Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Teknologi "Home Video" dari Masa ke Masa

25 Juni 2017   23:40 Diperbarui: 26 Juni 2017   17:05 4182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi di berbagai bidang kini semakin mencengangkan, bukan saja dari semakin canggihnya teknologi tersebut, tetapi juga mengenai begitu cepatnya proses pergantian suatu teknologi tinggi ke teknologi lebih tinggi lagi. Apa yang dahulu hanya fiksi, yang hanya ada di film-film science fiction, kini menjadi kenyataan sehari-hari.

Salah satu teknologi yang mengalami proses tersebut adalah teknologi home video (video rumahan).

Proyektor dengan Rol Film 8 mm

Sekitar 1950-an sampai dengan 1970-an format film home video berbentuk rol film seluloid 8 mm, dengan durasi sekitar 50 menit setiap rilnya. Ada juga yang 16 mm, tetapi, yang paling umum di Indonesia adalah yang 8 mm.

Cara memutar filmnya dengan menggunakan proyektor. Bentuk proyektor bukan seperti model proyektor sekarang, tetapi seperti gambar di bawah ini:

Proyektor video 1970-an (http://ian-partridge.com/tranp4.html)
Proyektor video 1970-an (http://ian-partridge.com/tranp4.html)
Contoh home video dalam bentul rol film seluloid 8 mm (sumber: garasiopa.com)
Contoh home video dalam bentul rol film seluloid 8 mm (sumber: garasiopa.com)
Cara memutarnya, rol yang berisi pita film dipasang di bagian depan, ujung pita filmnya dimasukkan ke slot yang tersedia, lalu putar sebuah knob ke arah depan. Proyektor akan menjalankan pita film itu ke belakang, digulung ke rol kosong di bagian belakangnya. Ketika pita film berjalan itulah film dimulai.

Saat pemutaran film, ruangan harus gelap, dan lampu film yang menayangkan film diarahkan ke tembok putih, atau ke kain putih yang dibentangkan.


Awalnya filmnya hitam-putih dan bisu, kemudian berkembang menjadi film berwarna dan bersuara mono, lalu stereo.

Pada masa-masa itu juga film-film yang paling digemari antara lain film-film komedi bisu dan hitam-putih Charlie Chaplin, lalu ada Abbot and Castello yang sudah berwarna dan bersuara mono, dan film-film  aksi seperti film-film cowboy-nya John Wayne, Samson and Delilah, The Ten Commanments, Ben-Hur, Jason and the Argonauts, dan lain-lain.

Sebagai perbandingan, lihat contoh proyektor home theater masa kini, di bawah ini:

Proyektor home theater Sony VPL-HW55ES (http://www.projectorreviews.com)
Proyektor home theater Sony VPL-HW55ES (http://www.projectorreviews.com)
Kaset Video Betamax dan VHS

Sekitar 1975 merupakan awal dari perubahan teknologi video rumah, ketika Sony meriliskan temuan terbarunya untuk menggantikan fungsi rol film seluloid 8 mm, yaitu video kaset Betamax.  Berbentuk kotak 156 × 96 × 25 mm dengan pita video di dalamnya, di-encoding: PAL, NTSC, dan SECAM. Di Indonesia umumnya yang digunakan yang PAL.

Resolusi gambar videonya 350 x 311 pixel. Kemudian dikembangkan dengan Super Betamax dengan resolusi 420 x 400 pixel. Durasi per kaset mulai dari 30 menit (L-250), 2 jam 10 menit (L-500), dan 3 jam 10 menit (L-750).

Video player dengan teknologi terbaik di masanya, dengan gambar yang lebih tajam dan tata suara Hi-Fi Stereo (sumber: wikiwand.com)
Video player dengan teknologi terbaik di masanya, dengan gambar yang lebih tajam dan tata suara Hi-Fi Stereo (sumber: wikiwand.com)
Kaset Video Betamax (www.terapeak.com)
Kaset Video Betamax (www.terapeak.com)
Diputar dengan menggunakan VHS/Betamax player, gambar videonya ditayangkan lewat televisi (lihat: “Perkembangan Teknologi TV”).

Bersamaan dengan Betamax ada juga video kaset dengan format yang lebih besar, dikembangkan oleh JVC dengan nama VHS(Video Home System), dengan kwalitas gambar dan suara lebih sedikit di atas Betamax.

Karena ukuran fisik yang berbeda, maka player video kaset Betamax dan VHS tidak bisa saling pakai.

Betamax pada umumnya dipakai di Asia, sedangkan VHS pada umumnya dipakai di Amerika dan Eropa.

Perbedaan ukuran kaset video Betamax dengan VHS (sumber: wikipedia.org)
Perbedaan ukuran kaset video Betamax dengan VHS (sumber: wikipedia.org)
Film-film dengan format VHS (sumber: http://www.telegraph.co.uk/)
Film-film dengan format VHS (sumber: http://www.telegraph.co.uk/)
Laser Disc (LD)

Logo Laser Disc (Wikimedia Commons)
Logo Laser Disc (Wikimedia Commons)

Era video kaset home video baik dalam format Betamax, maupun VHS  mulai berakhir pada 1990-an, ketika Philips bersama dengan Pioneer Corp. mulai merilis temuan terbaru mereka yang dinamakan Laser Disc (LD) yang dapat menayangkan gambar dan suara yang jauh lebih bagus, sehingga mendekati kwalitas film di bioskop ketika itu.

Tipe media yang digunakan LD adalah Optical Disc, dengan encoding: NTSC dan PAL. Kapasitas gambar dan suara: 60 menit pada masing-masing sideA dan B untuk tipe CLV discs, dan 30 menit per side untuk tipe CAV disc Ukuran cakram: diameter 11,81 inchi (30 cm) sama dengan dimensi piringan hitam besar.

Resolusi gambar LD adalah 560 x 480 pixel, lebih baik daripada Betamax dan VHS. Namun, LD tidak diminati di Amerika dan Eropa, dikarenakan tidak efesien dengan ukurannya yang besar, risiko rusak: tergores atau patah cukup besar.

laser-disc-594fd0d38523bddc3a65b7b3.jpg
laser-disc-594fd0d38523bddc3a65b7b3.jpg
Di masa itu, di Indonesia, dijual pula mesin teks bahasa Indonesia untuk setiap LD film. Mesin penterjemah dan pembuat teks bahasa Indonesia itu mereknya “Kimura”.

Untuk mendapat teks bahasa Indonesia ada catridge-nya yang berbentuk kotak kecil putih yang dimasukkan ke slot Kimura. Kimura dihubungkan dengan player LD. Tidak semua LD film ada catridge teks bahasa Indonesia-nya.

Catridge Kimura untuk teks bahasa Indonesia pada film Laser Disc (http://djejakmasa.blogspot.co.id/)
Catridge Kimura untuk teks bahasa Indonesia pada film Laser Disc (http://djejakmasa.blogspot.co.id/)
Mesin Kimura (kaktus.co.id)
Mesin Kimura (kaktus.co.id)
DVD

dvd-video-logo-svg-594fd6d7ca23bd9939eb024e.png
dvd-video-logo-svg-594fd6d7ca23bd9939eb024e.png
Karena ketidakpraktisannya, LD tidak bertahan lama. Sekitar tahun 1995 adalah masa dimulainya peralihan teknologi home video berformat LD ke DVD yang dikembangkan oleh konsorsium Philips, Sony, Toshiba, dan Panasonic.

Pada awalnya DVD singkatan dari Digital Video Disc, namun karena ternyata dalam perkembangannya cakram DVD tidak hanya bisa menyimpan video, tetapi juga data lainnya seperti foto, gambar, audio, dan dokumen, maka kepanjangannya diubah menjadi Digital Versatile Disc, atau cakram digital serba guna.

Format DVD jauh lebih kecil daripada LD, seukuran dengan CD, yaitu hanya berdiameter 4,7 inchi (12 cm), bandingkan dengan LD yang 11,8 inchi (30 cm). 

Resolusi video DVD adalah 720 x 540 pixel.Tipe media: optical disc, dengan kapasitas 4,7 GB per side untuk single layer (pada umumnya),  8,5 GB per side untuk double layer.

Salah satu kelebihan DVD adalah adalah adanya menu “Search” dan “Chapters” pada video (film)nya, yang membuat kita dengan mudah mencari adegan-adegan tertentu di dalam suatu film: menit ke berapa, atau ada di chapter (bab) ke berapa, tinggal dipilih dan dikontrol dan remote control.

Selain dengan DVD player, cakram DVD juga diputar di laptop.

DVD player (amazon.com)
DVD player (amazon.com)
DVD film (amazon.com)
DVD film (amazon.com)
Untuk membatasi aktifitas pembajakan, DVD home video dibagi atas 6 region, yaitu:

Region 1: Amerika Serikat dan Kanada, Bermuda, dan kawasan teritorial AS,

Region 2: Eropa (kecuali Rusia, Ukraina, dan Belarus), Jepang, Afrika Selatan, Timur Tengah, Mesir, Leshoto, dan Greenland,

Region 3: Asia Tenggara,

Region 4: Amerika Latin dan Australia,

Region 5: Rusia, Asia (non-Asia Tenggara), dan Afrika,

Region 6: Tiongkok.

Namun pembagian region ini ternyata tidak efektif, terutama di Asia, karena produsen-produsen DVD playerpada umumnya membuat DVD player mereka yang bisa memutar beberapa region (multi region), atau bisa dibuka kunci region-nya.

Dengan berbagai keunggulannya DVD dapat bertahan lama, bahkan sampai sekarang, meskipun sudah hadir pula teknogi video rumah terbaru yang jauh mengungguli DVD, yaitu Blu-ray. DVD bisa bertahan karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan Blu-ray, perbandingan harganya sekitar 1:3.

VCD

vcd-594fd5b37693732f6f2317a5.png
vcd-594fd5b37693732f6f2317a5.png

Tak lama setelah dunia mengenal DVD, muncul juga teknologi serupa dengan kwalitas setingkat di bawahnya, yaitu VCD (Video Compact Disc), dengan harga yang jauh lebih murah daripada DVD (lebih dari separohnya).

VCD dikembangkan di era 1990-an juga oleh konsorsium  Sony, Philips, Matsushita, dan JVC, dengan spesifikasi sebagai berikut: tipe media yang digunakan optical disc, encoding: MPEG-1 video + audio, kapasitas 800 MB ke atas, 45 menit per side. Di atas VCD ada SVCD, atau Super VCD, tetapi tidak populer.

Dengan kapasitas yang terbatas itu, rata-rata satu film VCD terdiri dari 2-3 cakram. Sedangkan resolusi gambar pada VCD hanya 352 x 288, membuat kwalitas gambar videonya terlihat patah-patah. Suaranya pun hanya bisa stereo biasa.

Pada VCD juga tidak ada menu “Search” dan “Chapter” seperti pada DVD, sehingga sulit untuk mencari adegan-adegan tertentu pada film VCD.

Karena kwalitasnya yang di bawah DVD, VCD tidak diminati di kawasan di luar Asia dan Afrika. Di Amerika dan Eropa pada umumnya tidak mengenal VCD.

Di masanya, di Indonesia VCD beredar bersamaaan dengan DVD, baik di toko penjualan, maupun di rental-rental, dengan peminat VCD mencapai sekitar 95 persen karena (karena murah), dibandingkan dengan DVD.

Blu-ray Disc (BD)

Keterbatasan DVD dalam menyimpan data video dan suara sehingga masih terdapat banyak kekurangannya adalah karena DVD menggunakan teknologi gelombang laser-merah yang panjang gelombangnya 650 nano meter. Keterbatasan ini diatasi dengan ditemukan teknologi baru di bidang cakram video, yang menggunakan teknologi gelombang laser-biru dengan panjang gelombang hanya 405 nano meter.

Bentuk dan ukuran cakramnya secara kasat mata sama persis dengan DVD, dan CD, tetapi kandungan teknologi yang ada pada BD sangat jauh di atas DVD. Teknologi baru itu dinamakan dari warna teknologi laser-biru yang digunakan, yaitu Blu-ray Disc (BD).

Jika resolusi video tertinggi DVD hanya mencapai 720 x 540 pixel, dengan kapasitas data pada umumnya hanya 4,7 GB (single layer), tertinggi 8,5 GB (double layer), maka resolusi video BD adalah 1.920 x 1.080 pixel, dengan kapasitas data 25 GB untuk single layer, dan 50 GB, dengan kwalitas video high definition (HD).

Teknologi terkini BD adalah pencapaian kwalitas gambar yang sudah di atas HD, dan dinamakan Ultra HD 4K, dengan resolusi gambar minimal 3.840 x 2.160 pixel, kapasitas mulai dari 50 GB sampai 100 GB. Mampu menyimpan video Ultra HD sampai berdurasi 9 jam, dan jika video dengan kwalitas standar (DVD) di simpan di BD Ultra HD, maka ia mampu menampung video dengan durasi 23 jam.

Nama Ultra HD “4K” mengacu pada mengacu pada resolusi horisontalnya, yaitu: minimal 3840, dibulatkan 4.000 pixel (K =kilo = 1000. Jadi 4K = 4000).

Teknologi BD ini masih terus dikembangkan dengan berbagai variannya, di antaranya adalah untuk video rumah selalu dibuat mengikuti teknologi bioskop kelas atas, yaitu dengan beredar pula film BD dengan teknologi 3 Dimensi (3D).

Untuk bisa menonton BD 3D, maupun Ultra HD, diperlukan perangkat video yang juga mendukung kedua teknologi tersebut, yaitu harus dengan BD player 3D, dan Smart TV 3D, demikian juga dengan untuk bisa menikmati film BD berformat Ultra HD (4K).

Jika menggunakan perangkat receiver dan proyektor home theater, maka untuk receiver dan proyektor-nya juga harus sudah dilengkapi dengan teknologi Ultra HD, sedangkan untuk BD 3D, proyektornya juga harus berteknologi 3D. Tentu saja untuk 3D harus juga menggunakan kacamata khusus 3D, yang biasanya diberi 2 buah sebagai bonus, jika kita membeli Smart TV 3D, atau proyektor 3D.

Flim Blu-ray Ultra HD 4K (amazon.com)
Flim Blu-ray Ultra HD 4K (amazon.com)
Kacamata 3D untuk home video (sony.com)
Kacamata 3D untuk home video (sony.com)
samsung-uhd-4k-blu-ray-player-4-594fdef8a723bd3e121dc918.jpg
samsung-uhd-4k-blu-ray-player-4-594fdef8a723bd3e121dc918.jpg
Diagram perbandingan resolusi video (https://de-tekno.com/2015/03/apa-itu-ultra-hd-atau-4k-tv/)
Diagram perbandingan resolusi video (https://de-tekno.com/2015/03/apa-itu-ultra-hd-atau-4k-tv/)
Seperti juga DVD, BD film  juga dibagi atas tiga kawasan, tetapi seperti juga DVD, pembagian kawasan ini juga tidak efektif, karena kunci kode wilayah pada BD player umumnya bisa dibuka, sehingga bisa dipakai untuk memutar BD fil dari beberapa wilayah.

A / 1: Amerika, dan dependensi mereka, Asia Timur (kecuali Cina dan Mongolia), dan Asia Tenggara.

B / 2: Afrika, Asia Barat, Eropa (kecuali Belarusia, Rusia dan Ukraina), Australia, Selandia Baru, dan dependensi mereka.

C / 3: Asia Tengah, Asia Timur (Cina dan Mongolia saja), Asia Selatan, Eropa Timur, dan dependensi mereka.

Selain dari aspek kwalitas video-nya, BD juga mengembangkan teknologi suaranya, sehingga sound-effect video rumah pun semakin canggih. Jika di bioskop kelas atas juga ada yang dilengkapi dengan sound system Dolby Atmos, demikian juga teknologi video rumah dengan format BD terbaru.

Dolby Atmos merupakan teknologi virtual reality suara yang memaksimalkan penggunaan audio dalam penceritaan sebuah film. Teknologi ini juga memberikan kebebasan kepada para filmmaker untuk menempatkan atau memindahkan suara ke sudut mana pun di dalam gedung bioskop untuk menciptakan suasana seperti di kehidupan nyata (21cineplex.com).

Sound systembioskop dengan Dolby Atmos yang baru digunakan di bioskop-bioskp terkemuka dunia pada April 2012 (di Indonesia baru ada di bioskop-bioskop tertentu milik Grup XXI sejak November 2013),  menciptakan efek suara yang lebih nyata, membawa efek seolah-olah kita berada di tempat kejadian pada film yang sedang kita tonton, itu dikarenakan teknologi surround-nya yang benar-benar mengelilingi seluruh ruangan, bukan hanya di lantai tempat duduk penonton, tetapi dari atas ke bawah.

Hanya saja untuk bia menikmati Dolby Atmos di rumah, cara terbaiknya adalah kita harus menontonnya di ruang khusus home theater yang dilengkapi dengan perangkap home thetare kelas atas (hi-end), yang untuk perangkat home theater-nya saja  bernilai ratusan juta sampai miliaran rupiah.

Perangkat home theater hi-end meliputi minimal: 1 unit Blu-ray player (minimal sudah Ultra HD/3D), 1 unit receiver, 1 unit proyektor atau televisi Ultra HD minimal 60”,  home theater 1 set speaker (terdiri dari: sepasang speaker utama, 1 buah center speaker, 1 buah sub-woofer, sepasang surround speaker samping kiri dan kanan, sepasang surround speaker kiri-kanan belakang).

Jika menghendaki sound system Dolby Atmos, maka perangkat-perangkat tersebu di atas haruslah sudah didukung oleh teknologi suara Dolby Atmos tersebut, tentu saja dengan konsekuensi harga yang lebih mahal lagi.    

Teknologi Blu-ray pertama kali dikembangkan oleh Sony Corporation, dan diperkenalkan pertama kali dalam bentuk protipe DVR Blue pada tahun 2.000 di CEATEC (Combined Exhibition of Advanced Technologies), di Tokyo, Jepang. Merek dagang “Blu-ray” pertama kali dipatenkan pada 9 Februari 2001, dan pada 19 Februari 2002, proyek ini secara resmi diumumkan sebagai Blu-ray Project.

Selain Sony dan Pioneer, ada tujuh perusahaan elektronika raksasa lainnya yang bergabung dalam proyek tersebut, yaitu Panasonic, Philips , Thomson , LG Electronics , Hitachi , Sharp , dan Samsung Electronics

Pada 20 Mei 2002, bersama dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT), kesembilan produsen ini membentuk suatu konsorsium yang dinamakan “Blu-ray Disc Founders” (BDF), dan agar lebih banyak perusahaan eletronika dan industri film bergabung,  pada 4 Oktober 2004 BDF berganti nama menjadi  “Blu-ray Disc Association” (BDA).

BDA adalah konsorsium industri yang mengembangkan dan lisensi teknologi Blu-ray Disc dan bertanggung jawab untuk menetapkan standar format dan mempromosikan peluang bisnis untuk Blu-ray Disc .

Pada 2006-2008, teknologi BD ini sempat bersaing dengan kelompok produsen berteknologi tinggi setara lainnya yang dipimpin oleh Toshiba dan NEC, yang dinamakan HD DVD, yang didukung oleh studio film besar Hollywood, Warner Bros Group  (New Line Cinema, dan HBO).

Dua format berteknologi tinggi ini mempunyai format pengkodean yang berbeda, sehingga tidak kompatibel satu dengan yang lain, maka terdapat BD player yang dipimpin Sony bersaing dengan HD DVD player yang dipimpin oleh Toshiba.

Hal ini membuat studio-studio film Hollywood terpaksa merilis filmnya dalam dua format itu, tetapi yang terbanyak adalah yang mendukung format Blu-ray.

Persaingan itu juga mengingatkan orang terhadap persaingan antara kaset video berformat Betamaxversus VHS, sebagaimana sudah diuraikan di atas.

Namun, tidak seperti persaingan ketat antara Betamax versus VHS, yang memakan waktu sampai hampir sepuluh tahun, dengan masing-masing menguasai wilayahnya (Betamax di Asia, VHS di AS dan Eropa), persaingan antara format Blu-ray dengan HD DVD hanya memakan waktu sekitar dua tahun.

Studio-studio film Hollywood satu per satu memutuskan tidak lagi memproduksi film-filmnya dalam format cakram HD DVD, dan hanya memproduksi format cakram Blu-ray.

Toko-toko retail besar DVD di AS pun, seperti Best Buy , Walmart , dan Circuit City, dan  di Kanada, seperti Future Shop pun menghentikan penjualan HD DVD, maka kematian HD DVD pun hanya menunggu waktu.

Pada 19 Februari 2008 Toshiba mengumumkan akan mengakhiri produksi dan pengembangan HD DVD sehingga secara langsung menyudahi perang format tersebut.

Bisnis VCD/DVD yang Sempat Berkembang Pesat

Sebelum datang teknologi-teknologi canggih yang berkaitan dengan home video dalam format dan teknologi lebih canggih lainnya, bisnis penjualan dan persewaan (rental) DVD sempat memperoleh masa kejayaannya selama lebih dari satu dekade.

Saat itu nama “Disc Tarra” sebagai toko musik dan DVD terbesar di Indonesia sangat dikenal, ia selalu ada di semua mall besar di seluruh Indonesia, dan selalu ramai pembelinya.

Demikian juga dengan bisnis franchise (waralaba) persewaan VCD dan DVD, seperti jaringan persewaan VCD/DVD “Odiva” (grup Disc Tarra) dan Video-Ezy (dari Australia), tersebar di seantero Nusantara, selain rental-rental perorangan lainnya.

odivavideo-594fe1d90bb0bd52227d4fe0.jpg
odivavideo-594fe1d90bb0bd52227d4fe0.jpg
Di Amerika Serikat, terkenal dengan jaringan toko rental-nya terbesarnya yang bernama Blockbuster dan Red Box.

Namun seiring berjalannya waktu, mulai tumbuh pesat pula bisnis DVD bajakan di Indonesia. Kebanyakan konsumen Indonesia yang tidak memperdulikan kwalitas, yang penting bisa nonton filmnya, lebih memilih DVD bajakan yang harganya rata-rata hanya Rp 5.000 per film, dibandingkan DVD original yang rata-rata di atas Rp. 100.000 per film, dan sewa DVD original yang Rp Rp. 8.000 – Rp. 10.000, atau sewa VCD yang Rp. 4.000-Rp. 5.000 per film, denganbatas waktu pengembalian tertentu, yang jika dilewati akan dikenakan denda.

Beli DVD bajakan dengan harga segitu, habis nonton dibuang juga tidak masalah, dibandingkan sewa dengan ongkos sewa yang sama, tetapi harus dikembalikan tepat waktu, atau kena denda. Apalagi kwalitas DVD bajakan pun terus berkembang sehingga nyaris sama dengan DVD original.

Maka perlahan namun pasti DVD dan VCD original di Disc Tarra pun semakin tidak laku. Disc Tarra semakin terpukul ketika teknologi dan kecepatan internet semakin maju dengan setiap orang bisa mengunduh musik dari internet dan menyimpannya di USB, flash-disc atau media lainnya. Disc Tarra yang sangat mengandalkan penjualan CD musik pun semakin terpuruk, sampai akhirnya terpaksa menutup tokonya di seluruh Indonesia. Bangkrut!

Di Amerika pun  jaringan persewan DVD Blockbuster yang sangat terkenal di sana, pun terpaksa lempar handuk putih,  menutup seluruh tokonya, karena gempuran teknologi internet (video streaming), apalagi ketika bermunculan bisnis persewaan film jenis baru berteknologi internet kecepatan tinggi (broadband), yang dipelopori oleh Netflix.

Dengan Netflix, setiap orang yang berlangganan, dapat menikmati tayangan film kesukaannya di mana pun dengan segala macam gawai berteknologi internet, dari Smart TV, ponsel pintar, laptop, maupun PC.

Kematian CD, VCD dan DVD Original

Di Indonesia, sama dengan DVD, bisnis VCD pun harus menghadapi terjangan hebat dari DVD bajakan. Perlahan namun pasti VCD, maupun – apalagi – DVD original pun semakin terdesak, dan akhirnya mati.

Demikian juga CD musik, yang menjadi andalan toko-toko musik besar, seperti Disc Tarra, dan Aquarius, sesudah ngos-ngosandihantam CD musik bajakan, lalu dihabisi oleh teknologi unduhan dan menginstal musik lewat internet.

Yang memprihatinkan pemerintah pun terkesan tidak memperdulikan nasib dari pebisnis VCD/DVD/CD musik original yang nota benelegal dan membayar pajak kepada negara, dengan membiarkan bisnis DVD bajakan yang ilegal dan tak membayar pajak ke negara terus berkembang dan membesar sampai merambah ke mall-mall.

Ironisnya dalam satu mal yang sama bisa terdapat toko Disc Tarra yang menjual produk legal dan original dengan belasan toko kecil yang menjual produk bajakan dan ilegal, dan akhirnya yang mati justru yang legal dan original.

Undang-Undang Hak Cipta pun taklebih dari macan ompong dan produk hukum pajangan saja.

Jika ada tindakan terhadap DVD bajakan dari yang berwenang itu tak lebih daripada formalitas belaka, yang dilakukan secara sporadis dan tidak serius. Bahkan berhembus isu yang mengatakan di setiap daerah ada saja aparat yang membeking bisnis DVD bajakan tersebut.

Tak heran mendapat gempuran dari produk bajakan, tidak adanya perlindungan hukum dari pemerintah, bisnis VCD dan DVD original, juga CD musik di Indonesia pun semakin lama semakin sekarat, antara hidup dan mati.

Keadaan menjadi semakin tak tertolong lagi ketika teknologi video streaming internet semakin maju merambah sampai ke teknologi home video, musik, dan film-film bajakan pun bisa diunduh lalu diinstal di mana saja dengan menggunakan teknologi internet itu, disimpan di USB.

Maka hari kematian pun akhirnya tiba bagi pebisnis DVD, VCD, CD musik bahkan Blu-ray di beberapa negara di Asia, termasuk di Indonesia. Blu-ray yang belum berkembang di Indonesia pun ikut menemui ajalnya, menjadi barang langka.

Toko Disc Tarra pada Desember 2015 menutup seluruh tokonya di Indonesia, demikian juga dengan toko musik dan DVD/Blu-ray/CD terbesar di Singapura: HMV, juga bernasib serupa. Pada Sepetember 2015 HMV sudah lebih dahulu menutup toko terakhirnya di Marina Square Mall, Singapura.

(http://www.straitstimes.com/singapore/)
(http://www.straitstimes.com/singapore/)
Toko DVD terbesar di Amerika Serikat, Blocbuster, kini tinggal nama (http://www.washingtontimes.com)
Toko DVD terbesar di Amerika Serikat, Blocbuster, kini tinggal nama (http://www.washingtontimes.com)
Sementara itu bisnis DVD bajakan, kemudian Blu-ray bajakan justru semakin subur dan membesar.

Namun waktu terus berjalan, sekarang ini, dan ke depannya lagi, bisnis ilegal ini pun tampaknya tidak lagi seceriah sebelumnya. “Malaikat mautnya” sama, teknologi streaming video internet, baik yang legal (berupa perusahaan-perusahan raksasa), maupun yang ilegal di internet. 

Di era serba teknologi internet yang semakin maju ini, kehadiran Netflix, Iflix, Hooq, dan beberapa merek sejenis lainnya, ditambah dengan teknologi TV Kabel yang juga semakin maju,  dan semakin murah, maka era Blu-ray pun mungkin akan mengalami nasib seperti para pendahulunya. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun