Tanpa rakyat miskin tergusur itu, bagaimana bisa seorang aktivis kemanusiaan berteriak-teriak memaki Gubernur DKI, agar orang banyak melihat dia benar-benar seorang aktivis kemanusiaan sejati?
Tanpa rakyat miskin tergusur itu bagaimana bisa nanti politisi, anggota Dewan, partai politik juga bisa bersandiwara sebagai pejuang sejati rakyat miskin?
Singkatnya, kalau tidak ada rakyat miskin seperti mereka yang tinggal di pemukiman kumuh di bantaran sungai itu yang sewaktu-waktu akan terkena gusur, apa lagi yang bisa dipakai untuk melawan Ahok?
Jadi, warga miskin itu harus dipertahankan tetap tinggal di “kandang ayamnya” masing-masing, agar bisa dimanfaatkan jika diperlukan, seperti menjelang pilkada DKI 2017 ini.
Jadi, siapakah sebetulnya yang benar-benar perduli terhadap nasib rakyat miskin itu tanpa melanggar hukum?
Meskipun menjelang pilkada DKI 2017, dan Ahok sadar bahwa penggusuran-penggusuran seperti itu berpotensi mengurangi elektabilitasnya, dia tetap konsisten meneruskannya. Bukan hanya itu jauh-jauh hari pun Ahok sudah mengumumkannya tentang kepastian penggusuran tersebut.
Jika Ahok memang punya nafsu, haus kekuasaan tentu saja ia tidak akan melakukan penggusuran-penggusuran seperti itu, setidaknya ia akan menunggu sampai pilkada selesai, dan dia menang, barulah pengggusran tersebut dilakukan. Sebelum itu harus berpura-pura bersikap manis dengan sebanyak mungkin warga, berkompromi terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum yang mereka lakukan, seperti berjualan di sepanjang trotoar dan di badan jalan, dibiarkan menempati tanah negara membangun pemukiman kumuh di situ, dan sebagainya.
Berita buruk yang sebenarnya bukan untuk pengemudi Go-Jek saja, tetapi bagi semua pengemudi sepeda motor di DKI Jakarta.
Berita buruk apa itu?
Ahok menjelaskan bahwa dia akan memperpanjang jalur pembatasan sepeda motor di sepanjang Jalan Sudirman sampai Jalan MH Thamrin, dengan demikian nantinya sepeda motor Go-Jek juga tidak boleh memasuki kawasan tersebut.