Yang menjadi ketua panitianya justru salah satu anggota parlemen yang jelas-jelas namanya ada di dalam daftar penerima suap mega proyek KTP-el itu dengan jumlah jumbo: 1 juta Dolar AS, yakni Agun Gunandjar Sudarsa dari Fraksi Partai Golkar.
Perbuatan mereka ini lebih tepat disebut sebagai aksi para preman berdasi daripada anggota parlemen. Parlemen digunakan mereka untuk menyelamatkan diri dari jeratan KPK. Sungguh-sungguh merupakan satu penghinaan terhadap parlemen.
Fahri Hamzah adalah salah satu inisiator utama terbentuknya Pansus Hak Angket terhadap KPK itu.
Seorang kawan Fahri Hamzah mengatakan, ini bukan gedung teroris, dan ia memang benar itu bukan gedung teroris, tetapi lebih pas diplesetkan sebagai  "gedung koruptor", karena memang merupakan "sarang koruptor" daripada tempat anggota parlemen memperjuangkan hak-hak rakyat yang mereka wakili.
Alasan Fahri dan kawan-kawannya menghalangi penggeledahan dan mengusir penyidik KPK, karena membawa brimob bersenjata laras panjang itu jelas hanya kedok saja, maksud sebenarnya, mereka hendak menghalangi penyidik KPK menggeladah  ruang kerja Yudi Widiana itu, karena meraka tahu apa akibatnya jika sampai KPK berhasil menggeledah ruang kerja itu.
Sebelum-sebelumnya (sampai sekarang) setiap penyidik KPK melakukan penggeledahan memang selalu dikawal oleh beberapa personil brimob bersenjata api laras panjang, tak pernah dipermasalahkan oleh Fahri Hamzah dan kawan-kawannya itu, tetapi begitu pihak mereka yang kena sidik KPK, mereka langsung mengamuk, dan menggunakan jabatannya untuk melawan KPK.
Pengawalan yang dilakukan brimob atas permintaan KPK itu sudah sesuai dengan KUHAP dan UU KPK, sedangkan mengenai senjata api yang dibawa brimob, dalam hal ini biasanya senjata laras panjang, itu pun sesuai dengan SOP Polri, sebagaimana juga dipertegas oleh Kapolri ketika itu, Jenderal Badrodin Haiti. Â Lagipula mana ada saat menjalankan tugas keamanan, brimob dilarang membawa senjata api?
Untung sekali ketika itu, ada Christian, penyidik KPK senior yang begitu berani dan begitu tegas, tanpa kompromi sedikitpun, melawan keangkuhan Fahri Hamzah itu. Fahri yang menurunkan nada bicaranya, mengajak lebih tepat "menggelabui" Â Christian untuk masuk ke satu ruangan untuk "bicara baik-baik" sedikit pun tidak digubris Christian.
Ketegagaran Christian untuk penyidik KPK tidak mundur seinci pun meskipun dibentak dan digertak Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi PKS itu, sehingga akhirnya penyidik KPK berhasil melanjutkan tugasnya dengan menggeledah ruang kerja Yudi Widiana itu ternyata membuahkan hasil yang cukup mencengangkan. Uang korupsi yang diduga melibatkan Yudi ternyata berskala besar.
Padahal selain hendak dilindungi Fahri Hamzah, Presiden PKS, Sohibul Iman juga ketika itu pernah menyatakan ia sudah melakukan klarifikasi langsung kepada Yudi Widiana, apakah Yudi ikut menerima suap proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sebagaimana kolega lainnya dari lain partai yang sudah ditangkap KPK, Yudi menjawabnya tegas, tidak. Seolah-olah dengan klarifikasi itu, sudah cukup membuktikan Yudi memang bersih.
Ternyata dari hasil penggeledahan KPK tersebut, disertai dengan pengembangan kasus suap itu sendiri, KPK menemukan bukti-bukti bahwa Yudi juga menerima suap di dalam proyek jalan di Maluku itu, bahkan jumlahnya jauh lebih besar daripada suap yang diterima oleh Damayanti Wisnu Putranti, yang OTT-nya pertama kali menguak kasus korupsi itu.