Oleh karena alasan ini pula, kemungkinan besar yang membuat Anies trauma, takut emosinya kembali terpancing dan tidak bisa dikendalikan, sehingga aslinya bisa kelihatan, maka itu dia menolak undangan Kompas TV, untuk hadir di acara debat yang rencananya akan dipandu oleh Rosi, Minggu malam lalu (2/4).
Jika Anies sungguh seorang calon pimpinan sejati, seorang negarawan, seharusnya ia tidak rela meraih keuntungan di atas penganiayaan terhadap Ahok dengan berbagai isu dan fitnah SARA tersebut, apalagi membalik fakta dengan mempersalahkan Ahok. Dampak destruktifnya dilemparkan ke Ahok, keuntungannya dinikmatinya.
Budayawan Mohammad Sobary (Kang Sobary) juga belum lama ini menyatakan bahwa di pilgub DKI Jakarta sekarang ini sedang terjadi proses upaya untuk menang dengan cara menginjak-injak saudara-saudaranya sendiri.
“Bagi orang yang benar, tidak mau diuntungkan, kalau keuntungan itu diperoleh dengan cara yang begitu kotor,” katanya menyindir.
Kang Sobary juga mengatakan tentang Anies dan pluralisme, yaitu bahwa: “Anies bukan bagian dari kaum intelektual yang turut sibuk mendiskusikan atau melakukan diskursus tentang pluralistas. Bukan! Bukan bagian, tidak ada sejarahnya. Anies bukan apa-apa dalam hal ini. Jadi jangan diharap, untuk (Anies) bersikap jujur seperti itu. Jujur bukan panggilan jiwanya.”
Ahok sendiri sedang dalam proses untuk memperbaiki cara berkomunikasinya, cara bertutur-katanya, yang memang tempo hari terkadang kasar dan provokatif, sehingga sekarang sudah banyak berubah. Itulah salah satu ciri pimpinan yang sejati, yaitu bersedia menerima kritik, nasihat, dan mau introspeksi dirinya sendiri demi kebaikannya sendiri dari rakyat yang dipimpinnya. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H