Selain alasan-alasan yang paling signifikan tersebut di atas, perlunya direvisi/menambah jumlaj jenis Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting pada Tol Laut adalah dikarenakan selama ini pula, masih terjadi ketidakseimbangan antara kapasitas muat kapal Tol Laut dengan ketersediaan barang yang siap dikirim ke pelabuhan-pelabuhan tujuan.
Sampai April 2016 empat trayek Tol Laut yang sudah dioperasionalkan muatannya tidak pernah penuh, lebih banyak yang kosong.
Sebagai contoh: Trayek T1: Tanjung Perak – Wanci (Wakatobi) – Namlea – Fakfak – Kaimana - Timika pp, yang berlayar pada 21 Januari 2016, yang semula dilayani dengan KM Caraka Jaya Niaga 3-32 hanya terisi 25 TEUs (kontainer) dari kapasitas 115 TEUs. Oleh karena dengan pertimbangan itulah untuk trayek T-1, diganti dengan kapal yang lebih kecil, yaitu KM Primus. Sedangkan KM Caraka Jaya Niaga 3-32 melayani T-5: Makasar-Tahuna-Lirung-Morotai-Tobelo-Ternate-Babang-Ternate pp.
Belum lagi jika saat kapal kembali ke Tanjung Perak/Tanjung Priok, sering kali pulang dengan nyaris tanpa muatan, hal mana tentu merugikan Pelni, sehingga subsidi pada Tol Laut masih besar.
Contoh, di pelabuhan Fakfak, biaya hanya bongkar saja per satu kontainer Rp. 3.000.000! Ini sudah melampui kewajaran tarif, apalagi dikaitkan dengan program Tol Laut.
Cara mengatasinya antara lain dengan adanya pengawasan dari pemerintah terkait tarif, membuka peluang, mempermudah izin, dan insentifikasi yang menarik agar semakin banyak investor/pengusaha yang mau membuka perusahaan ekspedisi muat dan bongkar di pelabuhan-pelabuhan tersebut. *****
Â
** Foto-foto tol laut: Penulis
Artikel terkait:
Mempertanyakan Efektivitas Tol Laut Jokowi