Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada Debat Lagi, AHY "Menghilang" Lagi

17 Desember 2016   12:54 Diperbarui: 17 Desember 2016   23:32 3423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok dan Djarot di Rosi Kompas TV (KompasTV)

Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin pernah mengatakan, dia dan kawan-kawannya di Partai Demokrat tidak sabar lagi menyaksikan calon gubernur DKI Jakarta yang diusung mereka, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang juga putra sulung sang Ketua Umum, SBY, berdebat dengan calon gubernur DKI lainnya.

Meskipun usia Agus relatif masih muda, tetapi dalam hal berdebat Agus sangat piawai alias sangat hebat, kata Amir Syamsuddin ketika itu (27 September 2016).

"Kebetulan saya pernah menyaksikan dia memberikan presentasi di depan ratusan bahkan ribuan orang, dan saya bukan melebih-lebihkan ya," kata Amir.

Amir juga mengatakan, dengan pengalamannya sebagai perwira TNI, maka kemampuan Agus untuk menjadi pimpinan tidak perlu diragukan lagi.

"Apalagi nanti kalau (Agus) diberikan kesempatan debat," tegas Amir (Viva.co.id).

Dari pernyataan Amir ini saja kita sudah sangat meragukan kebenarannya, karena antara pernyataan yang satu dengan yang lainnya tidak nyambung.

Kata Amir, Agus sangat piawai berdebat, buktinya, dia pernah melihat Agus memberi presentasi di depan ratusan bahkan ribuan orang.

Apa hubungannya kemampuan berdebat seseorang dengan kemampuan dia memberi presentasi di depan berapa banyak pun orang?

Menyampaikan presentasi di depan berapa banyak pun orang, apalagi tanpa sesi tanya-jawab, apalagi pakai teks, merupakan suatu monolog, yang sangat berbeda dengan suatu perdebatan yang berupa adu argumentasi, adu program, berdasarkan data-data yang valid, di antara dua atau lebih orang yang benar-benar sangat menguasai mengenai hal atau suatu thema yang diperdebatkan itu.

Pernyataan Amir Syamsuddin bahwa sebagai seorang perwira TNI yang berpengalaman, maka kemampuan memimpin Agus tak perlu diragukan lagi. "Apalagi nanti kalau (Agus) diberikan kesempatan debat,” juga tidak relevan sama sekali.

Sebagai seorang perwira berpangkat Mayor, paling banyak Agus pernah memimpin satu batalyon tentara yang terdiri dari sekitar 1.000 prajurit. Tentu saja, ini tidak masuk dalam hitungan “sudah berpengalaman” dalam memimpin, apalagi jika mau dikaitkan dengan memimpin rakyat Jakarta yang berjumlah sekitar 12 juta jiwa dengan berbagai macam persoalan ekonomi, dan sosial politiknya yang serba kompleks itu. Ditambah lagi dengan kemampuan mengelola APBD yang berjumlah sekitar Rp 70 triliun per tahun itu.

Sedangkan di Mata Najwa (12 Oktober 2016), Agus sendiri mengaku bahwa dia hanya pernah memimpin 20 anggota staf saat masih berdinas di TNI. 

Lagipula, kalau Agus benar-benar punya pengalaman di bidang militer yang sangat bisa diandalkan, seharusnya prospek kariernya juga bagus di sana, kenapa malah diputus di tengah jalan oleh ayahnya, lalu dikarbitkan hanya beberapa bulan untuk dipaksakan menjadi – tidak tanggung-tanggung langsung -- gubernur DKI Jakarta?

Bayangkan saja, orang yang sama sekali tidak punya pengalaman secuil pun di birokrat, di pemerintahan, maupun di politik, demikian juga tak punya pengalamam sama sekali dalam memimpin jutaan rakyat, tiba2 mau menjadi gubernur, tidak tanggung-tanggung langsung mau jadi gubernur DKI Jakarta!

Dengan dasar pengalaman di militer itu, apa hubungannya dengan kemampuan Agus dalam berdebat?

Dari pernyataan Amir itu justru jelas menunjukkan bahwa dia sendiri tidak pernah melihat atau mengetahui bagaimana kemampuan Agus Yudhoyono dalam hal berdebat. Alias pengalaman berdebat Agus itu sesungguhnya sama dengan pengalaman dia di bidang birokrat, politik, dan kepimpinan – bekal yang harus dimiliki seseorang jika ingin menjadi kepala daerah --, yaitu nol besar.

Sesungguhnya, Agus sama sekali tidak punya kemampuan berdebat yang mumpuni, ia sama sekali tak punya pengalaman di bidang birokrat, politik, dan kepimpinan. Agus tidak menguasai substansi-substansi persoalan-persoalan Ibu Kota.  Agus buta mengenai data-data apa yang sangat diperlukan dalam membangun DKI Jakarta. Itulah sebabnya, konon program-program kerja yang dimilikinya (yang dilaporkan ke KPUD) sepenuhnya merupakan ide dan dibuat oleh orang lain. Bahkan, katanya, merupakan copy-pastedari program kerja nasional SBY ketika ia presiden, yang diedit dan disesuaikan dengan DKI Jakarta. Seperti kata “nasional” diganti dengan “daerah”.

Beberapa program dan janji yang diutarakan ke warga DKI saat melakukan blusukan-pun kerap terdengar konyol, karena bukan wewenang Pemprov DKI Jakarta, atau tidak mungkin dilaksanakan (baca artikel: Program-Program Konyol Agus Yudhoyono).

Itulah sebabnya Agus sangat ketakutan ketika diundang untuk berdebat terbuka di publik dengan dua calon gubernur lainnya: Ahok dan Anies. Agus tidak tahu nanti dia harus berbicara bagaimana dan tentang apa, bagaimana nanti menjawab pertanyaan-pertanyaan menyerang dari kedua lawan debatnya itu. Agus merinding ketakutan membayangkan semua ketidakmampuannya itu terkuak di acara debat jika dia memberanikan diri hadir.

Saat ini, mungkin saja Agus Yudhoyono sedang menjalani “kursus”, mempersiapkan dirinya untuk acara debat resmi dari KPU DKI Jakarta, yang direncanakan dilangsungkan pada 13 Januari, 27 Januari, dan 10 Februari 2017.

Belum selesai kursus, Agus belum berani tampil berdebat di depan umum, apalagi dia masih mengalami trauma dengan Najwa Shihab, di Mata Najwa, Metro TV, 12 Oktober 2016 lalu.

Buktinya?

Sudahlima kali, ya, lima kali,calon gubernur nomor urut 1, yang katanya sangat piawai berdebat itu, “melarikan diri” ketika diundang untuk berdebat dengan Ahok dan Anies.

Kamis, 15 Desember 2016, di acara Rosi, Kompas TV, adalah kali kelimanya Agus Yudhoyono  tidak datang saat diundang untuk menjalani debat itu.

Maka, lagi-lagi, sebagaimana di empat acara perdebatan sebelumnya,  yang berdebat hanyalah dua pasangan calon gubernur DKI Jakarta: Ahok-Djarot (nomor urut 2) dengan Anies-Sandiaga (nomor urut 3).

Seolah-olah, di Pilgub DKI Jakarta 2017 ini hanya ada dua pasangan calon itu, yang satunya lagi suka “menghilang” setiap diundang berdebat di depan umum.

Kemungkinan besar, penyebabnya adalah yang bersangkutan mengalami trauma, setelah mengalami shock kejiwaan di acara Mata Najwa, Metro TV, 12 Oktober 2016 lalu, saat dia dihujani dengan pertanyaan-pertanyaan kritis-tajam menyodok ulu hati khas Najwa Shihab alias Nana, si pembawa acara, yang membuatnya gagap-gugup, bercampur emosi yang ditahan.

Sejak setelah itulah Agus Yudhoyono, si “putra mahkota” mantan Presiden SBY itu pun sepertinya mengalami trauma hebat dengan acara debat publik. Melayani pertanyaan-pertanyaan umum dari Najwa saja sudah belepotan seperti itu, apalagi jika menghadapi pertanyaan-pertanyaan spesifik-kongkrit yang tentunya dengan sifat menyerang, mengenai program kerja, dan berbagai permasalahan Ibu Kota dan solusinya, dari Ahok dan Anies, lebih-lebih dari Ahok yang begitu menguasai luar-dalam, sampai jeroan-jeroannya Ibu Kota, bisa-bisa dia menangis untuk kedua kalinya setelah tempo hari menangis di pidato perdananya ketika melakukan pendaftaran pasangan calon di KPU DKI Jakarta. 

Setelah babak-belur di Mata Najwa, Agus Yudhoyono menolak undangan dari Najwa Shihab untuk kedua kalinya untuk acara Mata Najwa edisi khusus ulang tahun ketujuh acara itu, pada Sabtu, 26 November 2016. Alasannya, dia sedang sibuk sekali. Padahal, diduga kuat alasan sebenarnya karena dia takut disuruh berdebat dengan Ahok dan Anies, yang juga diundang di acara tersebut.

Demikian juga ketika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, mengadakan acara debat terbuka antara tiga pasangan calon gubernur DKI Jakarta, di Tangerang, 5 Desember 2016. Tiga pasangan gubernur DKI itu diundang, tapi Agus Yudhoyono tidak mau datang lagi.

Hal yang sama terjadi pula saat diadakan acara debat terbuka di antara tiga pasangan calon gubernur DKI Jakarta di Gedung Joang, Agus Yudhoyno “menghilang” lagi karena takut debat.

Lalu, Jumat, 9 Desember 2015, untuk keempat kalinya Agus Yudhoyono lagi-lagi menolak memenuhi undangan Net TV untuk acara siaran langsung perdebatan tiga pasangan calon pimpinan Ibu Kota itu, kali ini dengan alasan sudah ada acara dengan warga di Tambora, yang tidak enak jika dibatalkan.

Juga ,bahwa tidak ada kewajiban bagi dia untuk hadir di acara debat seperti itu, selain acara debat resmi dari KPUD yang akan diadakan pada 13, 27 Januari, dan 10 Februari 2016.

"Tidak ada kewajiban bagi paslon mana pun, termasuk saya untuk menghadiri acara debat, selain yang dijadwalkan resmi oleh KPUD," kata Agus di AHY Command Center (ACC), Jakarta Selatan, Jumat (9/12/2016).

Alasan yang sama dikemukakan Agus Harimurti Yudhoyono ketika untuk kelima kalinya dia absen lagi di acara debat terbuka antara pasangan calon gubernur DKI Jakarta, yang diadakan Rosi, di Kompas TV, Kamis, 15 Desember 2016.

Kali ini, alasannya adalah ia lebih senang berkumpul bersama rakyat di Cipete Utara, Jakarta Selatan, yang membutuhkan kehadirannya daripada hadir di acara debat di Kompas TV itu. Dramatis mendayu-dayu, seperti ayahnya.

Kali ini Agus bahkan menambah alasan ketidakhadirannya itu dengan mengatakan acara debat seperti itu tidak ada maknanya bagi rakyat DKI Jakarta!

"Rakyat akan lebih feel comfortable untuk bersama dengan calon pemimpinnya dibandingkan mereka (warga) melihat sesuatu yang tidak ada maknanya buat mereka," tegas Agus.

Agus tetap tak mau menjawab pertanyaan wartawan, ketika ditanya, apakah jika nanti ada acara debat serupa berikutnya, yang bukan dari KPU DKI Jakarta, ia akan hadir.  

"Saya ingin bersama rakyat," ujarnya lagi sembari mengalihkan pandangan, tak berani menatap mata waratwan yang menanyakannya.

Melihat Agus terpojok dengan pertanyaan-pertanyaan itu, juru bicara tim sukses Agus-Sylvi, Rico Rustombi, dengan cepat memotong wawancara itu, untuk menyelamatkan Agus: "Nanti saya bisa jelaskan," ujar Rico.

Tak ayal lagi, ketidakhadiran untuk kelima kalinya Agus di acara debat terbuka itu segera memancing reaksi hebat di lini massa Twitter. Hanya dalam hitungan menit tagar #AhyTakutDebatLagidan#AnakPepoTakut,menduduki peringkat tiga dan limaTrending Topic Indonesia. Agus pun di-bully habis-habisan di sana, lengkap dengan berbagai meme yang lucu-lucu, namun tentu menyakitkan hati bagi yang disasar.

Di Instagram, ketika ada yang menanyakan kepada ibu dari Agus, Ani Yudhyono: Kenapa Agus tidak hadir lagi di acara debat, padahal ia (sebagai warga DKI) ingin sekali mengetahui program-program kerja Agus, penanya itu malah dimarahi olah sang Ibu, sebagaimana di bawah ini: 

(Instagram)
(Instagram)
Selalu ingin berada di antara rakyat, tampaknya merupakan alasan andalan Agus untuk lari dari acara debat. Rakyat dijadikan “tumbal” untuk menutupi ketakutannya terhadap debat. Padahal jika mau, bukankah jadwal kampanye itu bisa disusun sedemikian rupa sehingga tetap dapat menghadiri acara-acara debat itu? Tidak usah semua, masa satu saja tidak bisa?

Kalau Ahok-Djarot, dan Anies-Sandiaga selalu bisa, kenapa Agus-Sylvi tidak bisa?

Tentang blusukan-nya bersama rakyat kecil, yangtentunya merupakan pengalaman barunya, Agus berkomentar bahwa selama hampir dua bulan dia melakukan itu, kulitnya kini bertambah hitam (detik.com).

Jadi, apakah menjadi tentara selama ini, Agus itu sesungguhnya jarang terkena sinar matahari? Sehingga baru sekarang, selama hampir dua bulan blusukan,  terkena sinar matahari barulah kulitnya berubah lebih hitam?

**

Pernyataan Agus yang menyatakan, acara debat itu tak ada maknanya bagi warga, dan ia lebih memilih bersama warga itu, sesungguhnya merupakan penegasan kembali pernyataan juru bicaranya, Rico Rustombi beberapa waktu lalu bahwa bagi mereka, warga DKI Jakarta tidak mementingkan program kerja calon gubernurnya, yang lebih penting adalah calon gubernurnya itu baik orangnya.

Dengan kata lain mereka menganggap rakyat DKI itu naif,  atau mereka sendiri yang naif, sehingga bisa beranggapan rakyat DKI itu bisa diperdayai cukup dengan membangun pencitraannya sebagai calon pimpinan yang baik hatinya, maka rakyat DKI pun akan memilihnya di Pilgub DKI 2017 nanti.

Kebetulan, Agus Yudhoyono pun tak paham dengan program kerjanya sendiri (karena merupakan ide dan dibuat oleh orang lain), buktinya setiap ditanya tentang program kerjanya secara lebih substantif, ia selalu berdalih untuk tidak menjawabnya.

Pencitraan demikian  bisa dengan mudah direkayasa, diciptakan, dan itulah yang sedang dilakukan oleh Agus Yudhoyono dengan tim suksesnya  itu, memperdayai rakyat dengan membangun citranya sebagai orang baik untuk menutupi ketidakmampuannya dalam memimpin. Mempercantik kulit penampilan, sedangkan isinya bagaimana, sangat buruk, atau apa, urusan lain, yang penting bisa mengambil hati rakyat yang naif itu dulu agar mau memilihnya.

Jika Agus benar berpikiran seperti itu, ia pasti akan terkejut kelak ketika ia mengetahui bahwa sebagian besar warga DKI Jakarta tidak senaif yang ia pikirkan.

Lihat saja indikasinya dari hasil survei yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 15 Desember lalu mengenai program dan janji Agus Yudhoyono tentang bantuan Rp 1 miliar per RW, dan Rp 5 juta per tahun bagi keluarga tak mampu: hanya 50 persen responden yang mengetahui adanya program tersebut, dan dari 50 persen itu hanya 26 persen yang yakin Agus akan memenuhi janjinya itu, sedangkan 56 persen tidak percaya Agus akan memenuhi janjinya itu. Sisanya, 18 persen tidak menjawab, atau menjawab tidak tahu.

Demikian pula tentang janji Agus untuk menghentikan relokasi warga Luar Batang ke Rusunuwa Rawa Bebek.

Sebanyak 25 persen responden mengetahui janji tersebut dan 75 persen lainnya menyatakan tidak tahu. Dari 25 persen yang tahu itu, ada 39 persen responden yang yakin Agus-Sylvi akan menepati janjinya, 45 persen menyatakan tidak yakin, dan 16 persen lainnya tidak menjawab.

**

Mengecilkan arti penting suatu perdebatan seperti yang diutarakan Agus itu, juga sama dengan mengecilkan pentingnya acara debat resmi yang akan diadakan KPU DKI Jakarta, pada 13, 27 Januari, dan 10 Februari 2017 itu. Sebab apa bedanya acara debat publik yang diadakan televisi itu dengan yang diadakan KPU DKI, selain format dan aspek formalnya?

Jangan-jangan nanti di saat acara debat resmi dari KPUD DKI tiba, Agus tidak hadir juga, dengan alasan sakit. Tapi kali ini sakit benaran, saking takutnya berdebat?

Dengan alasan acara debat di luar debat resmi dari KPUD bukan merupakan kewajibannya untuk hadir, dan hanya mau hadir di acara debat wajib yang diadakan KPU DKI Jakarta, tampaknya di acara debat KPU DKI itu pun, Agus akan dengan terpaksa hadir. Jika boleh memilih, ia tidak akan hadir di semua acara debat, termasuk debat KPU DKI.

Jika boleh, mungkin Agus akan usul ke KPU agar debat wajib KPU DKI itu bolehlah diwakili. Sehingga ia tak perlu hadir sendiri, tetapi akan diwakili oleh ayahnya saja: SBY. Seandainya itu diperbolehkan, Agus pasti senang, SBY dan Ibu Ani pun lebih senang lagi.

Padahal, hadir di setiap acara debat yang diadakan stasiun televisi, seperti di Metro TV, Net TV, dan Kompas TV itu, di masa kampanye ini, meskipun bukan suatu kewajiban, tetapi tetap merupakan hal yang penting pula, karena lewat acara-acara debat yang disiarkan langsung dan pasti ditonton oleh jutaan orang itu, terutama oleh banyak sekali warga DKI, rakyat DKI pun semakin mengenal sosok calon-calon pimpinannya, apa program-program kerjanya, dan sebagainya. Sehingga demikian mereka akan semakin mantap dalam menentukan pilihannya.

Beda dengan Agus yang semakin lama semakin takut dengan acara debat, Ahok justru semakin bersemangat dengan adanya acara-acara debat itu. Ia beranggapan debat-debat yang diselenggarakan televisi itu juga penting,  supaya ada sparring partner-nya.

Maksud Ahok, seperti petinju yang lazimnya melakukan sparring partner (latihan bertinju dengan seseorang) sebelum benar-benar bertanding, agar ketika waktunya bertanding yang sesungguhnya tiba, petinju itu sudah mantap dalam menyerang dan bertahan, dan memenangkan pertandingan itu. Demikian pula dengan debat-debat yang diselenggarakan televisi-televisi itu di luar jadwal resmi KPU DKI, itu semacam sparring partner dalam berdebat, sehingga ketika tiba acara berdebat yang sesungguhnya, yang resmi dari KPU DKI, ia sudah semakin piawai untuk berdebat, dan mememangkannya, sehingga membuat rakyat DKI Jakarta semakin mantap dalam menentukan pilihannya kepada pasangan calon nomor urut 2.

Ahok dan Djarot yang sudah kenyang makan asam garam dalam memimpin DKI Jakarta itu saja membutuhkan “sparring partner” perdebatan, dengan selalu hadir di setiap undangan acara perdebatan di luar jadwal resmi KPU DKI Jakarta itu, ini kok ada calon gubernur DKI yang masih belia (nomor urut 3), yang  nol besar pengalamannya di semua sektor yang berkaitan dengan kepimpinan Provinsi DKI Jakarta, kok bisa malah merasa perdebatan itu tidak penting? 

Tidak penting, bukan alasan sebenarnya, ketakutan adalah alasan yang sebenarnya. 

Netizen pun yakin akan hal itu, maka itulah beredar meme-meme seperti ini di lini masa Twitter: 

(Twitter)
(Twitter)
(Twitter)
(Twitter)
(Twitter)
(Twitter)
(Twitter)
(Twitter)
(Twitter)
(Twitter)
 *****

Artikel terkait:

Program-Program Konyol Agus Yudhoyono

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun