Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Karakter Asli Anies Semakin Kelihatan?

4 April 2017   12:43 Diperbarui: 4 April 2017   12:52 9621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan di acara debat Mata Najwa, Metro TV, 27 Maret 2017 (Metro TV/Twitter)

Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man's character, give him power(Hampir semua orang bisa menghadapi kesengsaraan, tetapi jika anda ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan) -- Abraham Lincoln –

Untuk Anies, tidak perlu sampai diberi kekuasaan,  baru diiming-imingi kekuasaan saja sudah mulai terkuak sebagian karakter aslinya.

---

Di salah satu sesi acara debat calon gubernur DKI Jakarta antara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melawan Anies Baswedan, di Mata Najwa:“Babak Final Pilkada Jakarta”, Metro TV, Senin, 27 Maret 2017 lalu, Najwa Shihab membaca pertanyaan dari seorang netizen, @Annagitu, kepada Anies:

Pak Anies, terkait isu SARA, soal tudingan munafik, tamasya Al Maidah dan larangan menyolatkan jenazah, mengapa terkesan membiarkan isu itu? Apa karena isu itu menguntungkan bagi Bapak #MatanajwadebatJakarta.

Terhadap pertanyaan itu, Anies membuka jawabannya dengan mengatakan:

“Semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih. Itu kunci nomor satu. ...”

Meskipun pernyataan itu sifatnya normatif, spontan saya bertanya di dalam hati: Sungguh jujurkah Anies saat mengatakan hal itu?

Katanya, semua warga negara (WNI) mempunyai hak yang sama untuk dipilih, dan memilih, yang berarti juga, dalam konteks pilgub DKI, semua WNI tanpa kecuali, tanpa melihat latar belakang etnis dan agamanya, berhak pula dipilih dan menjadi gubernur DKI Jakarta.

Secara hukum ketatanegaraan dan pemerintahan, apa yang dikatakan Anies itu sangat benar, UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa semua WNI, tanpa ada kecualinya, mempunyai hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum, maupun pemerintahan, termasuk di dalamnya berhak menjadi pimpinan di dalam pemerintahan (bupati, wali kota, gubernur, menteri, bahkan presiden). Tentu saja dengan syarat-syarat tertentu yang dijabarkan di dalam Undang-Undang.

Ideologi, falsafah, dan dasar negara NKRI adalah Pancasila, bukan berdasarkan agama tertentu, NKRI bukan NKRI bersyariah, tetapi NKRI yang berdasarkan Pancasila, dengan hukum dasarnya yang bernama UUD 1945.

Oleh karena itu dalam kehidupan bertatanegara, setiap hak dan kewajiban WNI ditentukan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan hukum agama tertentu.

Dalam hal memilih kepala daerah dan kepala negara/pemerintahan, pemilihan itu dilakukan berdasarkan pertimbangan kinerja, kemampuan, dan rekam jejak calon tertentu, berbeda dengan jika ingin memilih pimpinan dalam agama, tentu yang dipilih adalah pimpinan yang seimam.

Lalu, kenapa saya mempertanyakan kejujuran Anies saat dia mengatakan, semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih?

Terpojok, Anies Mengaku Sepaham dengan FPI

Karena pernyataan Anies ini bertolak belakang dengan pernyataan sebelumnya, di Mata Najwa yang lain.

Pada Mata Najwa, 25 Januari 2017, ketika ditanya sikap politiknya tentang siapa yang boleh menjadi gubernur DKI Jakarta, apakah sama dengan FPI, yaitu gubernur DKI Jakarta harus orang beragama Islam, Anies awalnya ingin menghindar dari pertanyaan Najwa itu dengan cara berputar-putar menjawabnya, sehingga justru tidak menjawab pertanyaan itu.

Sebetulnya, Anies cukup menjawab dengan “ya”, atau “tidak” berikut alasannya. Tetapi , Anies seolah-olah berpura-pura tidak mengerti pertanyaan Najwa itu, bahkan sempat-sempatnya dia menyindir sikap Ahok yang katanya berbahaya, karena tidak pernah berdialog dengan ormas seperti FPI. Ujung-ujungnya jawaban Anies tidak nyambungdengan pertanyaan Najwa itu.

Najwa bertanya kepada Anies: “Kita tau, sikap politik FPI jelas: Gubernur DKI harus orang (beragama) Islam. Anda sependapat dengan sikap politik itu?”

Anies menghindar menjawabnya, dengan berkata: “Itu adalah pandangan yang disampaikan. Dan, saya, sebagai calon, menawarkan program. Jadi, ini bukan soal pandangan saya pribadi. Ini soal bagaimana Jakarta, gubernurnya siapapun, dia harus mengayomi semuanya. Dan yang diayomi semuanya itu artinya seorang gubernur harus bisa berdialog juga, malah justru berbahaya kalau seorang gubernur berkata, saya tidak mau dengan organisasi ini,saya tidak mau dengan organisasi ini,lalu dengan siapa dia mau?”

Najwa kembali mengingatkan Anies, pertanyaannya belum dijawab: “Pertanyaan saya belum terjawab, Mas Anies, apakah sependapat dengan FPI: gubernur Jakarta harus orang Islam?”

Anies masih mencoba mengelak menjawab pertanyaan Najwa itu, ia masih mencoba berbeli-belit menjawab pertanyaan yang sudah sedemikian jelasnya, katanya:

“Kalau kita berbicara tentang ayat Quran, jelas, di situ dikatakan itu, tetapi kalau sudah sampai pada putusan politik, putusan politik itu diserahkan kepada rakyat, karena itu adalah proses demokrasi.”

Tapi, bukan namanya Najwa Shihab kalau berhenti mengejar subyek yang ngeles ketika ditanya, maka Najwa mengulangi lagi pertanyaannya: “Jadi, Anda tidak sependapat?”

Anies menjadi tanpak konyol ketika masih mencoba berpura-pura tidak mengerti pertanyaan Najwa itu, seolah-olah masih ingin mengulur-ulur waktu, dia berbalik bertanya kepada Najwa: “Tentang...?”

“Tentang gubernur DKI harus orang muslim,” Najwa terpaksa menjelaskan lagi.

Tak bisa menghindar lagi, Anies pun menjawab: “Sebagai seorang muslim saya mentaati Al-Maidah 51 (gubernur DKI harus beragama Islam).”

Kenapa dari awal, tidak langsung saja Anies menjawab tegas begini?

Karena sesungguhnya ketika itu Anies terpojok dengan pertanyaan Najwa itu, antara menunjukkan sifat aslinya, ataukah harus mempertahankan kepura-puraannya, seolah-olah ia perajut kebhinekaan, seolah-olah ia pro-pluralisme, pro-heteregonitas, mengakui adanya kesamaan hak dan kewajiban setiap WNI sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, itu semua ternyata hanyalah seolah-olah.

Karena sudah terpojok dengan pertanyaan Najwa Shihab itu, akhirnya, mau tak mau, Anies pun menunjukkan sikap aslinya itu. Benarlah kata orang bijak, seseorang yang sedang berpura-pura akan menunjukkan sifat aslinya ketika dia merasa terpojok.

Jadi, pandangan politik Anies jelas sama dengan FPI dan kawan-kawannya bahwa seorang gubernur DKI Jakarta harus orang beragama Islam. Artinya, dengan kata lain bagi Anies, tidak semua WNI berhak menjadi gubernur DKI Jakarta, hanya WNI Islam yang berhak, maka,  Ahok yang beragama Kristen tidak berhak dipilih untuk menjadi gubernur DKI Jakarta.

Silakan menyimak rekaman videonya di bawah ini (mulai menit ke 4:45):


Dalam Hal Ini, Anies Serupa Benar dengan Prabowo

Dengan pengakuannya bahwa bagi dia hanya orang Islam saja yang berhak menjadi gubernur DKI Jakarta, berarti pula pengakuan Anies terhadap kebhinekaan, sebagai perajut kebhinekaan selama ini ternyata merupakan suatu pencitraan saja. Sebab, bagaimana mungkin Anda menyatakan mengakui dan mendukung pluralisme dan kebhinekaan bangsa Indonesia, tetapi bersamaan dengan itu Anda hanya mengakui golongan tertentu saja yang boleh menjadi pimpinanan?

Jadi, ternyata sikap Anies Baswedan yang sebelumnya dikenal publik sebagai sosok yang berpihak kepada heterogenitas, atau  pluralisme, hanyalah sikap yang seolah-olah saja. Aslinya, ia tidak seperti itu.

Saat diiming-iming dengan jabatan gubernur DKI Jakarta, keluarlah aslinya. Ternyata ia juga punya pandangan politik yang sama dengan FPI cs, yaitu orang beragama non-muslim tidak berhak menjadi pimpinan di negara ini.  

Maka itu, tak heran pula, Anies begitu cepat akrab dengan petinggi-petinggi ormas Islam radikal dari FPI, FUI, HTI dan lain-lain, karena ternyata dia sepaham dengan mereka tentang pimpinan non-muslim. Tak perduli, ormas-ormas itu mempunyai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, dan diduga  mempunyai misi terselubung untuk membuat Jakarta dan NKRI menjadi Jakarta dan NKRI yang bersyariah, berdasarkan hukum Islam, menuju suatu cita-cita besar mendirikan negara khalifah untuk menggantikan NKRI berdasarkan Pancasila.

Sikap Anies yang merangkusl ormas anti-kebhinekaan seperti FPI itu, sangat persis, seperti copy-paste saja dengan sosok Prabowo Subianto yang di Pilpres 2014, yang juga berpenampilan seolah-olah berpihak kepada heterogenitas dan pluralisme, tetapi demi bisa menjadi presiden, ia mengakomodasi kelompok ekstremis, dan anti-kebhinekaan, seperti FPI.

Adalah Anies Baswedan sendiri yang pernah berkata seperti itu tentang Prabowo, sekarang sikap Prabowo yang pernah dikecam itu, dilakukan sama persis oleh Anies, bedanya kalau Prabowo dulu demi bisa menjadi presiden, Anies kini demi bisa menjadi gubernur DKI Jakarta.

Pernyataan penilaian Anies terhadap Prabowo Subianto itu diucapkan Anies, di Jakarta, pada 26 Juni 2014, di kala ia masih menjadi bagian dari tim sukses Jokowi-JK di Pilpres 2014.

Pada kesempatan itu, Anies menyatakan bahwa keliru jika menganggap Prabowo Subianto adalah sosok yang tegas dan pro-pluralisme itu merupakan suatu penilaian yang sangat keliru.

"Kita malah menganjurkan masyarakat untuk menilai secara baik-baik, Prabowo itu tegas dari mananya? Coba tunjukkan, apa bukti kalau Prabowo tegas?" kata Anies ketika itu.

Ketegasan, kata Anies waktu itu, tidak bisa dikaitkan dengan latar belakang militer ataupun gaya bicara yang berapi-api Prabowo. Ia lalu memberi bukti contoh ketidaktegasan Prabowo melalui visi misi yang dia sampaikan.

"Misalnya nih, dia tidak tegas soal perekonomian. Secara retorik dia sering menyampaikan kalau ekonominya bersifat nasionalisme tertutup, tapi saat diskusi dia juga sering sampaikan mengenai ekonomi terbuka. Yang mana yang benar?" ujarnya.

Contoh lain, lanjut Anies, adalah janji Prabowo yang seakan berpihak kepada heterogenitas dan pluralisme yang ada di Indonesia. "Tapi, dia justru mengakomodasi dan merangkul kelompok ekstremis seperti FPI!"

Masyarakat harus bertanya, tegasnya Prabowo itu pencitraan atau kenyataan? Tunjukkan tiga saja keputusan Prabowo yang tegas," tambah Anies waktu itu (Kompas.com).

(Twitter)
(Twitter)
Sekarang, kita  juga bertanya, ketegasan Anies itu di mana?  

Tidak usah sampai tiga bukti, sebagaimana Anies minta untuk pembuktian ketegasan Prabowo, cukup satu saja kita minta dari Anies untuk membuktikan ia memang sosok yang tegas.

Yang ada justru bukti ketidaktegasan Anies.

Misalnya, tentang program KPR Nol Rupiahnya bersama Sandiaga, di mana ketegasannya?

Program Anies-Sandi itu terus-menerus dimodifikasi (berubah-ubah) seiring dan disesuaikan dengan kritik-kritik yang susul-menyusul yang menyatakan program itu nyaris mustahil untuk dilaksanakan. Programnya diubah-ubah supaya yang tidak masuk akal itu bisa masuk akal, tetapi tetap saja tidak bisa.

Bahkan di antara Anies dan Sandiaga pun tidak seia sekata dengan program mereka sendiri itu (baca: Anies-Sandi Beda Pandangan Soal Program DP 0 Rupiah).

Sedangkan, mengenai ketegasan sikapnya terhadap heteregonitas, pluralisme, sama persis dengan ia tempo hari katakan tentang Prabowo Subianto; katanya perajut kebhinekaan, berpihak kepada heterogenitas dan pluralisme, tetapi ketika tergiur dengan jabatan gubernur  demi mendapat suara,  justru merangkul dan bersekutu dengan kelompok ekstremis anti-kebhinekaan, seperti FPI, FUI, HTI, dan lain-lain.

Kini, demi bisa jadi gubernur DKI Jakarta, Anies pun menjilat kembali semua ludahnya kembali; Prabowo dielu-elukan, dikatakan sebagai negawaran besar, dan FPI dipuja-puji, dikatakan sebagai ormas agama berintelek tinggi, setaraf dengan universitas, sehingga dijadikan “panutannya”.

Kontrak Politik “Jakarta Bersyariah”

Di media sosial sempat viral dua foto dokumen tentang kontrak politik yang “ditandatangani” Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dan yang “ditandatangani” sendiri oleh Anies, isinya mengenai janji mereka dengan ormas-ormas Islam radikal, jika terpilih menjadi pasangan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta akan membuat Jakarta menjadi kota bersyariah, menerapkan hukum Islam melalui perda-berda bersyariah.

Dokumen yang berisi tanda tangan Anies dan Sandi kelihatan sekali tanda tangan palsu, sedangkan dokumen yang ada tanda tangan Anies saja seperti tanda tangan asli, tetapi kedua-duanya sudah dibantah Anies dan Sandi, dan tim suksesnya. Mereka mengatakan, viral itu merupakan fitnah.

Tak  lama kemudian, bertebaran pula di Jakarta, banyak spanduk yang bertuliskan tentang program kerja 100 hari pertama Anies-Sandi untuk mewujudkan DKI Jakarta menjadi kota bersyariah melalui qanun jinayah yang terdiri dari 9 perda bersyariah.

Anies, Sandi, dan tim suksesnya kembali mengatakan bahwa pembuatan dan penyebaran spanduk-spanduk itu merupakan bentuk fitnah terhadap mereka, Anies dan Sandi tidak pernah membuat kontra politik seperti itu.

Anies Baswedan mengatakan, pihak lawannya sudah tidak percaya diri dalam adu program di pilkada Jakarta ini, jadi, hobinya bikin fitnah melulu. Padahal itu merupakan cara tidak keren, yang hanya mengganggu suasana politik Jakarta yang sedang memanas.

Anies-Sandi dan tim suksesnya sah-sah saja membantah mengenai kontrak politik Jakarta Bersyariah ini, mungkin juga benar, itu semua hanya fitnah.

Viral hoax yang disebut mengfitnah Anies-Sandiaga (Twitter)
Viral hoax yang disebut mengfitnah Anies-Sandiaga (Twitter)
Spanduk Jakarta Bersyariah yang disebut fitnah oleh Anies-Sandiaga (netralnews.com)
Spanduk Jakarta Bersyariah yang disebut fitnah oleh Anies-Sandiaga (netralnews.com)
Tetapi yang tak bisa dipungkiri adalah fakta, bukan hoax, bukan pula fitnah bahwa Anies Baswedan yang katanya perajut kebhinekaan, yang tempo hari mengecam Prabowo Subianto yang karena ingin menjadi presiden bersikap seolah-olah pendukung pluralisme, tetapi ternyata merangkul ormas ektremis seperti FPI, ternyata, sekarang dia sendiri melakukan apa yang tempo hari dikecam terhadap Prabowo itu: Demi bisa menjadi gubernur DKI Jakarta, ia yang katanya perajut kebhinekaan, pendukung pluralisme itu, bukan hanya merangkul, dan bersekutu dengan ormas ekstremis anti-pluralisme seperti FPI. Bukan hanya FPI, tetapi juga ormas-ormas Islam radikal dan sektarian lainnya, seperti FUI, dan HTI.

Sudah menjadi rahasia umum, ormas-ormas sektarian itu punya agenda untuk mensyariahkan NKRI, yang diawali dengan Jakarta, untuk menuju cita-cita mereka yang lebih besar lagi, yaitu mendirikan negara khilafah di negara ini, mengubah dasar negara Pancasila dengan ideologi khilafah.

Apabila niat Anies merangkul ormas-ormas itu bukan demi kepentingan politiknya semata, tetapi demi kepentingan bangsa dan negara, maka seharusnya ia dengan sungguh-sungguh mau mengajak mereka untuk secara kongkrit mengakui Pancasila sebagai dasar negara, mengakui dan mendukung pluralisme, mengakui adanya persamaan hak dan kewajiban bagi semua WNI tanpa kecualinya berdasarkan UUD 1945, serta mengakui bahwa NKRI ini NKRI berdasarkan Pancasila, bukan berdasarkan agama Islam.

Sebagai awal dari upaya itu, mungkin Anies dan Sandiaga bisa mengajak para petinggi ormas-ormas itu, untuk sejenak melepaskan jubah khas Arab mereka, diganti dengan busana Batik sebagai busana nasional NKRI, atau mengenakan busana khas daerah, seperti busana khas Betawi, lalu foto bersama mereka. Sebab, bukankah selama ini kita tidak pernah melihat para petinggi ormas-ormas radikal yang katanya pendukung NKRI itu mengenkaan busana nasional Batik?

Masjid Sebagai Media Kampanye Paling Efektif Anies-Sandi?

Konsultan politik Anies-Sandi, Eep Saefullo Fatah, di dalam suatu ceramahnya, yang kini beredar di You Tube, menyampaikan paparannya bahwa belajar dari pengalaman sukses (kemenangan) yang pernah dialami oleh Partai FIS (Front Islamic du Salut, atau Fron Keselamatan Islam, sebuah partai politik berideologi Islam) di Aljazair, yang memanfaatkan masjid, khotib, ustad dan ulama untuk mengkampanyekan kemenangannya, maka dirasakan perlu untuk ditiru pula oleh Anies-Sandi untuk kemenangan mereka di pilgub DKI Jakarta 2017 ini.

Berikut cuplikan ceramah Eep Saefullo itu:

Kenapa partai FIS di luar dugaan bisa menang pemilu ketika itu? Dilihat dari jaringan partai, itu bukan partai dengan jaringan paling hebat. Dilihat dari ketokohan, tidak ada tokoh-tokoh yang tersebar di berbagai daerah, dilihat dari pendanaan, sangat biasa. Ternyata, di antara berbagai faktor, ada satu faktor, dan faktor itu sangat punya peranan, yang ditunjukkan oleh suatu analisis, yaitu, Partai FIS punya satu jaringanyang tidak terlihat. Yang ketika jaringan itu bekerja hasilnya sungguh dahsyat, dan jaringan itu adalah masjid.

Jadi, sejumlah khotib, para ulama, ustad, yang mengisi kegiatan-kegiatan di masjid, termasuk dan terutama sholat Jumat, itu bukan hanya menyerukan ketaqwaan, tetapi dilanjutkan dengan seruan-seruan politik, ...


Petunjuk Eep  ini sebenarnya sudah dilaksanakan oleh kubu/pendukung Anies-Sandiaga, yaitu melakukan  khotbah-khotbah yang sesungguhnya adalah kampanye-kampanye politik demi kemenangan Anies-Sandi, sembari tak lupa menghujat dan mengfitnah Ahok, yang dilakukan oleh para khotib, ulama, dan ustad, dan juga  Anies sendiri, termasuk pemasangan spanduk-spanduk tidak menyolatkan jenazah pendukung Ahok, di berbagai masjid di Jakarta, yang aneh tapi nyatanya, tidak pernah ada teguran apapun dari KPU, Panwaslu, maupun Bawaslu DKI Jakarta, padahal itu jelas-jelas melanggar Undang-Undang Pilkada, dan Peraturan KPU.

Anies sendiri beberapakali telah menyampaikan informasi yang diplintir menjadi fitnah tentang Ahok, misalnya, ia menyampaikan kepada masyarakat bahwa dia punya daftar 300 lebih pemukiman kumuh yang akan digusur Ahok begitu saja, tanpa solusi, padahal Ahok tidak punya rencana seperti itu. Daftar yang dimaksud Anies itu pun sebenarnya adalah daftar dari 325 titik berpotensi akan ditertibkan pada  2016, yakni titik-titik bangunan di atas kali, spanduk liar, penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), pedagang kaki lima (PKL), dan lain-lain.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, dan Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2016 Pasal 66 ayat 1 huruf j dengan jelas melarang setiap bentuk kampanye dilakukan di tempat ibadah.

Pertimbangannya adalah karena penduduk Indonesia itu sangat besar jumlahnya, yang berbeda-beda agama dan alirannya (di antara warga sesama agama Islam saja, misalnya, terdapat perbedaan-perbedaan yang tajam tentang pandangan politiknya), budaya, dan adat-istiadatnya, sehingga jika tempat ibadah dijadikan tempat berkampanye, maka potensi terjadinya konflik horizontal bernuansa agama besar kemungkinan bisa terjadi.

Indonesia jelas bukan seperti Aljazair, yang hanya sebuah negara Islam kecil, dengan penduduknya yang sedikit, dan yang nyaris homogen, sehingga pengalaman kemenangan Partai FIS tidak patut dijadikan contoh untuk ditiru di Indonesia. Kecuali jika memang ingin menghalalkan segala cara untuk bisa menang.

Anies Menuduh Ahok sebagai Sumber Masalah SARA di Pilgub DKI

Kembali ke sesi debat Ahok vs Anies di Mata Najwa tersebut di atas.

Najwa membaca pertanyaan dari seorang netizen kepada Anies, kenapa Anies terkesan diam, dan membiarkan berbagai isu SARA, tudingan munafik, tamasya Al Maidah dan larangan menyolatkan jenazah, apakah itu karena isu SARA itu menguntungkannya?

Anies tidak menjawab pertanyaan itu secara tegas, kesempatan menjawab pertanyaan itu lagi-lagi malah dipakai Anies untuk menyerang Ahok, hal yang menambah pembenaran penilaian bahwa di sepanjang acara debat itu Ahok sibuk berbicara tentang program-program kerjanya untuk rakyat DKI Jakarta, sedangkan Anies sibuk berbicara tentang keburukan-keburukan Ahok menurut versinya.

Anies memang ada menjawab bahwa meskipun bukan tim suksesnya yang melakukannya, tetapi ia sendiri sudah menyebarkan surat himbauannya agar isu SARA, khususnya tentang spanduk tidak menyolatkan jenazah pendukung Ahok itu dihentikan dan diturunkan.

Tetapi, sebagaimana yang pernah saya tulis di artikel saya yang lalu (baca di sini), saya sangat meragukan ketulusan hati Anies saat menyebarkan surat himbauannya itu, karena baru dilakukan setelah hampir satu bulan penyebaran spanduk itu terjadi, sudah cukup efektif mempengaruhi dan meresahkan masyarakat, sudah dikecam tokoh-tokoh Islam moderat, dan spanduknya sudah banyak diturunkan Pemprov DKI Jakarta, barulah ia membuat surat itu.

Di saat melakukan kampanye-kampanye di masjid-masjid pun (suatu tindakan yang dilarang KPU), Anies beberapakali mengatakan bahwa aksi-aksi dengan nama “Aksi Bela Islam”, dan pengadilan terhadap Ahok, merupakan perwujudan umat Islam mencari keadilan karena Ahok menghujat agama Islam.

Padahal, kita pun tahu bahwa aksi-aksi yang mengatasnamakan agama islam itu sesungguhnya merupakan aksi-aksi politik yang memperalat agama untuk mendapat pembenaran dan dukungan, guna bisa menjatuhkan Ahok agar dia tidak bisa lagi menjadi gubernur DKI Jakarta.

Anies tidak pernah mengkritik aksi-aksi politik yang memanfaatkan agama itu, ia malah secara tak langsung mendukungnya, dengan menyatakan bahwa aksi-aksi tersebut merupakan hak konstitusional masyarakat, termasuk dengan aksi 313 yang jelas-jelas merupakan aksi politik memperalat agama dan masjid untuk menggusur Ahok dan mendukung Anies-Sandiaga.

(Dengar juga pernyataan Ketua PBNU  KH. Said Aqil Siradj tentang politisasi agama demi kepentingan politik di pilgub DKI, di YouTube)

Di dalam seruannya Itupun terkesan kuat Anies justru membela aksi SARA itu dengan menyatakan sumber permasalahannya ada pada Ahok sendiri, yang terlebih dahulu main ancam-mengancam, seperti mengancam warga yang tidak memilih Ahok-Djarot, tidak akan mendapat KJS, KJP, dan bantuan-bantuan sosial lainnya dari Pemprov DKI Jakarta, padahal ancaman itu tidak pernah dilakukan oleh Ahok, maupun tim suksesnya.

Ahok bahkan beberapakali pernah menegaskan, warga yang tidak memilihnya pun akan tetap diperlakukan sama untuk program-program bantuan sosial dari Pemprov DKI Jakarta yang dipimpinnya, saat ini, maupun jika ia terpilih lagi sebagai gubernur DKI Jakarta.

Jika Anies sungguh serius dengan seruannya itu, ia akan dengan mudah bisa mengontak siapa yang menjadi sumber dari penyebaran isu SARA itu, termasuk penyebaran spanduk-spanduk tidak menyolatkan jenazah pendukung Ahok di masjid-masjid, agar menghentikan serangan SARA itu, sebab saya yakin Anies tahu siapa saja yang sebenarnya sumber pembuat dan penyebaran isu SARA itu, yang salah satunya yang diduga sebagai sumber penyebaran serangan SARA itu adalah Sekjen FUI Muhammad Al-Khaththath, penggagas Aksi 313, yang kini ditahan polisi dengan tuduhan hendak melakukan makar.

(Lihat videonya di sini).

Tidak menjawab pertanyan netizen itu, Anies malah terus menyerang Ahok yang dituduh sebagai sumber masalah SARA di Pilgub DKI Jakarta itu. Bahwa semua serangan menggunakan isu SARA di pilgub DKI itu muncul karena Ahok yang memulainya dengan berbagai pernyataan provokatifnya tentang agama Islam, dimulai dengan  pidatonya di Kepulauan Seribu (tentang Al-Maidah 51).

Faktanya isu SARA yang terus-menerus dipakai menyerang Ahok di Jakarta itu bukan baru dimulai setelah Ahok berpidato di Kepulauan Seribu dengan menyinggung ayat Al Maidah 51 itu, tetapi sudah terjadi jauh sebelumnya, bahkan sudah terjadi sejak ketika ia mengikuti pilkada (bupati) di Belitung Timur, dan pilkada (gubernur) di Bangka Belitung.

Di pilgub DKI Jakarta 2017 ini serangan menggunakan isu SARA terhadap Ahok saat ini yang paling menyeramkan dan merusak, sampai merembet ke warga etnis Tionghoa dan warga lainnya yang beragama Kristen yang tidak ada kaitannya dengan pilgub itu sendiri.

Serangan menggunakan isu SARA terhadap Ahok di DKI Jakarta sendiri sudah terjadi sejak ia ikut pilgub DKI Jakarta 2012 mendampingi Jokowi sebagai calon wakil gubernur.

Kecerobohan Ahok saat berpidato di Kepulauan Seribu dengan menyinggung ayat Al Maidah 51 itu, meskipun tidak punya maksud sedikit pun untuk mengnista Islam,  dijadikan momentum yang dianggap paling pas untuk menjadikan agama sebagai senjata ampuh untuk menggagalkan Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta, sesuatu hal yang tentu saja akan sangat menguntungkan Anies-Sandiaga.

Unjuk rasa massa FPI menunut Ahok dilengserkan dari Gubernur DKI Jakarta, Desember 2014 (Merdeka.com)
Unjuk rasa massa FPI menunut Ahok dilengserkan dari Gubernur DKI Jakarta, Desember 2014 (Merdeka.com)
Di Pilgub DKI 2012, saat Ahok mendampingi Jokowi sebagai calon gubernur DKI isu SARA itu sudah ada, yang kemudian mulai semakin masif dan destruktif sejak 2014, ketika Jokowi menjadi Presiden RI, dan Ahok akan dilantik sebagai gubernur pengganti Jokowi. Dipelopori olah ormas idola Anies, FPI, Ahok sudah diserang dengan berbagai isu dan fitnah SARA, beberapakali ribuan massa FPI melakukan unjuk rasa di depan Balai Kota menolak  Ahok yang sudah dilabeli dengan “musuh Islam” sebagai Gubernur DKI Jakarta, sampai-sampai salah satu pentolan FPI, Novel Bamukmin sempat dihukum penjara selama 7 bulan karena melakukan aksi demo anti-Ahok yang anarkis.

Demikian juga dengan salah satu pendukung Anies-Sandiaga dari ormas Islam radikal, Sekjen FUI  Muhammad Al-Khaththath, sejak 2014 juga sudah menyerukan pendirian posko-posko di masjid-masjid, di musholla-mushola, dan majelis ta’lim di DKI Jakarta untuk melakukan aksi penolakan terhadap Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta karena ia orang kafir beragama Kristen (panjimas.com).

Sejumlah tokoh ormas radikal foto bersama Anies dan Sandiaga, di antaranya: dari kiri ke kanan: Gatot Saptono alias Muhammad Al-Khathath, Zaitun Rasmin, Bachtiar Nasir, Farid Akhmad Okbah (dutaislam.com)
Sejumlah tokoh ormas radikal foto bersama Anies dan Sandiaga, di antaranya: dari kiri ke kanan: Gatot Saptono alias Muhammad Al-Khathath, Zaitun Rasmin, Bachtiar Nasir, Farid Akhmad Okbah (dutaislam.com)
Muhammad Al-Khathath pengagas penyebaran spanduk SARA di masjid-masjid (dutaislam.com)
Muhammad Al-Khathath pengagas penyebaran spanduk SARA di masjid-masjid (dutaislam.com)
Muhammad Al-Khathath bersama Anies dan Sandiaga (Twitter)
Muhammad Al-Khathath bersama Anies dan Sandiaga (Twitter)
Dari fakta-fakta bahwa serangan SARA untuk menggagalkan Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta itu sudah ada jauh sebelum dia berpidato di Kepulauan Seribu itu, sebelum pilgub DKI Jakarta 2017, membuktikan bahwa klaim Anies Baswedan, Ahok-lah sebagai penyebab isu SARA itu merebak di Pilgub DKI Jakarta dengan pidatonya di Kepulauan Seribu, diiikuti dengan pernyataan-pernyataan provokatif Ahok lainnya itu, tidak terbukti.

Dari fakta Anies tidak menjawab pertanyaan netizen tersebut di atas, dan malah menyalahkan Ahok sebagai sumber permasalahan SARA, apalagi disampaikan dengan nada emosional, dapat dikatakan Anies sesungguhnya juga marah terhadap Ahok berdasarkan sentimen SARA, ia berpihak kepada mereka yang menggunakan isu SARA menyerang Ahok, karena mereka itu teman-temannya juga, dan yang terpenting adalah serangan SARA terhadap Ahok itu memang sangat menguntungkan pihaknya untuk menggerus elektabilitas Ahok-Djarot, menaikkan elektabilitasnya bersama Sandiaga.

Anies tidak berani jujur menjawab pertanyaan netizen tersebut, karena itu dia tidak menjawab pertanyaan tersebut.

Oleh karena alasan ini pula, kemungkinan besar yang membuat Anies trauma, takut emosinya kembali terpancing dan tidak bisa dikendalikan, sehingga aslinya bisa kelihatan, maka itu dia menolak undangan Kompas TV, untuk hadir di acara debat yang rencananya akan dipandu oleh Rosi, Minggu malam lalu (2/4).

Jika Anies sungguh seorang calon pimpinan sejati, seorang negarawan, seharusnya ia tidak rela meraih keuntungan di atas penganiayaan terhadap Ahok dengan berbagai isu dan fitnah SARA tersebut, apalagi membalik fakta dengan mempersalahkan Ahok. Dampak destruktifnya dilemparkan ke Ahok, keuntungannya dinikmatinya. 

Budayawan Mohammad Sobary (Kang Sobary) juga belum lama ini menyatakan bahwa di pilgub DKI Jakarta sekarang ini sedang terjadi proses upaya untuk menang dengan cara menginjak-injak saudara-saudaranya sendiri.

“Bagi orang yang benar, tidak mau diuntungkan, kalau keuntungan itu diperoleh dengan cara yang begitu kotor,” katanya menyindir.

Kang Sobary juga mengatakan tentang Anies dan pluralisme, yaitu bahwa: “Anies bukan bagian dari kaum intelektual yang turut sibuk mendiskusikan atau melakukan diskursus tentang pluralistas. Bukan! Bukan bagian, tidak ada sejarahnya. Anies bukan apa-apa dalam hal ini. Jadi jangan diharap, untuk (Anies) bersikap jujur seperti itu. Jujur bukan panggilan jiwanya.”


Ahok sendiri sedang dalam proses untuk memperbaiki cara berkomunikasinya, cara bertutur-katanya, yang memang tempo hari terkadang kasar dan provokatif, sehingga sekarang sudah banyak berubah. Itulah salah satu ciri pimpinan yang sejati, yaitu bersedia menerima kritik, nasihat, dan mau introspeksi dirinya sendiri demi kebaikannya sendiri dari rakyat yang dipimpinnya. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun