Di dalam artikel saya yang ditayangkan di Kompasiana pada 9 Desember 2015 dengan judul: Mempertanyakan Efektivitas Tol Laut Jokowi, saya mengkritisi pelaksanaan program Tol Laut Jokowi tersebut, dengan tetap memaklumi bahwa kekurangan-kekurangan tersebut merupakan hal yang wajar saja, maklum ini merupakan suatu terobosan baru, yang dipikirkan oleh pemerintah sebelumnya pun tidak pernah (maklum paradigmanya masih sangat “Jawa Sentris”).
Entah karena artikel saya itu, ataukah bukan, beberapa kritik saya tentang kekurangan-kekurangan Tol Laut itu kini sudah direvisi/ditingkatkan kwalitas sistemnya, sehingga sekarang menjadi jauh lebih efektif dan efesien dalam mencapai tujuan dari program tersebut, yakni menekan serendah-rendahnya disparitas harga barang-barang kebutuhan pokok dan barang-barang penting antara Jawa dengan daerah-daerah seperti di Papua.
Misalnya, mengenai maksimal pengisian barang di dalam satu kontainer berkapasitas 20 ton, yang sebelumnya hanya 15 ton, kini diperbolehkan menjadi maksimal 18 ton, sehingga rata-rata ongkos kirim barangnya menjauh jauh lebih murah dibandingkan dengan ongkos kirim barang melalui perusahaan angkutan laut pada umumnya.
Trayek dan armada kapalfreightliner (kapal kontainer) Tol Laut yang masih kurang, kini secara bertahap ditambah, dan pelabuhan-pelabuhan kecil yang tidak bisa disandari kapal Tol Laut sedang “di-up-grade” agar bisa disandari.
Tahapan pertama program Tol Laut Jokowi ini terdiri dari 6 trayek/kapalfreightliner.Saat diluncurkan pertama kali pada 4 November 2015 baru dioperasikan 3 trayek (T-1, T-3, dan T-6), disusul 1 trayek (T-2) pada 28 Maret 2016, dan 2 trayek sisanya (T-4 dan T-5) menyusul belum lama ini, 25 April 2016.
Selengkapnya 6 trayek Tol Laut itu adalah sebagai berikut (pergi-pulang):
Trayek 1 (T-1):Tanjung Perak – Wanci (Wakatobi) – Namlea – Fakfak – Kaimana – Timika pp (3.426 mil) dilayani KM. Freedom; T-2: Tanjung Perak-Kalabahi-Moa-Saumlaki-Dobo-Merauke PP (3.874 mil) dengan KM. Nusantara Pelangi 101; T-3: Tanjung Perak-Larantuka-Lewoleba-Rote-Sabu-Waingapu PP (2.076 mil) KM. Caraka Niaga Jaya 3-34; T-4: Tanjung Priok- Makasar-Manokwari-Wasior-Nabire-Serui-Biak PP. (4.644 mil) dilayani KM Meratus Ultima; T-5: Makasar-Tahuna-Lirung-Morotai-Tobelo-Ternate-Babang-Ternate PP (2.608 mil) dilayani KM Caraka Jaya Niaga 3-32; dan T-6: Tanjung Priok-Tarempa-Natuna PP (1.400 mil) KM. Caraka Jaya Niaga 3-4.
Tahap kedua trayek Tol Laut akan dipenuhi pada 2017 dengan menambah 3 trayek, dan tahap ketiga akan dipenuhi di tahun 2018 dengan 4 trayek. Sehingga nanti, sampai 2018, total trayek Tol Laut mencapai 13 trayek.
Agar program Tol Laut tersebut bisa berjalan maksimal, saat ini pemerintah pusat juga sedang membangun dan meng-up-grade 89 pelabuhan di daerah-daerah agar bisa dijangkau kapal-kapal freightliner Tol Laut.
Apakah itu sudah cukup? Belum.
Selain mengenai penambahan trayek, pembangunan/up-grade pelabuhan, dan pengadaan peralatan muat dan bongkar tersebut di atas, yang perlu diperhatikan juga mengenai kondisi dan topografi dari pelabuhan dan kota yang disinggahi oleh kapal-kapal Tol Laut tersebut, apakah transportasi barang sampai ke gudang pemilik barang juga bisa efektif dan efesien, dan menghemat biaya?
Juga, yang sangat penting diperhatikan adalah apakah klasifikasi jenis barang-barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting sebagaimana diatur di Pasal 2 ayat 6, Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 itu sudah tepat, ataukah masih perlu direvisi lagi?
Diskusi yang Tidak Melibatkan Pedagang/Distributor dan Ekspedisi
Pada 18 dan 19 April 2016, di Graha Pena, Jakarta, Jawa Pos Group Leader Forum mengadakan diskusi khusus untuk membahas program Tol Laut Jokowi ini. Hadir antara lain Pemimpin Redaksi Jawa Pos Nurwahid. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Kepala Staf Presiden Teten Masduki, Direktur Komersial PT Pelni Harry Boediarto, Pimpinan Redaksi Maluku Pos, serta Sekretaris Daerah dari Pemerintah Provinsi Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Diskusi tersebut membahas berbagai masalah yang dihadapi dan gagasan-gagasan apa saja yang sebaiknya diterapkan di dalam program Tol Laut demi tercapainya kesuksesan yang maksimal dari salah satu program andalan Presiden Jokowi tersebut.
Namun, dari perwakilan pedagang, distributor, dan ekspedisi tidak satu pun yang diundang. Padahal, sebagai pelaku langsung di lapangan, merekalah yang paling tahu masalah-masalah apa saja yang dihadapi, dan gagasan-gagasan apa saja yang perlu dijadikan masukan di dalam program Tol Laut.
Solusi yang ditempuh selama ini adalah kontainer dibongkar di pelabuhan, dan barang-barangnya dimuat di atas truk biasa, baru kemudian dibawa ke gudang pemilik barang. Prosedur ini tentu saja memakan waktu dan menambah biaya ekstra, dan risiko kerusakan dan kehilangan barang. Seandainya ada solusi untuk itu, tentu harga barang-barang yang dimuat dengan Tol Laut dapat lebih murah lagi.
Orang Papua Minum Air Sungai dan Air Hujan
Pasal 2 ayat 6 Perpres Nomor 71 Tahun 2015 menyebut secara spesifik apa saja yang termasuk Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, yaitu sebagai berikut:
a. Jenis Barang Kebutuhan Pokok terdiri dari:
1. Barang Kebutuhan Pokok hasil pertanian:
a) beras;
b) kedelai bahan baku tahu dan tempe;
c) cabe;
d) bawang merah.
2. Barang Kebutuhan Pokok hasil industri:
a) gula;
b) minyak goreng;
c) tepung terigu.
3. Barang Kebutuhan Pokok hasil peternakan dan perikanan;
a) daging sapi;
b) daging ayam ras;
c) telur ayam ras;
d) ikan segar yaitu bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang.
b. jenis Barang Penting terdiri dari:
1. benih yaitu benih padi, jagung, dan kedelai;
2. pupuk;
3. gas elpiji 3 (tiga) kilogram;
4. triplek;
5. semen;
6. besi baja konstruksi;
7. baja ringan.
Dari daftar tersebut tidak tercantum air minum dalam kemasan, juga mie instan. Padahal kedua jenis barang ini tergolong sangat dibutuhkan oleh masyarakat Papua, terutama sekali air minum dalam kemasan, karena air bersih dari PDAM di sana sangat tidak bisa diandalkan. Jangankan untuk kebutuhan air minum, untuk mandi dan cuci saja sulit.
Contohnya di Fakfak, Papua Barat. Saya pernah menulis di Kompasianatentang krisis air di sana (Krisis Air Bersih dan Gedung Kantor Bupati Fakfak yang Megah).
Saking sulitnya memperoleh air bersih dari PDAM karena sangat jarang mengalir dengan lancar ke rumah-rumah penduduk, maka masyarakat Fakfak terpaksa mencari air sendiri di sungai-sungai yang lokasinya cukup jauh dari kota. Dan, oleh sebagian orang, air yang diambil dari sungai-sungai itu pun dikomersialkan, dibawa ke kota, dijual per tangki (1.000 liter) sekitar Rp. 150.000, dan tiga tangki Rp. 400.000.
Semua upaya itu pun belum cukup memenuhi kebutuhan air masyarakat Fakfak secara keseluruhan. Masyarakat si Fakfak pun terpaksa mengandalkan alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya, yaitu hujan! Ya, sudah lazim bagi masyarakat Fakfak untuk menampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan airnya sehari-hari. Sumber air masyarakat Fakfak bukan pada PDAM, tetapi pada sungai dan hujan.
Jadi, untuk memenuhi kebutuhan air, termasuk air minum, sebagian masyarakat Fakfak, terutama dari kalangan ekonomi lemah mengandalkan air sungai dan air hujan! Ya, bagi sebagian masyarakat Fakfak minum air dari air sungai dan hujan (tentu saja setelah dimasak) itu sudah biasa, namun terpaksa.
Mengenai krisis air di Fakfak itu, saya pernah, pada 20 Februari 2016 menyampaikan laporan di situs www.laporpresiden.id , tapi sampai sekarang belum ada tanggapan apalagi solusi.
Bagaimana dengan air minum dalam kemasan?
Perlunya Air Minum dalam Kemasan Diperbolehkan Dikirim dengan Tol Laut
Air minum dalam kemasan di Papua tergolong barang mewah, saking mahalnya.
Sebagai contoh, di Fakfak, biasanya air minum dalam kemasan merek “Aqua” ukuran botol 600 ml dan 1.500 ml dijual dengan harga Rp. 75.000 – Rp. 80.000 per karton, padahal harga di Surabaya cuma Rp. 40.000 – Rp. 42.000 per karton!
Kenapa bisa begitu mahal? Karena ongkos kirimnya dari Surabaya ke Fakfak memang mahal, sama dengan ongkos kirim barang-barang lain pada umumnya, sedangkan karena air minum dalam kemasan tidak termasuk di dalam daftar Barang Kebutuhan Pokok Keppres Nomor 71 Tahun 2015 tersebut di atas, maka tidak diperbolehkan dikirim melalui Tol Laut.
Padahal, jika melalui Tol Laut harga jual Aqua itu di Fakfak bisa ditekan sampai hanya Rp. 55.000 per karton (tidak berbeda terlalu jauh dengan di Surabaya), karena ada selisih besar ongkos kirimnya, yaitu Rp. 20.000 per karton.
Satu kontainer bisa diisi dengan 1.100 karton karton Aqua 600ml/1.500 ml, itu berarti bisa menghemat Rp.22.000.000 sebagai ongkos kirim yang pasti dibebankan ke masyarakat konsumen.
Rata-rata kebutuhan masyarakat Fakfak terhadap air minum dalam kemasan sebanyak 30 kontainer per bulan, maka itu berarti bisa menghemat Rp. 660.000.000 per bulan, dan Rp. 7.920.000.000 per tahun, hanya untuk ongkos kirim air minum dalam kemasan itu!
Revisi tersebut sangat mungkin, karena Pasal 2 ayat 7 Keppres tersebut membuka peluang untuk itu:
(7) Jenis Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diubah, berdasarkan usulan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
Pertimbangan lain yang sangat memungkinkan memasukkan air minum kemasan di dalam barang-barang yang boleh dikirim dengan Tol Laut adalah ayat-ayat lain di Pasal 2 Keppres Nomor 71 Tahun 2015 itu, yakni:
Pasal 2
(1) Pemerintah Pusat menetapkan jenis Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
(2) Penetapan jenis Barang Kebutuhan Pokok dilakukan berdasarkan alokasi pengeluaran rumah tangga secara nasional untuk barang tersebut tinggi.
(3) Penetapan jenis Barang Kebutuhan Pokok selain dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga memperhatikan ketentuan:
a. memiliki pengaruh terhadap tingkat inflasi; dan/atau
b. memiliki kandungan gizi tinggi untuk kebutuhan manusia.
(4) Penetapan jenis Barang Penting dilakukan berdasarkan sifat strategis dalam pembangunan nasional.
(5) Penetapan jenis Barang Penting selain dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), juga memperhatikan ketentuan:
a. mendukung program Pemerintah; dan/atau
b. disparitas harga antardaerah tinggi.
Dengan pertimbangan yang kurang-lebih sama, sebaiknya mie instan juga dimasukkan ke dalam daftar barang yang boleh dikirim dengan Tol Laut, karena sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya kebutuhan konsumsi mie instan di Papua juga sangat tinggi, sedangkan disparitas harganya dengan di Pulau Jawa sangat tinggi.
Perbandingan ongkos kirim mie instan antara angkutan laut biasa dengan Tol Laut adalah Rp. 4.000 dibandingkan Rp 9.500 per karton.
Sebagai jalan tengah dari ketentuan pembatasan jenis barang yang boleh dikirim dengan Tol Laut bisa ditempuh dengan cara membuat ketentuan bahwa mie instan boleh dikirim dengan Tol Laut asalkan dimuat dan sebagai tambahan dari muatan Barang Kebutuhan Pokok atau Barang Penting di dalam satu kontainer yang sama. Misalnya, satu kontainer sudah terisi 17 ton beras, karena masih ada ruang kosongnya, maka ruang kosong tersebut boleh diisi dengan mie instan sampai penuh.
Selain alasan-alasan yang paling signifikan tersebut di atas, perlunya direvisi/menambah jumlaj jenis Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting pada Tol Laut adalah dikarenakan selama ini pula, masih terjadi ketidakseimbangan antara kapasitas muat kapal Tol Laut dengan ketersediaan barang yang siap dikirim ke pelabuhan-pelabuhan tujuan.
Sampai April 2016 empat trayek Tol Laut yang sudah dioperasionalkan muatannya tidak pernah penuh, lebih banyak yang kosong.
Sebagai contoh: Trayek T1: Tanjung Perak – Wanci (Wakatobi) – Namlea – Fakfak – Kaimana - Timika pp, yang berlayar pada 21 Januari 2016, yang semula dilayani dengan KM Caraka Jaya Niaga 3-32 hanya terisi 25 TEUs (kontainer) dari kapasitas 115 TEUs. Oleh karena dengan pertimbangan itulah untuk trayek T-1, diganti dengan kapal yang lebih kecil, yaitu KM Primus. Sedangkan KM Caraka Jaya Niaga 3-32 melayani T-5: Makasar-Tahuna-Lirung-Morotai-Tobelo-Ternate-Babang-Ternate pp.
Belum lagi jika saat kapal kembali ke Tanjung Perak/Tanjung Priok, sering kali pulang dengan nyaris tanpa muatan, hal mana tentu merugikan Pelni, sehingga subsidi pada Tol Laut masih besar.
Contoh, di pelabuhan Fakfak, biaya hanya bongkar saja per satu kontainer Rp. 3.000.000! Ini sudah melampui kewajaran tarif, apalagi dikaitkan dengan program Tol Laut.
Cara mengatasinya antara lain dengan adanya pengawasan dari pemerintah terkait tarif, membuka peluang, mempermudah izin, dan insentifikasi yang menarik agar semakin banyak investor/pengusaha yang mau membuka perusahaan ekspedisi muat dan bongkar di pelabuhan-pelabuhan tersebut. *****
** Foto-foto tol laut: Penulis
Artikel terkait:
Mempertanyakan Efektivitas Tol Laut Jokowi
“Dweling Time” di Bintuni, Jokowi Bisa Pingsan
Saya Bilang ke Jokowi, Bapak Harus Blusukan ke Fakfak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H