Kompas.com, Senin, 20 Juni 2016, pukul 20:19 WIB, memberitakan tentang Kapolri Badrodin Haiti yang merasa heran bahwa berita penangkapan para teroris di Surabaya pada 8 Juni 2016 tidak seheboh ketika terjadi serangan teroris di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, pada awal Januari lalu.
Berita di Surabaya itu hanya bertahan 3 hari, lalu menghilang dari media.
Padahal, dibandingkan dengan di Thamrin, jika sampai terlaksana, serangan yang direncanakan para teroris di Surabaya itu jauh lebih dahsyat daripada di Thamrin.
Di Thamrin, bom yang diledakkan hanya satu bom dengan daya ledak rendah (lowexplosive), sedangkan di Surabaya, bom yang direncanakan diledakkan para teroris itu ada beberapa dengan berat 6 kg, berteknologi canggih dengan daya ledak yang tinggi, setara dengan bom Bali pertama, yang menewaskan lebih dari 200 orang itu.
Di Thamrin, terorisnya hanya menggunakan pistol, sedangkan di Surabaya yang ditemukan adalah beberapa senjata mesin laras panjang dengan pelurunya.
"Saya kemarin berpikir, kenapa kalau ada bom meledak beritanya besar sekali. Dan berhari-hari tidak selesai sampai sebulan seperti bom Thamrin. Padahal bomnya tidak besar, termasuk low explosive," ujar Badrodin dalam sambutannya di acara buka puasa bersama di Mabes Polri, Jakarta, Senin (20/6/2016).
"Padahal ini prestasi polisi. Ini patut kita apresiasi," katanya. Jika bom tersebut meledak sebelum kelompok terorisnya ditangkap, Badrodin meyakini ini akan menjadi pemberitaan besar.
Namun, menurut dia, lebih baik mencegah peledakan terjadi daripada banyak korban terlanjur bergelimpangan. "Tapi saya bilang ke Densus, jangan coba-coba diledakkan dulu baru diungkap. Harus ditangkap sebelum meledak," kata Badrodin.
Kelompok teroris di Surabaya itu diketahui para simpatisan ISIS. Bom yang mereka akan gunakan itu berteknologi canggih berledak tinggi, bisa diatur meledak sendiri ketika terkena cahaya, atau dikendalikan dengan ponsel dari jarak jauh.
Target mereka adalah meledak pos polisi, menembak mati polisi, lalu menyerbu salah satu mall besar di Surabaya, yaitu Galaxy Mall, dengan sasar utama Star Buck.
Sebelum Kapolri menyatakan keheranannya atas sikap media dalam pemberitaan terhadap peristiwa tersebut, saya sudah lebih dulu menulis keheranan saya ke harian Kompas dalam bentuk surat pembaca pada 10 Juni 2016, karena koran Kompas malah sama sekali tidak memberitakan kejadian itu. Sedangkan Jawa Posmenulis berita itu sebagai headline di halaman depan, dua hari berturut-turut.
Saya merasa sangat heran, karena menurut saya, itu berita besar, seharusnya diberitakan sebagai berita utama di media-media, bukan untuk menakut-nakuti masyarakat, tetapi agar masyarakat bisa waspada. Kita kan tidak harus menunggu sampai serangan teror itu benar-benar terjadi, harus bomnya meledak dulu, harus ada yang mati dulu, baru layak berita utama.
Ketika berbagai media memberitakan peristiwa itu sebagai berita utamanya, meskipun memang tidak seheboh bom Tharim, harian sebesar Kompas malah sama sekali tidak memberitakannya, sebagai berita kecil pun tidak, satu kalimat pun tidak ada.
Ketika itu, saya periksa koran Kompas edisi tanggal 9 Juni, di bolak-balik lembaran koran itu, dari depan sampai belakang, dari belakang sampai depan, berita tersebut benar-benar tidak ada. Begitu juga di Kompas tanggal 10 Juni, dan seterusnya, tidak ada berita tentang tertangkapnya para teroris dengan rencana teror besar mereka itu.
Saya heran sekali, masa bagi Kompas peristiwa itu tidak layak berita?
Maka saya pun menulis surat pembaca tentang keheranan saya itu, dikirim tanggal 10 Juni melalui e-mail. Tetapi, surat saya itu belum dimuat sampai sekarang. Rupanya, bagi Kompas surat itu juga tidak penting.
Sampai hari ini, saya membaca berita tentang keheranan Badrodin Haiti itu, ternyata bahkan Kapolri pun sama herannya dengan saya.
Berikut surat pembaca yang saya kirim ke Redaksi Kompas, tetapi tidak dimuat itu:
Kenapa Kompas Tidak Memberitakan
Peristiwa tertangkapnya empat terduga teroris oleh Densus 88, di Surabaya, pada Rabu sore (8/6/2016) termasuk sebuah peristiwa besar, yang menjadi headline berita di berbagai media.
Rencana serangan besar-besaran mereka terungkap meniru pola serangan teroris di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, awal Januari lalu, bahkan dari temuan Densus 88, jika serangan tersebut jadi dilakukan akan lebih besar daripada yangterjadi di Thamrin.
Serangan direncanakan berupa meledakkan beberapa bom (bunuh diri), dan penembakan membabi buta di pos polisi, pusat bisnis dan salah satu mall terbesar di Surabaya (Galaxy Mall).
Senjata yang disiapkan berupa 3 bom berdaya ledak tinggi, dan berteknologi canggih yang diledakkan dengan menggunakan ponsel, dan meledak jika terkena cahaya, 6 kg bom, dua senpi laras panjang, dan satu pistol.
Tapi, saya merasa heran, harian Kompas justru sama sekali tidak memberitakan peristiwa ini di korannya edisi Kamis (9/6), satu kalimat pun tak ada beritanya. Di koran edisi Jumat (10/6) pun tidak ada, selain  menyingung secara sepintas tentang diledakkan tiga bom canggih tersebut oleh kepolisian, di sebuah berita kecil di halaman 4.
Apakah bagi Kompas, peristiwa seperti itu baru layak berita jika serangan teror itu terjadi, atau di Surabaya tidak ada wartawan Kompas?
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H