Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

BPK Bukan Lembaga Terpercaya

18 Juni 2016   23:02 Diperbarui: 18 Juni 2016   23:33 3580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah hampir satu tahun (sejak Agustus 2015) KPK melakukan penyelidikan terhadap pembelian sebagian lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW), sampai memeriksa 50 saksi, termasuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, pada Selasa (14/6) dan Rabu (15/6), KPK pun mengumumkan hasil kerja mereka itu di DPR, yaitu bahwa KPK tidak menemukan unsur korupsi di dalam transaksi pembelian lahan tersebut.

Sebagai lembaga penegak hukum yang paling tinggi tingkat kepercayaan publik terhadapnya, kita juga yakin bahwa KPK benar-benar bekerja secara profesional dalam menangani semua kasus yang masuk kepadanya, tak terkecuali kasus pembelian lahan Sumber Waras itu.

Kita percaya KPK telah sungguh-sungguh bekerja all-out untuk menyelidiki kasus tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tidak mungkin KPK bermaksud tidak baik dalam menangani kasus itu, tidak mungkin KPK dipengaruhi oleh pihak mana pun, dan tidak mungkin KPK ingin melindungi pihak tertentu, termasuk Ahok.

Jika memang tidak ditemukan unsur korupsinya, dan memang itu tak ada, haruskah KPK tunduk kepada tekanan pihak-pihak tertentu untuk merekayasa hasil penyelidikannya sedemikian rupa agar dapat menetapkan Ahok sebagai tersangka?

Apalagi, pihak-pihak tertentu itu sesungguhnya adalah musuh-musuh politik Ahok, yang sangat mengharapkan dapat memanfaatkan KPK menyingkirkan Ahok dari kursi DKI 1.

Mereka sendiri berteriak-teriak: KPK harus bekerja profesional dan independen, tetapi mereka sendiri tak henti-hentinya menekan, memprovokasi, dan memaksa kehendaknya kepada KPK, dengan berbagai cara, termasuk dengan cara-cara anarkis membawa-bawa sentimen SARA.

Di bawah tekanan fisik dan psikis bertubi-tubi dari musuh-musuh politik Ahok itu:  difitnah (telah dibeli Ahok), didemo, diserang kantornya, diancam petugasnya, KPK tetap tak tergoyahkan, dapat menjalankan tugasnya dengan lancar dengan mempertahankan profesionalitas dan independensinya.

Pihak-pihak yang tidak senang dengan keputusan KPK tersebut, lalu menuduh KPK telah dibeli Ahok. Seharusnya, mereka bisa membuktikan tuduhan tersebut.  Jika mereka tidak bisa membuktikan tuduhan itu, maka itulah bukti lagi bahwa mereka sesungguhnya memang tak lebih dari segerombolan BSH (barisan sakit hati) yang sedang frustrasi karena sudah mencoba berbagai upaya, termasuk cara-cara haram, tetapi belum juga bisa melampiaskan dendamnya kepada Ahok (karena pintu-pintu pendapatan haramnya ditutup Ahok), belum bisa menyingkirkan Ahok.  Sebaliknya, semakin ditekan, semakin difitnah, popularitas dan dukungan terhadap Ahok dari rakyat justru semakin tinggi.

KPK yang Paling Berwenang

Sebagai lembaga penegak hukum khusus kasus korupsi (berdasarkan UU KPK), KPK adalah satu-satunya lembaga yang paling  berwenang menangani kasus hukum pembelian lahan Sumber Waras itu. KPK-lah yang paling tahu apakah kasus tersebut secara hukum ada unsur korupsinya ataukah tidak, bukan lembaga lain, termasuk BPK.

Lembaga atau pihak lain hanya berperan sebagai pemasok data dan keterangan, yang dari semua data itulah, KPK mengadakan penyelidikan, membuat kesimpulan dan keputusan langkah apakah selanjutnya yang akan diambil terhadap suatu kasus; apakah akan dilanjutkan ke tahapan penyidikan (karena cukup ada bukti yang menunjukkan adanya unsur korupsinya), ataukah tidak melanjutkannya ke tahapan penyidikan (karena tidak ditemukan ada unsur korupsinya).

Tanda betapa seriusnya seriusnya KPK menangani kasus ini antara lain adalah dengan cara mereka mengundang para ahli untuk memberikan keterangan seputar kasus tersebut, di antaranya ahli dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).

Dari keterangan para ahli itu, semuanya mengarah pada kesimpulan bahwa tidak ada unsur pelanggaran hukum, kerugian negara, dan korupsi di dalam transaksi pembelian lahan Sumber Waras itu.

"Dari pendapat ahli tidak seperti itu (audit BPK). MAPI ada selisih, tapi tidak sebesar itu. Ahli ada yang berpendapat terkait NJOP (nilai jual obyek pajak) itu harga bagus," jelas Ketua KPK Agus Rahardjo kepada para wartawan di Gedung DPR (Rabu, 15/6/2016).

Namun, seperti yang sudah bisa diduga, sekalipun KPK telah menyatakan keputusannya tersebut secara profesional sesuai dengan kewenangannya, musuh-musuh politik Ahok tetap saja tidak mau menerimanya. Mereka tak mau menghormati proses hukum yang sudah dituntaskan KPK itu, karena itu dianggap menguntungkan Ahok, maka itu mereka pun mulai mencampuradukkan kasus hukum itu dengan kepentingan politik mereka. Fakta hukum diabaikan, faktor politik mulai dikedepankan, dengan cara-cara yang konyol dan memuakkan.

DPR sebagai salah satu musuh politik Ahok sengaja mempertanyakan hal yang tak masuk akal: kenapa antara BPK dengan KPK punya keputusan yang berbeda? Kenapa BPK bilang ada unsur merugikan negara (korupsi), tetapi KPK bilang sebaliknya.

Konyolnya, DPR cenderung lebih percaya BPK yang terdiri dari orang-orang parpol itu,  ketimbang KPK yang sampai detik ini merupakan lembaga yang paling dipercaya rakyat. Padahal BPK bukan lembaga penegak hukum kasus korupsi, sebaliknya KPK-lah lembaga penegak hukum itu, yang secara eksklusif diberikan Undang-Undang untuk melakukan pemeriksaan, penyelidikan, dan penyidikan kasus-kasus korupsi.

Eddy Os Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, dalam tulisannya berjudul KPK vs BPK, di Harian Kompas, Sabtu, 18 Juni 2016, menyebutkan alasan kenapa di dalam perbedaan kesimpulan tentang pembelian lahan Sumber Waras itu, hasil penyelidikan KPK-lah yang harus dipegang, bukan hasil audit BPK, antara lain bahwa audit yang dilakukan seorang auditor pada hakikatnya adalah menguji kepatutan terhadap peraturan perundang-undangan, prosedur atau sistem dan kepatutan. Jika ditemukan penyimpangan, maka dapat dilanjutkan dengan audit investigasi. Audit investigasi dilakukan untuk mendalami temuan yang diduga suatu penyimpangan, menemukan, dan mengumpulkan bukti kepada pihak yang berwajib untuk ditindaklanjuti.

Sedangkan penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik adalah serangkaian tindakan untuk menemukan dan mengumpulkan bukti dalam rangka menentukan ada-tidaknya suatu tindak pidana.

Kedua, adanya indikasi kerugian keuangan negara berdasarkan temuan BPK pada hakikatnya hanyalah berupa fakta. Apakah kerugian negara tersebut berada dalam ranah administrasi ataukah ranah perdata ataukah ranah pidana, harus dilakukan klarifikasi lebih lanjut. Klarifikasi itu bukanlah kewenangan BPK, bahkan BPK tidak memiliki preknowledge untuk menjustifikasi apakah kerugiannegara tersebut berada dalam ranah administrasi, ranah perdata, ataukah ranah pidana.

Ketiga, in casu a quo, dengan asumsi pemberitaan yang dilansir oleh berbagai media adalah benar bahwa dasar aturan yang digunakan oleh BPK untuk mengaudit sudah tidak lagi berlaku, maka telah terjadi error juris dalam menganalisis suatu peristiwa hukum. Dalam hukum berlaku adagium lex posteriori derogat lege priori, yang berarti aturan hukum yang baru mengesampingkan aturan hukum terdahulu.

Seandainya jika pada saat audit dilakukan terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, maka dalam konteks yang demikian berlaku prinsip lex favor reo. Artinya, jika terjadi perubahan perundang-undangan, maka harus digunakan aturan yang lebih menguntungkan (bagi pihak yang diaudit).

Meragukan Integritas BPK

DPR tiba-tiba menganggap BPK seperti dewa, yang terdiri dari orang-orang berintegritas tinggi, selalu bekerja profesional, jujur dan bersih, padahal sudah sejak lama menjadi pergunjingan dan seolah-olah menjadi rahasia umum bahwa di daerah-daerah, atau di lembaga-lembaga negara tertentu yang akan diaudit BPK, kepala daerahnya, atau kepala lembaganya harus menyediakan angpau khusus untuk oknum-oknum BPK itu, jika ingin hasil auditnya dinyatakan bersih alias Wajar Tanpa Pengecualiaan (WTP).

Pergunjingan seperti itu bukan tanpa dasar, kita lihat saja bagaimana awal mula dari meledaknya kasus pembelian lahan Sumber Waras itu. Bahwa ternyata dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi dari Ketua BPK Perwakilan DKI Jakarta Efdinal, yang diduga telah memaksa Pemprov DKI Jakarta untuk membeli lahan miliknya, dengan ancaman jika permintaannya itu tak dipenuhi, maka pihaknya akan menjadikan pembelian lahan Sumber Waras itu sebagai suatu kasus hukum (korupsi) yang akan dipublikasikan, dan dilaporkan ke KPK.

Karena Pemprov DKI Jakarta (Ahok) merasa tak ada yang salah dalam transaksi jual-beli lahan Sumber Waras itu, mereka menolak permintaan Efdinal tersebut. Maka, Efdinal dengan memanfaatkan kewenangannya sebagai Kepala BPK DKI Jakarta itu pun mengumumkan temuan mereka tentang adanya kerugian negara di dalam transaksi pembelian lahan tersebut, dan melaporkannya ke KPK.

Efdinal sendiri kemudian dilaporkan Ahok dan ICW ke Majelis Kehormatan BPK dengan tudingan telah menyalahgunakan wewenangnya. Pada Februari 2016 BPK mencopot Efdinal dari jabatannya itu. Meskipun BPK tak mengakuinya, tak bisa dipungkiri lagi bahwa pencopotan tersebut ada kaitannya dengan laporan Ahok dan ICW tersebut.

Demikianlah kasus itu tersebut bergulir semakin panas di KPK, melibatkan BPK Pusat, selama hampir satu tahun, sampai akhirnya, pada 14 dan 15 Juni 2016,  KPK mengumumkan kesimpulan hasil penyelidikan mereka bahwa KPK tidak menemukan adanya unsur korupsi di dalam kasus tersebut.

Sesungguhnya KPK merasa penasaran juga, kenapa sampai BPK bisa menyimpulkan telah terjadi kerugian negara di dalam transaksi pembelian lahan Sumber waras itu, maka itu mereka pun telah mengajak BPK untuk melakukan rapat bersama dengan agenda membicarakan temuan BPK tersebut. Namun apapun hasil pembicaran tersebut tidak akan mengubah keputusan KPK.

Hanya menunggu waktunya saja, KPK akan mengumumkan keputusan final mereka, bahwa KPK berketetapan menghentikan penyelidikan kasus tersebut, tidak akan dilanjutkan ke tingkat penyidikan.

Fakta lain yang semakin meragukan integritaskan auditor dan pimpinan BPK adalah begitu banyaknya predikat WTP yang diberikan BPK kepada sejumlah kepala daerah dan lembaga negara, tetapi faktanya kepala-kepala daerah dan pimpinan lembaga-lembaga negara itu malah dipenjarakan KPK karena terlibat korupsi.

Sebaliknya, Provinsi DKI Jakarta yang begitu transparan anggarannya dan sangat giat melakukan pembersihan koruptor dari pemerintahannya, malah menjadi langganan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK.

Berikut ini adalah rentetatan faktanya:

Provinsi Banten, pada 2013 mendapat opini WTP dari BPK. Tetapi, gubernurnya Ratu Atut malah dipenjarakan KPK karena terlibat kasus korupsi prasarana dan sarana kesehatan di tahun anggaran 2011-2013.

Provinsi Sumatera Utara meraih predikat WTP dari BPK untuk pertama kalinya di bawah kepimpinan Gubernur Gatot Pujo Nugroho, pada 2014, namun untuk pertama kali pula di bawah kepimpinan Gatot ada gubernur Sumatera Utara (yang bukan lain Gatot sendiri) dan istrinya yang dipenjarakan KPK karena kasus suap.

Provinsi Riau adalah salah satu provinsi yang memperoleh predikat  WTP dari BPK selama 4 tahun berturut-turut, sejak 2012. Tetapi, di tangan KPK malah menjadi pelanggan predikat kepala daerah koruptor, tiga gubernurnya berturut-turut: Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun  dipenjarakan KPK karena terbukti korupsi.

Kota Palembang 5 kali mendapat WTP dari BPK, kenyatannya walikotanya, Romi Herton dan istrinya ditangkap KPK karena menyuap Ketua MK Akil Muchtar terkait pengurusan sengketa Pilkada kota Palembang di MK. Romi mendapat ganjaran 6 tahun penjara, istrinya 4 tahun penjara.

Kota Bangkalan, di Madura menjadi salah satu kabupaten yang juga menjadi pelanggan WTP dari BPK, sudah 3 kali predikat WTP didapat dari BPK. Faktanya, Fuad Amin, mantan Bupati Bangkalan (2003-2012) pun terjerat kasus korupsi dan pencucian uang, sudah dipenjarakan KPK.

Pemerintah Kota Tegal pada tahun 2012 mendapat ganjaran opini WTP dari BPK karena laporan keuangannya dinilai memuaskan. Namun, Walikotanya saat itu, Ikmal Jaya dipenjarakan KPK, karena terbukti korupsi dalam tukar guling tanah aset pemerintah dengan milik swasta.

Pada 2011, Kementerian Agama mendapatkan opini WTP dari BPK. Menteri Agama saat itu, Suryadharma Ali menerima langsung sertifikat WTP dari Ketua BPK saat itu, Hadi Poernomo.

Namun, kemudian KPK berhasil membuktikan bahwa selama menjadi Menteri Agama, Suryadharm Ali telah melakukan korupsi pengelolaan dana haji, dan korupsi penggunaan Dana Operasional Menteri (DOM). Surya divonis 6 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.

Tahun 2010, di bawah kepimpinan Andi Mallarangeng, Kementerian Pemuda dan Olah Raga memperoleh opini WTP dari BPK atas lapor keuangannya.

Namun, tak lama berselang, justru Andi Mallarangeng tersandung kasus di KPK. Andi dijadikan tersangka kasus korupsi proyek Hambalang. Ia kemudian divonis 5 tahun penjara oleh hakim Tipikor Jakarta.  Bahkan, beberapa pejabat Kemenpora saat itu juga ikut terseret dalam kasus ini.

Laporan keuangan Kementerian ESDM tahun 2013 mendapatkan opini WTP dari BPK. Saat itu, Kementerian ESDM dipimpin oleh Jero Wacik.

Namun, tak lama berselang, tepatnya pada tahun 2014 KPK mengumumkan Jero Wacik menjadi tersangka kasus korupsi di lingkungan Kementerian ESDM. Tak hanya Jero, Sekjen ESDM saat itu, Waryono Karno juga ditetapkan jadi tersangka oleh KPK. Jero divonis 4 tahun penjara.

Kunker Fiktif DPR

Predikat WTP dari BPK juga menjadi langganan DPR, namun pada pertengahan Mei 2016 lalu, beredar luas kabar bahwa ada laporan hasil audit BPK tentang adanya temuan banyak anggota DPR yang melakukan kunjungan kerja (kunker) fiktif sehingga berpotensi kerugian negara hampir Rp 1 triliun (Rp. 945.465.000.000).

Kali ini sumber informasinya bukan dari BPK langsung, tetapi justru dari Sekretaris Jenderal DPR. Sekjen DPR menerima laporan temuan BPK tersebut, lalu meneruskan ke 10 fraksi yang ada di DPR. Lalu, Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR Hendrawan Supratikno mempublikasikannya ke media.

Tidak ada bantahan dari DPR, sebaliknya justru beberapa anggota DPR, termasuk Hendrawan membuat pernyataan yang secara tak langsung mengakui memang ada banyak kunker fiktif di DPR. Kunker tidak pernah dilakukan, atau hanya diwakilkan kepada staf tenaga ahlinya, lalu dilaporkan seolah-olah ada kunker tersebut. Indikasi kuat kunker tersebut antara lain banyak anggota DPR yang membuat laporan kunker yang tidak meyakinkan (redaksi laporannya editan dari laporan-laporan kunker sebelumnya), dan menggunakan foto-foto yang sama dari laporan kunker-kunker sebelumnya, sebagai bukti mereka telah melakukan kunker tersebut.  

Ketika diminta konfirmasinya, pada Mei 2016 Ketua BPK Harry Azhar Azis tidak membantah, atau membenarkan. Namun, pada 2 Juni 2016, saat menyampaikan penjelasannya di DPR, Harry membantah adanya laporan BPK tentang temuan dugaan kunker fiktif tersebut, kata dia, yang dimaksud BPK itu bukan kunker fiktif, tetapi hanya masalah administrasi pelaporan yang harus dibenahi. Laporan kepada Sekjen DPR itu pun, kata dia, masih merupakan proses pemeriksaan yang belum seharusnya diketahui media.

Saya curiga, jangan-jangan laporan BPK yang masuk ke Sekjen DPR itu sesungguhnya semacam suatu ancaman terselubung agar DPR jangan macam-macam dengan BPK, dan agar DPR membekingi BPK untuk berhadapan dengan KPK dan Pemprov DKI Jakarta (Ahok) terkait perbedaan kesimpulan KPK dengan BPK terhadap hasil audit transaksi pembelian lahan Sumber Waras.

Mungkin, seharusnya laporan itu tidak dipublikasikan, karena hanya dipakai untuk menggertak DPR. Di luar dugaan anggota DPR dari Fraksi PDIP Hendrawan Supraktino itu malah memberitahukan kepada media.

BPK Beberapa Kali Digugat

Meskipun secara formal,  hasil audit BPK tidak bisa digugat, tetapi faktanya BPK beberapa kali digugat oleh pihak-pihak yang berkeberatan dengan hasil audit mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di belakang audit BPK tersebut. Bahwa integritas BPK itu meragukan. Bahkan timbul kecurigaan oknum-oknum tertentu di BPK justru memanfaat dan berlindung di balik “imunitas” tersebut untuk bebas melakukan audit sesuai kepentingannya atau kepentingan pihaklain.

Di bawah ini adalah info grafis peristiwa-peristiwa terjadinya gugatan terhadap hasil audit BPK (sumber Harian Kompas):

gugatan-ke-bpk-57656ee1f292732409f9e519.png
gugatan-ke-bpk-57656ee1f292732409f9e519.png
Ketua BPK dan Panama Papers

Selain fakta-fakta tersebut di atas, ada juga hal lain yang sangat serius yang membuat kita semakin meragukan kredibilitas dan interigitas BPK, yaitu terkuaknya fakta bahwa nama Ketua BPK Harry Azhar Aziz ternyata ada di Panama Papers dengan perusahaan cangkangnya (shell corporation) “Sheng Yue International Limited” di salah satu negara suaka pajak.

Meskipun perusahaan cangkang tidak selalu identik dengan usaha-usaha ilegal, tetapi lebih umum diketahui bahwa perusahaan cangkang itu biasanya sengaja didirikan sebagai penampungan dana dalam jumlah besar yang sumbernya tak jelas, dan untuk menghindari pembayaran pajak di negara pemilik perusahaannya.

Harry telah menyangkal tujuan diamendirikan perusahaan cangkangnya untuk kegiatan-kegiatan penampungan dana tak jelas dan penghindaraan pajak, tetapi penjelasan dan argumen-argumennya itu justru semakin menimbulkan curiga, karena banyaknya kejanggalan-kejangalan di dalamnya. Misalnya, dia mengakui perusahaan itu didirikan setelah anaknya menikah pada 2014. Padahal perusahaan itu didirikan pada 2010.

Sampai saat ini PPATK masih melakukan penyelidikan terhadap data-data yang ada di Panama Papers itu.

Selain fakta-fakta tersebut di atas, juga terkuak fakta bahwa selama ini ternyata para pejabat tinggi BPK, termasuk Ketua BPK Harry Azhar Aziz belum melaporkan harta kekayaannya sebagai pejabat negara (LHKPN) kepada KPK. Publik tidak tahu seberapa besar sebenarnya kekayaan mereka dan sumbernya.

Bagaimana bisa dijamin kredibilitasnya kalau sang auditor keuangan sendiri tidak jelas keuangan pribadinya sendiri?

Jadi, bagaimana bisa kita diyakinkan bahwa BPK adalah salah satu lembaga negara yang patut mendapat kepercayaan besar rakyat? *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun