTP-el tidak tercapai.
Bob Hardian Syahbudin selaku pakar hukum komputer dari Universitas Indonesia, salah satu dari dua saksi ahli yang didatangkan oleh jaksa KPK di sidang lanjutan korupsi pengadaan KTP-el 2011-2012 dengan terdakwa pengusaha Andi Narogong di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (23/11), menjelaskan hal tersebut.
Menurut Bob, sesuai kerangka acuan kerja pengadaan KTP-el 2011-2012, ketunggalan data itu dicapai dengan merekam sidik jari sebagai data utama, dan perekaman identitas iris mata sebagai data minor. Dengan asumsi, jika seseorang memiliki cacat pada tangan sehingga sidik jarinya tidak dapat direkam, maka iris mata yang direkam.
Namun, pada praktiknya, alat perekam sidik jari maupun iris mata disediakan di setiap tempat perekaman data KTP-el. Hal itu bertentangan dengan kerangka acuan kerja yang mengatur bahwa alat perekam iris hanya disediakan di tempat tertentu karena hanya digunakan bagi warga yang tidak dapat direkam sidik jarinya.
Selain bertentangan dengan kerangka acuan kerja sebagaimana disebutkan Bob itu, tentu saja dengan pengadaan alat perekam iris mata di setiap kecamatan di seluruh Indonesia itu, terjadilah pemborosan anggaran yang sangat besar, belum lagi di-mark-up harganya.
Pada validasi ketunggalan data juga tidak mengikuti asas deduplikasi dan pemangkasan kesamaan data dengan benar. Semestinya untuk memperoleh ketunggalan data, satu sidik jari yang direkam diverifikasi dengan data sidik jari dari data KTP-el lainnya sehingga diperoleh kepastian sidik jari itu sebagai tunggal.
Setelah itu baru dilakukan pencocokan kembali data sidik jari yang direkam dengan orang pemilik data sidik jari tersebut. Kenyataannya, data yang terekam pada cip  KTP-el adalah sidik jari. Namun, untuk deduplikasi menggunakan iris mata. Cara validasi demikian menjadi celah tak tercapainya ketunggalan data karena sidik jari yang terekam di cip bisa saja milik orang berbeda.
"Pencocokan one to one (data yang direkam dengan orang) itu tak menggunakan proses verifikasi yang benar. Itu terbuka identitas tak tunggal. Sebab, yang disimpan (di cip) itu sidik jari, tetapi yang dicocokkan malah iris (mata)," jelas Bob.
Dari 140 juta KTP-el yang sudah tercetak, hanya 7 juta yang divalidasi, itupun dilakukan dengan cara yang salah pula. Jadi, KTP-el yang belum diaktivasi (yang belum bisa dicetak) ada kemungkinan datanya juga salah.
Kondisi tersebut menyebabkan pembengkakan biaya jika validasi KTP-el dilaksanakan. Hal itu karena alat pembaca KTP-el harus dilengkapai peranti tambahan dan biayanya besar.
Korupsi KTP-el yang Membuat Rakyat Sengsara
Di antara semua faktor yang membuat kacau-balaunya proyek KTP-el itu, yang membuat rakyat sengsara untuk mendapat KTP-el yang merupakan haknya itu, faktor korupsilah yang paling merusak. Korupsi yang dilakukan bersama oleh anggota DPR, pejabat di Kementerian Dalam Negeri, dan pengusaha swasta. Jumlah yang dikorupsi pun tidak tanggung-tanggung, akibat dari keserakahan mereka, uang negara yang seharusnya digunakan untuk mega proyek itu dikorupsi nyaris separohnya.
Korupsi yang sedemikian besarlah yang membuat kwalitas KTP-el itu pun menjadi jauh dari standar, yang sangat tidak sesuai dengan harga yang terlalu mahal yang telah dibayar pemerintah.
Bahan pembuatan KTP-el seharusnya dari bahan polyvinyl chloride, yang tidak mudah rusak, tetapi dalam realisasinya yang digunakan adalah polyethylene terephthalate glycol, yang mudah rusak, patah, dan terkelupas, dengan harga polyvinyl chloride.
Di dalam penyidikannya, KPK memang menemukan fakta bahwa di hampir semua komponen di proyek KTP-el itu diduga terjadi manipulasi data dan korupsi, blangko KTP-el, adalah salah satunya.
Pengadaan blangko KTP-el, per 31 Desember 2013, seharusnya berjumlah 172.015.400, tapi realisasinya hanya 122.109.759 blangko. Sedangkan harga per blangko yang dipasaran (2011) hanya Rp. 4.700 di-mark-up menjadi Rp. 16.000 per blangko!
Eko Fajar Nur Prasetyo sebagai pakar dan perancang cip dari Sony Indonesia, saksi ahli selain Bob Hardian Syahbudin, mengungkapkan fakta bahwa harga cip penyimpan data KTP-el termasuk biaya personalisasi data pada cip, jauh di bawah anggaran pengadaan KTP-el 2011-2012. Dalam dakwaan terhadap Andi, cip KTP-el bermerek NXP produksi Belanda dan ST Micro dari Singapura.
Eko mengungkapkan harga riil cip KTP-el tak lebih dari 25 sen dolar AS (Rp. 2.500) dan biaya personalisasi data Rp. 1.443 sehingga total biaya Rp. 3.943 per cip. Sedangkan dalam anggaran yang telah dibelanjakan, cip dihargai Rp. 9.400 per keping dan biaya personalisasi Rp. 1.500 , total 10.900 per cip, atau di-mark-up sebesar Rp. 6.957 per keping!
Itupun dengan menggunakan seri cip berteknologi yang sudah ketinggalan zaman, yakni seri cip tahun 1996, tiga generasi di bawah seri cip tahun 2010
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa mega korupsi di mega proyek KTP-el, selain telah merugikan negara sampai Rp. 2,3 triliun, juga telah membuat sesungguhnya negara telah membeli barang berteknologi rongsokan dengan harga yang sangat mahal, sehingga misi pemerintah untuk tercapainya ketunggalan data kependudukan tidak tercapai, dan telah membuat jutaan rakyat harus sengsara menunggu dalam ketidakpastian untuk memperoleh KTP-el.
Oleh karena itu KPK harus bekerja sekeras-kerasnya, didukung oleh Presiden Jokowi, Polri dan Kejaksaan Agung untuk mengusut setuntas-tuntasnya siapa saja koruptornya, terutama yang kelas kakap, untuk dihukum seberat-beratnya. Â *****
Sumber data: Harian Kompas, Majalah Tempo, Koran Tempo, dan berbagai berita di media daring.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H