Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Sampah Masyarakat Indonesia "Membuat" Kepala Daerah dan Anggota DPR

30 Agustus 2016   20:37 Diperbarui: 30 Agustus 2016   22:52 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi suap oleh KPK, 23 Agustus 2016 (sumber:kendaripos.fajar.co.id)

Tokyo, Jepang adalah tuan rumah Olimpiade 2020.

Negara itu berencana akan menggunakan teknologi yang dikuasainya untuk membuat medali-medali Olimpiade-nya dari sampah-sampah elektronika. Sampah-sampah elektonika itu adalah dari perangkat komputer, ponsel dan berbagai macam gawai (gadget) yang berlimpah.

Canggih sekali, bukan?

Tapi, ternyata kita di Indonesia jauh lebih canggih lagi. Sebab jika Jepang sanggup membuat medali-medali Olimpiade 2020 dari sampah elektronika, maka Indonesia sudah sangat produktif membuat pejabat tinggi negara, terutama kepala daerah dan anggota DPR(D) dari sampah masyarakat!

Contoh terbaru: Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam yang punya tiga gelar akademis, telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, terkait kasus perizinan pertambangan nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Luar biasanya lagi, Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 23 Agustus 2016, dua hari kemudian, 25 Agustus 2016, ia dikukuhkan gelar doktor di bidang ekonomi oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ)!

Jadwal pengukuhan doktornya itu seharusnya 27 Agustus, tetapi begitu mengetahui Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka, oleh pihak Universitas, jadwal pengukuhan doktornya itu bukan ditangguhkan, malah dipercepat.

Di negara mana di dunia yang bisa begini? Hanya di Indonesia yang bisa begini.

Gubernur Sultra Nur Alam seusai pengukuhan gelar Doktor di bidang Ekonomi dengan predikat Cum Laude, IPK 3,90 dari Universitas Negeri Jakarta, 25 Agustus 2016 (sumberrakyatsultra.fajar.co.id)
Gubernur Sultra Nur Alam seusai pengukuhan gelar Doktor di bidang Ekonomi dengan predikat Cum Laude, IPK 3,90 dari Universitas Negeri Jakarta, 25 Agustus 2016 (sumberrakyatsultra.fajar.co.id)
Jepang boleh saja bangga dengan mampu membuat medali dari sampah elektronika, tetapi negara itu pasti tidak mampu berbuat seperti ini dengan sampah masyarakatnya.

Kasus Gubernur Sulawesi Tenggara Dr. Nur Alam, S.E., M.Si ini kemungkinan besar akan menyeret pula dua bupati di provinsi yang dipimpinnya, yaitu Bupati Kabupaten Buton Samsu Umar Abdul Samiundan Bupati Kabupaten Bombana H Tafdil. KPK sedang melakukan penyelidikan intensif terhadap keduanya.

Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief, meski penerbitan izin pertambangan telah diserahkan kepada gubernur, Bupati Buton dan Bupati Bombana diduga ikut merekomendasikan penerbitan izin pertambangan nikel kepada Gubernur Nur Alam, karena lokasi pertambangan berada di dua lokasi di kedua kabupaten itu.

Dalam tiga tahun belakangan ini saja,  dari 2014 sampai dengan Agustus 2016 ini, sudah ada 5 gubernur yang masuk penjara karena korupsi, Nur Alam sangat berpotensi menambahnya menjadi 6.

Mereka adalah (karena status tersangkanya menjadi gubernur-gubernur non-aktif ketika divonis):

  • Gubernur Sumatera Utara periode 2011-2016 Gatot Pujo Nugroho, terlibat kasus korupsi  suap hakim PTUN Medan. Pada 14 Maret 2016, ia divonis oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta 3 tahun penjara;
  • Gubernur Riau periode 2013-2018 Annas Maamun,terlibat kasus korupsi (suap) alih fungsi kebun kelapa.  Pada 5 Februari 2015 ditingkat kasasi  divonis Mahkamah Agung 7 tahun penjara. Annas Maamun adalah gubernur Riau yang melakukan “hattrick” dengan “prestasinya” membuat tiga gubernur Riau bertutut-turut (termasuk dia, yang ketiga) melakukan korupsi, ditangkap KPK,  dan masuk penjara. Dua gubernur Riau sebelum dia adalah Rusli Zainal (periode 2003-2008, dan 2008-2013), dan Saleh Djasit (periode 1998-2003).
  • Mantan Gubernur Riau periode 2008-2013 Rusli Zainal,terjerat dua kasus korupsi sekaligus, yaitu menyangkut perizinan kehutanan dan korupsi dana PON Riau. Pada 17 November 2014, Mahkamah Agung memperberat masa hukumannya dari 10 tahun yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Riau menjadi 14 tahun penjara.
  • Sebelum dia, Gubernur Riau periode 1998-2003 Saleh Djasit juga masuk penjara karena korupsi Rp. 4,7 miliar dalam pengadaan mobil pemadam kebakaran (damkar) di Provinsi Riau. Pada 2 Juni 2009, permohonan Peninjauan Kembali-nya ditolak Mahkamah Agung, memperkuat vonis 4 tahun penjara yang telah dijatuhkan Pengadilan Tipikor kepadanya.
  • Gubernur Maluku Utara Thaib Armaiyn,pada 12 Agustus 2008 divonis majelis hakim Tipikor Jakarta 2 tahun penjara, karena terbukti melakukan korupsi anggaran dana tak terduga Provinsi Maluku Utara 2004 sebesar 6,9 miliar Rupiah.
  • Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah,pada 23 Februari 2015, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya, dan malah menambah hukumannya dari 4 tahun penjara menjadi  7 tahun penjara, ia terbukti bersalah menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar sebesar 1 miliar Rupiah, dalam kasus sengketa kabupaten Lebak, Banten.

Catatan di atas itu hanya khusus kepala daerah dengan jabatan gubernur, belum bupati/wali kota, dan hanya dalam kurun waktu 2014 sampai dengan sekarang, tahun 2016 yang masih berjalan ini. Bisa saja kelak masih di tahun 2016 ini akan bertambah lagi daftarnya.

Menurut data KPK Agustus 2015, sejak KPK didirikan pada 2003 sampai dengan Agustus 2015 saja, KPK telah menangani kasus korupsi 56 kepala daerah, mereka semua terbukti korupsi dan masuk penjara.

Sedangkan berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri sampai dengan Februari 2014, ada 343 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun KPK. Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah.

Daerah-daerah yang dipimpin oleh sampah-sampah masyarakat yang menjadi kepala daerah-kepala daerah itu sebelumnya banyak juga yang oleh “pengawas kebersihan” yang bernama BPK dinyatakan bersih dengan laporan keuangan daerahnya yang diberi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), seperti Provinsi Sumatera Utara saat dipimpin oleh Gubernur Gatot Pujo Nugroho, Provinsi Banten saat dipimpin oleh Gubernur Atut Chosiyah, bahkan Provinsi Riau dengan tiga gubernur koruptornya juga merupakan langganan opini WTP dari BPK.

Selain kepala daerah, di Indonesia, sampah-sampah masyarakat juga banyak yang menjadi anggota dewan yang terhormat: DPR-RI, maupun DPRD.

Salah satu contoh termuktahir adalah kasus korupsi yang menjerat anggota Komisi V DPR-RI dari Fraksi PDIP Damayanti Wisnu Putranti. Damayanti terkena operasi tangkap tangan KPK dalam kasus korupsi suap dana aspirasi pembangunan jalan di Maluku di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Pada 29 Agustus 2016, permohonan agar dirinya diberi status justice collaborator dikabulkan oleh Jaksa KPK, yang pada hari itu juga telah membaca tuntutannya: meminta majelis hakim Tipikor untuk menjatuhkan hukuman kepada Damayanti 6 tahun penjara dan denda 500 juta Rupiah subsidair 6 bulan kurungan.

Dengan statusnya sebagai justice collaboratoritu diharapkan Damayanti akan membongkar semua pihak yang telah menerima suap di dalam kasus korupsi tersebut. Untuk tahap awal berkat kesaksian dari Damayanti, tiga rekannya di Komisi V DPR telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK untuk kasus korupsi yang sama.

Yang mencengangkan adalah ada indikasi kuat bahwa semua dari 54 anggota Komisi V DPR itu diduga telah menerima suap sebagaimana yang telah terbukti diterima Damayanti!

Indikasi itu muncul saat Damayanti memberi keterangan sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, 15 Agustus 2016. Menurutnya, sebanyak 54 anggota Komisi V DPR ikut mengusulkan program aspirasi di 11 wilayah Balai Pembangunan Jalan Nasional (BPJN) Kementerian PUPR.

"Mengenai aspirasi dari Kementerian PUPR, sebanyak 54 anggota Komisi V dapat, jadi bukan saya sendiri," ujar Damayanti kepada Hakim di Pengadilan Tipikor.

Menurut Damayanti, program aspirasi yang diusulkan semua anggota Komisi V DPR seperti ban berjalan, karena rutin dilakukan kepada Kementerian PUPR. Hal itu terjadi karena sebelumnya sudah ada kesepakatan antara pimpinan Komisi V DPR dengan pejabat di Kementerian PUPR.

Jika benar sampai terbukti,  semua anggota Komisi V DPR itu telah melakukan korupsi berjamaah tersebut, maka semakin hebatlah negara kita ini, yang selain bisa membuat kepala daerah dari sampah masyarakat, juga bisa membuat sedemikianbanyak anggota DPR dari sampah masyarakat juga. 

Lebih-lebih lagi ada semangat dari kalangan DPR yang mendesak KPU agar dalam PKPU diperbolehkannya anggota sampah masyarakat yang sedang menjalani hukuman percobaannya untuk ikut dalam pilkada. Pemikiran seperti ini hampir pasti berasal dari anggota DPR yang bermental korup, atau justru bagian dari sampah masyarakat yang menjadi anggota DPR, tetapi belum ketahuan bau busuknya saja. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun