"Peresmian masjid, saya sudah kontak Pemprov. Yang ramai tersebar di media sosial, Pak Ahok akan meresmikan tanggal 16 April 2017. Tapi setelah kita klarifikasi bahkan yang meresmikan Pak Jokowi tanggal 15 April. Panwas kita sudah mau menghentikan, konsultasi ke jajaran Pemda karena di media sosial begitu," kata Mimah Susanti di dalam acara diskusi Polemik di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (15/4/2017).
Sedangkan Panwaslu Jakarta Barat pun sudah siap-siap mengirim surat himbauan kepada pihak Ahok-Djarot agar jangan hadir, meskipun jika diundang. Peringatan lisan sudah lebih dulu disampaikan.
Ketua Panwaslu Jakarta Barat Puadi mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan lewat telepon kepada tim pasangan Ahok-Djarot, agar Ahok dan Djarot tidak hadir dalam acara peresmian Masjid Raya yang berada di bilangan Daan Mogot itu. Meskipun tidak menyampaikan visi-misi, tetap saja tidak boleh, karena kehadiran Ahok/Djarot di acara peresmian Masjid itu akan menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat sebagai bagian dari kampanye. Tidak boleh kampanye di rumah ibadah, katanya.
"Kalau di tempat ibadah masuk pada posisi paslon sudah include. Kehadirannya sudah memenuhi unsur kampanye," ujar Puadi.
"Kalau kejadian hari ini mereka dimajukan, kalau Pak Jokowi tidak masalah peresmian. Tapi ketika Pak Ahok dan Djarot hadir, rentan, orang persepsinya tetap walaupun sebagai kepala daerah," tegas Puadi.
Padahal, tidak ada peraturan apapun yang melarang Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk hadir di acara seperti peresmian sebuah masjid itu, Bawaslu DKI dan Panwaslu DKI melarang hanya berdasarkan persepsi yang sangat subyektif dari mereka.
Ketegasan dan pro-aktifnya Bawaslu DKI dan Panwaslu DKI terhadap Ahok-Djarot itu justru semakin memperkuat indikasi tentang keberpihakan mereka terhadap Anies-Sandi, setelah beberapa kasus sebelumnya sudah pula menunjukkan indikasi keberpihakan Ketua KPUD DKI Soemarno terhadap pasangan calon nomor urut 3 itu, seperti pemasangan gambar Aksi 212 yang menuntut Ahok dipenjara di profil WhatsApp.-nya; pertemuannya dengan Anies Baswedan di TPS 029, di Kalibata, Jakarta Selatan; mengulur waktu jadwal acara penetapan pasangan calon putaran kedua untuk menunggu kedatangan Anies-Sandi; dan membiarkan DPT bermasalah di beberapa TPS yang menyebabkan masyarakat yang berpotensi memilih Ahok-Djarot tidak dapat menggunakan hak pilihnya; dan dugaan kesengajaan memilih kelompok komunitas tertentu yang anti-Ahok untuk mengajukan pertanyaan yang menyudutkan Ahok-Djarot di acara debat final Pilgub DKI, 12 April lalu.
Reaksi cepat Bawaslu DKI dan Panwaslu DKI terhadap kemungkinan Ahok dan Djarot, terutama Ahok, hadir di peresmian Masjid Raya Hasyim Asy’ari tersebut di atas sangat bertolak belakang dengan sikap mereka kepada Anies Baswedan (dan Sandiaga Uno) yang justru berkali-kali telah melakukan kampanye langsung di beberapa masjid, yang isinya selalu menjelek-jelekkan bahkan mengfitnah Ahok (misalnya, tentang penggusuran 300 lebih pemukiman miskin), dan meng-framming Ahok sebagai gubernur yang tak punya hati nurani, anti warga miskin.
Di hari yang sama dengan kesibukan Bawaslu/Panwaslu mencegah Ahok hadir di acara peresmian Masjid Raya Hasyim Asy’ari itu (Sabtu, 15/4/2017), justru Anies Baswedan melakukan peresmian sebuah masjid di kawasan Cipayung, Jakarta Timur (Tribunnews.com), dan hal itu sama sekali tidak dipersoalkan Bawaslu DKI, dan Panwaslu DKI.
Meskipun yang diresmikan Anies itu sebuah masjid kecil, dan dia bukan pejabat gubernur seperti Ahok, apakah hal itu bisa menjadi pembeda yang membenarkan Ahok tidak boleh hadir di acara peresmian masjid, sedangkan Anies bahkan boleh meresmikan masjid? Apa saja sebenarnya kriteria Bawaslu dalam hal ini?