Semula teks Piagam Jakarta itu dimaksud untuk dibacakan sebagai teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tetapi tidak jadi, lalu dijadikan sebagai Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, setelah berdasarkan kompromi antara para perumusnya, bagian tentang kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu ditiadakan, dan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Proses perubahan tersebut ditulis sendiri oleh salah satu pelaku sejarahnya langsung, tokoh proklamator Republik Indonesia, sekaligus Wakil Presiden pertama Republik ini: Mohammad Hatta.
Kompromi tersebut terjadi ketika tokoh-tokoh masyarakat dari daerah-daerah mayoritas Kristen mengajukan keberatan dengan bunyi Piagam Jakarta itu, karena meskipun hanya berlaku bagi pemeluk Islam, tetapi tetap saja sebagai dasar negara, hal tersebut dinilai diskriminatif. Apabila Piagam Jakarta tetap dipertahankan, mereka dari kalangan non-muslim akan memilih pisah dari negara yang baru sehari saja diproklamsikan itu.
Kompromi demi persatuan dan kesatuan bangsa itu ternyata dihasilkan dari suatu rapat para tokoh Islam/ulama, Kristen dan nasionalis yang hanya berlangsung selama sekitar 15 menit.
Dalam buku otobiografinya yang berjudul: “Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan,” Penerbit Buku Kompas, cetakan keempat, 2014, Mohammad Hatta menulis kisah tersebut, sebagai berikut (kutipannya):
Toleransi Para Pemimpin Islam
Karena begitu serius rupanya, esok paginya, tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodemedjo, dan Mr. Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakatuntuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ket-Tuhanan Yang maha Esa.” Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pada waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan Indonesia.
Pada waktu itu kami menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantikannya dengan “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Dalam negara Indonesia yang kemudian memakai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat dimajukan sebagai rencana undang-undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara begitu, lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem syariat Islam yang teratur dalam undang-undang, berdasarkan Al Quran dan hadis, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang. Orang tidak perlu mengambil saja dari syariat Islam yang berlaku dahulu di negeri-negeri Arab dalam abad ke-8, ke-9, atau ke-10 yang ada waktu itu sesuai pula dengan keadaan masyarakat di situ. ....
...
Negara ini bukan didirikan dan milik satu golongan saja, oleh karena itu harus mampu mengakomodasikan, menghormati, dan melindungi semua golongan. Hanya dengan itu persatuan dan kesatuan bangsa dan negara ini tetap bisa dipertahankan.