Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kasus Ahok Memang Karena Tekanan Massa

28 Desember 2016   23:27 Diperbarui: 29 Desember 2016   03:27 6244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa, 27 Desember 2016, Majelis Hakim yang diketuai oleh Dwiarso Budi Santiarto, dalam putusan selanya, telah memutuskan menolak seluruh eksepsi Ahok dan tim penasihat hukumnya, dan oleh karena itu sidang kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok itu akan dilanjutkan pada pokok perkaranya.

Sidang Ahok selanjutnya digelar dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi, pada Selasa, 3 Januari 2017. Lokasi sidang lanjutan ini dipindah dari PN Jakarta Pusat ke Gedung Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, demi alasan keamanan.

Salah satu eksepsi Ahok yang ditolak Majelis Hakim itu adalah keberatan Ahok karena menganggap pengadilan terhadapnya itu merupakan bagian dari proses hukum yang terjadi karena adanya tekanan massa (trial by the mob).

Majelis Hakim menolak eksepsi Ahok dan tim penasihat hukumnya itu. Menurut Majelis Hakim, tidak benar pengadilan itu ada karena tekanan massa,  pengadilan terhadap Ahok itu bebas dari tekanan massa, artinya proses hukum terhadap kasus Ahok itu berjalan normal, tidak dipengaruhi oleh tekanan massa.

Benarkah demikian?

Tekanan massa yang dimaksud Ahok dan tim penasihat hukumnya itu tentu adalah aksi demonstrasi massa umat Islam yang dipimpin oleh FPI dan beberapa ormas Islam garis keras lainnya berlandaskan fatwa MUI dengan thema: Aksi Bela Islam 1-3, yang dilangsungkan sebanyak 3 kali, yaitu pada 14 Oktober, 4 November, dan 2 Desember 2016, terutama sekali dengan “Aksi Bela Islam 2”, yang melibatkan beberapa ratus ribu orang, dan pada malam harinya sempat menimbulkan kerusuhan di depan Istana Negara.

Setelah aksi unjuk rasa, 4 November 2016 itulah semakin terlihat Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan, dan Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri mulai tertekan. Sampai-sampai Presiden Jokowi pun terpaksa melakukan safari kunjungan ke beberapa ulama dan organisasi Islam besar berpengaruh, dan “terpaksa” pula memenuhi tuntutan massa agar membuat pernyataan bahwa ia tidak akan melakukan intervensi terhadap kasus Ahok itu. Pernyataan itu dibuat lebih dari sekali.

Polri Ditekan Massa

Di acara Mata Najwa, 2 November 2016, Kapolri Tito Karnavian mengungkapkan sendiri bahwa keputusannya untuk segera memroses hukum kasus Ahok itu dikarenakan adanya tekanan massa itu.

Tito mengatakan, sesuai dengan aturan internal Polri yang selama ini ditaati bahwa semua laporan ke polisi terhadap calon kepala daerah di masa pilkada, harus ditunda proses hukumnya sampai dengan pilkada selesai, karena dikhawatirkan laporan kepada polisi itu akan dimanfaatkan untuk saling menjatuhkan di antara calon kepala daerah.

Dikhawatirkan lembaga kepolisian akan dimanfaatkan untuk menjatuhkan calon kepala daerah tertentu oleh calon kepala daerah lainnya atau oleh kekuatan-kekuatan lainnya yang mendukung calon kepala daerah tertentu (sesuatu yang sebenarnya sedang terjadi terhadap Ahok dengan kasus dugaan penistaan agama itu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun