Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ngaco-nya Artikel Gatot Swandito

30 April 2016   09:38 Diperbarui: 30 April 2016   17:33 4399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maaf, kalau saya harus terus terang mengatakan artikel Gatot Swadito yang berjudul “Soal HGB Sumber Waras, Ahok Benar BPKNgaco” itu sungguh-sungguh ngaco, karena begitu banyak terdapat kesalahan fatalnya.

Beberapa yang saya tanggapi di sini, menunjukkan betapa ngaco-nya data, dasar hukum, dan argumen-argumen yang ditulis Gatot di artikelnya itu.

Gatot mengawali artikelnya dengan mengulangi lagi kontroversi soal lokasi lahan RS Sumber Waras itu: Apakah di Kyai Tapa, atau di Tomang Utara. Seolah-olah hal ini tergantung dari opini, menurut BPK bagaimana, itulah yang benar. Bukti hukum sudah ada, jelas terang-benderang, kok masih pakai “menurut BPK ...”

Kutipan tulisan Gatot Swandito:

“BPK sering menyebut tentang NJOP. Menurut BPK, NJOP lahan SW yang dibeli Pemprov DKI bukan mengacu zona Kyai Tapa karena secara fikik lahan tersebut berada di Jl Tomang.” 

Padahal yang menjadi landasan hukum untuk menentukan lokasi suatu lahan ada di mana adalah dengan melihat sertifikat tanahnya yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan (BPN) setempat.

Sertifikat Tanah lahan yang dibeli Pemprov DKI Jakarta itu dengan jelas dan pasti menyebutkan di Kyai Tapa, demikian juga dasar pengenaan pajak PBB atas lahan tersebut yang tercantum di SPPT PBB-nya adalah di Kyai Tapa, hal ini diperkuat lagi dengan surat penjelasan dari Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta mengenai besaran nilai NJOP di lahan tersebut yang juga merujuk lokasinya di Kyai Tapa.

Tetapi, demi mengacaukan hal yang sudah pasti secara hukum itu, BPK dan para pengikutnya masih saja mempermasalahkan lokasi lahan tersebut, mereka sengaja tetapngotot bin ngeyel menyatakan lokasi lahan itu di Tomang Utara, bukan di Kyai Tapa. Aneh tapi nyata! Dokumen-dokumen hukum sudah memastikan di Kyai Tapa, kok masih bisa ngeyel?

Sertifikat Tanah adalah Bukti Hak dan Sumber Data Hukum yang Terkuat

Sertifikat tanah adalah alat bukti pemegang hak atas tanah yang terkuat, dengan sendirinya semua data yang ada di dalamnya juga pasti benar selama tidak ada pihak yang bisa membuktikan sebaliknya secara hukum.

Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah: Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridisyang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

Perlu juga diketahui bahwa sertifikat tanah itu sesungguhnya merupakan hasil akhir dari suatu proses pendaftaran tanah yang dilakukan BPN, yang berisi data fisik (keterangan tentang letak, batas, bidang tanah, serta bangunan yang ada di atasnya), dan data yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas tanah dan hak-hak pihak lain serta beban-beban (jaminan hutang) yang berada di atasnya).

Dalam proses tersebut BPN turun langsung ke lapangan untuk mendata, mengukur, dan kegiatan lainnya untuk menghimpun data fisik dan yuridis, riwayat tanah, dan lain-lain untuk keperluan dokumen hukum terhadap tanah tersebut sebelum dibuat sertifikatnya.

Data fisik suatu bidang tanah dicatat dalam suatu dokumen yang disebut “Surat Ukur”, dan data yuridis suatu bidang tanah dicatat dalam suatu dokumen yang disebut “Buku Tanah” di kantor BPN kabupaten/kota yang bersangkutan.

Sebuah sertifikat tanah sebenarnya terdiri dari salinan data dari Buku Tanah dan Surat Ukur tentang lahan tersebut.

Demikian pulalah halnya dengan sertifikat untuk lahan RS Sumber Waras tersebut, semua data fisik, maupun yuridis yang tercantum di dalamnya terjamin kebenaran dan kepastian hukumnya yang kuat, sampai ada pihak yang mampu membuktikan sebaliknya menurut hukum.

Sertifikat tanah lahan Sumber Waras yang dilepaskan oleh YKSW kepada Pemprov DKI itu dengan jelas mencantumkan lokasi lahan di Kyai Tapa (sumber: liputan6.com)

gatot-njop-merdeka-5724193f2f97734b059805c3.jpg
gatot-njop-merdeka-5724193f2f97734b059805c3.jpg
Penjelasan dari Dirjen Pajak DKI, juga menyatakan NJOP lahan tersebut di Kyai Tapa dengan NJOP Rp. 20.755.000 (sumber: Merdeka.com)

Seandainya hal itu dilakukan, dan seandainya BPK menang di pengadilan pun, maka Pemprov DKI (Ahok) tetap saja tidak bisa dipersalahkan, karena pembelian tersebut dilakukan dengan niat baik, yakni mengacu pada data yang ada di sertifikat, SPPT PBB, dan NJOP lahan itu.

NJOP Lahan Sumber Waras di Kyai Tapa Tidak Bisa Diganggu-Gugat

Alasan BPK mempermasalahkan lokasi lahan seharusnya di Tomang Raya itu mengacu pada besaran NJOP-nya yang jauh lebih kecil daripada NJOP di Kyai Tapa. Di Kyai Tapa NJOP-nya Rp. 20.755.000 per meter persegi, sedangkan di TomangUtara hanya Rp. 7.440.000 per meter persegi.

Menurut BPK lokasi lahan itu ada di Tomang Utara, oleh karena itu seharusnya Pemprov DKI Jakarta membayar kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) berdasarkan NJOP Tomang Utara, bukan Kyai Tapa. Dengan berketetapan demikian sama saja dengan BPK mengabaikan semua data hukum yang biasanya menjadi bukti paling kuat dalam hukum pertanahan, sebagaimana diuraikan di atas.

Lagipula jika harus dipakai NJOP Tomang Utara, dokumen hukum apakah yang bisa dilandasinya untuk keperluan tersebut? Tidak ada satu pun dokumen hukum yang mencantumkan lokasi lahan itu di Tomang Utara.

Pertanyaannya logisnya: dengan adanya SPPT PBB 2014 yang mencantumkan lokasi obyek pajak di Kyai Tapa, bisakah pemilik lahan itu membayar PBB dengan tidak mengikuti SPPT PBB 2014 itu, melainkan dengan mengikuti NJOP di Tomang Utara? Tentu saja, tidak mungkin, bukan?

Sejak awal mula pun, sebagaimana lazim di mana pun di Indonesia, pemegang hak atau yang menikmati suatu lahan selalu membayar PBB sesuai dengan SPPT PBB lahan tahun yang bersangkutan. Hal ini sudah sangat lumrah, dan memang seharusnya demikian. Tidak pernah terjadi orang membayar PBB tidak berdasarkan SPPT PBB dari lahan yang bersangkutan.

Itu berarti ketetapan lahan RS Sumber Waras berada di Kyai Tapa dan oleh karena itu pembayaran PBB-nya harus berdasarkan NJOP Kyai Tapa tidak bisa lagi diganggu-gugat.

Jadi, kenapa BPK masih terus saja ngeyel NJOP lahan Sumber Waras itu harus mengikuti Tomang Utara?

Harga Tanah Berdasarkan NJOP, Bukan Suatu Kewajiban

Harus pula diingat bahwa NJOP bukan suatu patokan yang wajib digunakan dalam menentukan harga suatu lahan dalam suatu transaksi jual beli, atau transaksi lainnya. Penentuan harga obyek jual beli suatu lahan tergantung kesepakatan para pihak. Kebetulan untuk sebagian lahan RS Sumber Waras, Pemprov DKI dengan pihak YKSW bersepakat bahwa harga lahan yang dilepas kepada Pemprov DKI itu sama dengan NJOP 2014.

Kenapa YKSW mau melepaskan HGB atas lahannya itu dengan nilai yang sama dengan NJOP (2014), padahal sebelumnya PT Ciputra Karya Utama (CKU) mau membelinya dengan harga di atas NJOP (2013)?

Karena YKSW berpikir bahwa lahan mereka itu sulit laku (padahal mereka sedang butuh dana segar), mengingat peruntukan lahan itu hanya untuk keperluan sosial, seperti rumah sakit. Dengan peruntukannya itu tidak mungkin lahan tersebut bisa dijual kepada pihak swasta untuk keperluan komersial. Buktinya, CKU akhirnya membatalkan ikatan jual beli yang sudah dilakukan karena tidak mendapat izin perubahan peruntukannya menjadi mall atau apartemen dari Pemprov DKI.

Merupakan “berkah” bagi YKSW ketika Pemprov DKI menyatakan minatnya kepada lahan yang tidak jadi dibeli CKU itu (untuk membangun rumah sakit kanker), meskipun dengan syarat harganya sama dengan NJOP 2014. Karena dengan harga itu saja pihak YKSW sudah memperoleh keuntungan besar dengan melonjaknya NJOP 2014 dibandingkan dengan NJOP 2013.

Perlu ditegaskan di sini bahwa yang memutuskan menaikkan NJOP 2014 DKI Jakarta itu adalah Jokowi yang ketika itu adalah Gubernur DKI Jakarta. Alasan Jokowi menaikkan NJOP DKI 2014 adalah ingin PBB menjadi sektor pajak daerah yang menjadi unggulan Pemprov DKI.

Jokowi memutuskan mengubah besaran NJOP karena selama empat tahun, NJOP tidak naik. Besaran NJOP yang tetap dalam empat tahun tidak sesuai dengan fakta bahwa harga pasar sudah melonjak cukup signifikan (sumber).

Lebih lanjut tentang NJOP dapat dibaca sumber ini sebagai referensinya.

Hal ini perlu ditegaskan agar jangan lagi ada fitnah bahwa yang menaikkan NJOP 2014 itu adalah Ahok, dengan niat jahat, yaitu supaya menguntungkan pihak YKSW.

Saat terjadi kesepakatan jual-beli yang diikat dengan ikatan jual-beli pada 14 November 2013 antara pihak YKSW dengan pihak CKU, lahan tersebut disepakati dengan harga Rp. 15,5 juta per meter persegi, yang berarti juga di atas NJOP 2013 yang ketika itu Rp. 12,195 juta.

Dari ikatan jual-beli tersebut terlihat jelas bahwa harga lahan itu mau dilepas YKSW kepada CKU dengan harga Rp. 15,5 juta per meter persegi, jadi apakah masuk akal, setahun kemudian saat harga tanah naik drastis, harga lahan itu justru mau diturunkan YKSW menjadi separohnya, mengikuti NJOP 2014 versi BPN, saat hendak dilepas kepada Pemprov DKI?

Dengan luas lahan 36.441 meter persegi, maka harga seluruh lahan yang harus dibayar CKU kepada YKSW adalah Rp. 564 miliar. Tetapi karena lahannya tidak bisa diubah peruntukannya sampai 3 Maret 2014, maka sesuai dengan perjanjian antara kedua belah pihak, perjanjian ikatan jual-beli tersebut batal demi hukum, uang panjar Rp 50 miliar yang sudah dibayarkan CKU sebagai panjar pun dikembalikan oleh YKSW.

Sedangkan saat dilakukan pelepasan hak oleh YKSW kepada Pemprov DKI Jakarta pada 2014, NJOP lahan itu sudah melonjak drastis dari Rp. 12,195 juta menjadi Rp. 20,755 juta per meter persegi, sehingga harga yang harus dibayar Pemprov DKI kepada pemilik lahan (YKSW) adalah Rp. 755 miliar. Tentu saja keuntungan dari selisih nilai NJOP itu saja sudah lebih dari cukup bagi pihak YKSW, tidak perlu lagi menaikkan harga lahannya itu sampai di atas NJOP.

Jika YKSW bersikukuh dengan harga lahannya itu di atas NJOP 2014, kemungkinan besar (Pemprov DKI (Ahok) tidak jadi membeli lahan itu. Kalau Pemprov tidak mau beli, siapakah yang diharapkan mau membelinya, mengingat peruntukan lahan tersebut tidak boleh untuk kepentingan komersial (bisnis).

Lazimnya Orang Menjual Tanahnya di Atas NJOP, Bukan Sebaliknya

Lazimnya pemilik lahan atau pemegang hak atas tanah menjual tanahnya di atas NJOP, apalagi di perkotaan, dan di lokasi yang strategis. Hampir tidak pernah ada cerita pemegang hak atas tanah menjual tanahnya sama atau bahkan di bawah NJOP, kecuali pemegang hak atas tanah itu berjiwa sosial dan mau menyumbangkan tanahnya itu dengan menjualnya sangat murah, atau orang itu tidak pernah mengenal jual-beli tanah, sehingga dengan lugunya dia menjual tanahnya itu justru di bawah NJOP.

Oleh karena itu saya merasa aneh, ketika membaca pernyataan Gatot Swandito di artikelnya itu bahwa lazimnya pemegang hak atas tanah menjual tanahnya di bawah NJOP! Entah dari mana sumbernya, sampai dia menulis begitu.

Kutipan tulisan Gatot Swandito:

Begitu juga dengan HGB, dengan NJOP SW Rp 20.7 juta per M2, apakah harga HGB SW juga Rp 20.7 juta per M2? Lazimnya, di bawah Rp 20.7 juta. Tapi, kalau Pemprov DKI mau membelinya seharga NJOP juga tidak masalah. Hanya saja patut dipertanyakan, kenapa Pemprov mau membelinya dengan harga NJOP?

...

“Karena lazimnya HGB SW dijual sekian persen dari NJOP, maka seharusnya Pemprov DKI tidak perlu mengeluarkan koceknya sampai Rp 755 milyar. Lazimnya lebih rendah dari Rp 755 milyar. Dengan demikian kerugian negara pun seharusnya bukan Rp 191 milyar atau Rp 173 milyar. ...”

Jika Gatot menyampaikan pernyataan ini kepada orang yang mengerti dan biasa berkecimpung dalam jual-beli tanah, mereka pasti akan menertawainya, sebagaimana ketika Ahok pernah menyinggung hal ini di hadapan para pengusaha real estate (pengembang properti) saat membuka Rakerda Real Estate Indonesia (REI) DKI Jakarta, di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, 1 Desember 2015.

"Coba tanya nih sama orang REI, di Jakarta ada enggak harga tanah di tengah kota, matang, siap bangun, dijual sesuai harga NJOP? Ada yang mau jual enggak tuh orang REI? Pengembang?" tanya Ahok.

Spontan para pengembang properti itu tertawa mendengar pertanyaan Ahok itu. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) REI Eddy Hussy juga  tertawa,  "Hahaha, enggak ada," jawabnya.

"Lutanya saja sama mereka, REI, ada enggak orang mau jual tanah di Jakarta, siap bangun, peruntukkannya sudah cocok, dijual NJOP? Ini sudah ada pengusaha, mungkin salah satu anggota REI juga mau beli RS Sumber Waras sama saya," kata Ahok lagi, yang lagi-lagi disambut gelak tawa para pengusaha properti itu (sumber).

“Bukan Jual-Beli Biasa”, Negara Tak Bisa Punya HGB

Direktur Umum Rumah Sakit Sumber Waras Abraham Tedjanegara mengatakan perjanjian antara YKSW dengan Pemprov DKI Jakarta bukan perjanjian jual-beli tanah. "Yang ditandatangani bukan (akta) jual-beli, tapi pengalihan hak atau pelepasan hak," ucapnya di ruang pertemuan RS Sumber Waras, Jakarta Barat, Sabtu, 16 April 2016.

Abraham menjelaskan, akta pengalihan hak dibuat karena badan hukum yang menjual tanah adalah yayasan. Sedangkan pembelinya adalah Pemprov DKI Jakarta. "Jadi ini bukan jual-beli biasa,” katanya.

Apa artinya ini?

Artinya, YKSW sebagai suatu badan hukum (yayasan) menguasai lahan tersebut berdasarkan hak atas tanah yang disebut Hak Guna Bangunan (HGB), ketika lahan itu hendak dialihkan kepada Pemprov DKI Jakarta, maka transaksinya tidak bisa dilakukan dengan perjanjian jual-beli tanah, karena status Pemprov DKI Jakarta adalah negara, sedangkan negara tidak bisa punya hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA.

Yang boleh mempunyai HGB adalah:

  • WNI, dan
  • Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 36 ayat 1 UUPA).

Sedangkan negara tidak bisa mempunyai HGB. Dengan demikian maka tidak bisa terjadi peralihan HGB dari YKSW kepada Pemprov DKI Jakarta. Maka itu, tidak bisa pula dilakukan perjanjian jual-beli tanah HGB itu antara para pihak.

Jadi, agar tanah itu bisa beralih kepada Pemprov DKI Jakarta,  yang harus dilakukan adalah YKSW melepaskan haknya atas HGB tersebut (dengan Akta Pelepasan HGB), sehingga tanah itu kembali menjadi tanah negara, dan bisa dikuasai sepenuh oleh Pemprov DKI Jakarta. Sebagai kompensasinya, untuk pelepasan hak itu para pihak sepakat Pemprov DKI membayar YKSW senilai luas lahan dikalikan NJOP 2014 lahan tersebut.

Ini adalah jawaban atas pernyataan Gatot Swandito yang mengatakan pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI itu bermasalah karena hanya WNI dan badan hukum Indonesia yang didirikan di Indonesia yang boleh mempunyai HGB. Rupanya, Gatot mengira, transaksi yang dilakukan itu adalah transaksi jual-beli dengan peralihan HGB dari YKSW kepada Pemprov DKI Jakarta.

Hak Menguasai dari Negara

Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat oleh UUD 1945 diberi hak menguasai atas bumi (tanah), air, dan ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Pasal 2 UUPA menentukan:

(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Jadi, dengan hak menguasai atas tanah yang ada padanya, dan berdasarkan hukum tanah yang berlaku, negaralah yang berwenang memberi hak atas tanah (Hak Milik, HGB, HGU, Hak Pakai) sesuai peruntukannya kepada pihak-pihak yang berhak dan memenuhi syarat untuk memperoleh suatu hak atas tanah (subyek hukum hak atas tanah), tetapi negara sendiri tidak mempunyai hak atas tanah tersebut selain hak menguasai sebagaimana tersebut di Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA tersebut di atas.

Hak-hak atas tanah tersebut dapat saja berakhir dan kembali menjadi tanah negara apabila tidak terpenuhinya lagi syarat-syarat tertentu, seperti habis jangka waktunya dan tidak diperpanjang (kecuali hak milik), dilepaskan oleh pemegang haknya secara sukarela dengan alasan tertentu, dan sebab-sebab lainnya.

Pada konteks kasus lahan RS Sumber Waras itu, sesuai dengan kesepakatan para pihak, YKSW sebagai pemegang HGB dengan sukarela melepaskan HGB-nya agar bisa kembali dikuasai oleh negara (Pemprov DKI Jakarta), dan sebagai imbalannya Pemprov DKI membayar kepada YKSW senilai luas lahan dikalikan harga NJOP 2014, atau sama dengan Rp 755 miliar itu.

“HGB-nya Sisa Dua Tahun Lagi, Negara ‘kan Bisa Dapat Kembali Tanahnya dengan Gratis?”

Lalu, ada yang punya pikiran jahat, dan karena ketidaktahuannya malah menuduh Ahok yang berniat jahat, berkata: “Kan jangka waktu HGB yang dipegang oleh YKSW itu sisa dua tahun lagi (sampai dengan 26 Mei 2018), kenapa Ahok (Pemprov DKI) tidak tunggu saja jangka waktu itu berakhir, lalu tidak memperpanjang lagi HGB itu, maka dengan demikian otomatis, tanah itu kembali menjadi tanah negara, dikuasai kembali oleh Pemprov DKI Jakarta dengan gratis, tidak keluar satu sen pun!”

Seperti yang sudah kita ketahui, jangka waktu HGB itu adalah 30 tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun lagi, pertanyaannya adalah dapatkah “pikiran jahat” tersebut di atas dilaksanakan oleh Pemprov DKI Jakarta? Yaitu, dengan sengaja mendiamkan saja tanah tersebut sampai habis masa berlaku HGB-nya, lalu tidak lagi memperpanjang HGB-nya (meskipun pasti itu dimohonkan oleh pemegang haknya). Setelah tak diperpanjang HGB-nya, otomatis tanah itu kembali menjadi tanah negara, maka Pemprov DKI pun mendapat lahan dari YKSW itu pun dengan cuma-Cuma?

Ahok mengaku ada pertanyaan seperti itu yang berasal dari salah satu penyidik KPK yang diacurigai sebagai orang dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DKI Jakarta.

Pertanyaan seperti itu juga sudah cukup lama beredar di dunia maya, bahkan disertai dengan analisa dan tudingan bahwa kenyataan HGB sisa dua tahun lagi itu membuktikan kecerobohan dan adanya niat jahat pada Ahok, yang merugikan negara: Bisa dapat gratis, kok bayar sampai Rp 755 miliar!

Analisa dan kesimpulan itu pula yang ditulis oleh Gatot Swandito di artikelnya tersebut.

Atas pertanyaan itu, Ahok bilang kepada wartawan, dia menjawabnya begini: "Ooooo...gitu ya? Kalau gitu Republik kita kaya raya, Pak. Karena hampir semua pabrik, sertifikat apapun di Indonesia atas nama PT, termasuk sawit, semua tambang semua apapun, itu pakai HGB dan HGU, ada masa selesai. Kalau diterjemahkan selesai ini, kita ambil balik, kaya kita, Pak. Kaya, Pak! Itu siapa yang ngajarin gitu,Pak? UU-nya Bapak baca, gak?"

Dengan kata lain sebenarnya Ahok ingin mengatakan bahwa, negara/pemerintah tidak bisa seenaknya saja (sewenang-wenang) menolak permohonan perpanjangan suatu hak atas tanah, jika tidak punya dasar hukum dan alasan hukum yang sangat kuat.

Dan, sepanjang pemegang hak atas tanah itu masih waras, ia tidak mungkin tidak memperpanjang hak atas tanahnya yang sudah hampir berakhir. Jika pemerintah nekad asal menolak saja perpanjangan hak atas tanah tersebut semata-mata agar tanah itu kembali dikuasai negara secara cuma-cuma, maka sudah pasti negara akan digugat oleh pemegang haknya, dan sudah pasti pula negara akan kalah.

Jika cara seperti itu dilakukan, maka tidak ada jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak dan investor yang tinggal dan menjalankan usaha, dan investasinya di atas tanah-tanah di Indonesia.

Sepanjang semua persyaratan dipenuhi oleh pemegang HGB, negara/pemerintah wajib memenuhi permohonan perpanjangan atau pembaruan HGB tersebut.

Adapun syarat-syarat perpanjangan atau pembaruan HGB itu adalah sebagai berikut (Pasal 26 PP Nomor 40 Tahun 1996):

  • Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;
  • Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
  • Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak, yaitu merupakan WNI atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
  • Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan pemerintah setempat;
  • Untuk HGB yang berasal dari tanah hak pengelolaan diperlukan persetujuan dari pemegang hak pengelolaan.

Sepanjang semua persyaratan tersebut dipenuhi oleh pemegang HGB, negara tidak dapat menolak permohonan perpanjangan atau permohonan pembaruan HGB-nya.

HGB Sangat Tak Bisa Disamakan dengan Sewa-Menyewa Biasa

Dalam artikelnya itu Gatot Swandito dengan gampangnya menyamakan HGB dengan sewa-menyewa biasa, bahkan menganaloginya dengan sewa-menyewa ruko!

Inilah kesalahan yang paling ngaco alias paling fatal di antara kesalahan-kesalahan Gatot lainnya.

Gatot Swandito menulis:

“Gampangnya, HGB adalah menyewa tanah. Itulah kenapa pada sertifikat tertulis “NAMA JALAN/PERSIL” Persil artinya sewa. Kedua, masih berdasarkan sertifikat masa berlaku HGB sampai dengan 26 Mei 2018.”

Entah Gatot Swandito dapat pengetahuan dari mana, dengan mengartikan “persil” yang tertulis di sertifikat tanah itu dengan “sewa”. “Persil” bukan artinya “sewa.”

Persil yang disebut di suatu sertifikat tanah itu menunjukkan tentang sebidang tanah dengan ukuran dan dengan jenis hak atas tanah tertentu yang dimaksudkan di sertifikat itu. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “persil” adalah: sebidang tanah dengan ukuran tertentu (untuk perkebunan atau perumahan).

Tidak hanya HGB, di sertifikat Hak MIlik pun disebut sebagai persil. Jadi, semakin tak mungkin “persil” itu artinya “sewa”.

Sekarang sebutan tersebut di sertifikat tanah sudah diganti dengan “Letak Tanah”.

gatot-hak-milik-kaskus-57240e601293733a1a8b2593.jpg
gatot-hak-milik-kaskus-57240e601293733a1a8b2593.jpg
Pada sertifikat tanah Hak Milik, juga menggunakan istilah "persil". Arti "persil" bukan "sewa"

HGB Tidak Bisa Dibandingkan dengan Sewa-Menyewa

Gatot Swandito menulis:

Aturan tentang HGB ada pada UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No 40 Tahun 1996. Kalau membaca dua aturan itu soal HGB ini tidak njlimet-njlimet amat. Cukuo mudah. Karena tidak banyak bedanya dengan aturan sewa-menyewa sebagaimana umumnya.

Sama dengan sewa-menyewa lainnya, HGB bisa diperpanjang. 

...

Yang dimaksud Gatot Swandito dengan sewa-menyewa di sini, tentu sewa-menyewa tanah dengan bangunan di atasnya.

HGB dengan sewa-menyewa tanah dengan bangunan di atasnya (selanjutnya disebut “sewa-menyewa”) sangat berbeda, dan tidak bisa dibanding-bandingkan, apalagi dibilang mirip. Keduanya mempunyai esensi hukum yang sangat berbeda, antara lain:

  • HGB dengan tegas diatur secara spesifik di peraturan-perundangan khusus pertanahan (UUPA dan turunannya), -- sedangkansewa-menyewatunduk pada Buku III KUHPerdata (Perikatan), Bab VII, Bagian 1-4 tentang Sewa-Menyewa, yang pada Bagian 4-nya (Pasal 1588-1600) terdapat ketentuan khusus mengenai sewa-menyewa tanah;
  • HGBmerupakan hak atas tanah, -- sedangkan sewa-menyewa bukan merupakan hak atas tanah;
  • Baik HGB atas tanah negara/pengelolaan yang diperoleh dengan keputusan Menteri Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk, maupun HGB atas Hak Milik wajib didaftarkan di Buku Tanah di Kantor Badan Pertanahan setempat, demikian juga dengan perpanjangan dan pembaruannya -- sedangkan sewa-menyewa tidak memerlukan pendaftaran seperti itu;
  • Pemberian HGB di atas Hak Milik wajib dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan wajib didaftarkan di Buku Tanah di Kantor Pertanahan setempat, -- sedangkan sewa-menyewa dapat dilakukan di bawah tangan, atau di hadapan notaris (bukan PPAT), dan tidak perlu didaftarkan;
  • HGB dapat dijaminkan dalam hutang-piutang dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat, -- sedangkan sewa-menyewatidak bisa dipakai sebagai jaminan hutang;
  • Yang boleh memperoleh HGB adalah WNI dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia, -- sedangkan dalam sewa-menyewa, penyewanya bisa saja WNA, atau badan hukum asing yang membuka cabang/perwakilan di Indonesia;
  • Semua peralihanHGBakibat dari jual-beli, tukar-menukar, penyertaan modal, hibah,  dan warisan wajib dibuat dengan akta otentik di hadapan PPAT, dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat, -- sedangkan pada sewa-menyewa meskipun dalam teorinya bisa dialihkan, tetapi dalam prakteknya sangat jarang penyewa diizinkan pemilik tanah untuk menyewakan lagi kepada pihak ketiga. Jika ini diizinkan pun, peralihan sewa-menyewa itu dapat dilakukan di bawah tangan, maupun di hadapan notaris.

Dengan sejumlah perbedaan esensi hukum dan akibat-akibat hukum yang sangat substantif itu, jelaslah sudah HGB dan sewa-menyewa tanah tidak bisa dibanding-bandingkan, apalagi dibilang mirip.

HGB sangat tidak bisa dianalogikan dengan sewa ruko, sebagaimana disebut oleh Gatot Swandito yang menulis:

Kemudian, orang yang menyewa ruko pastinya akan memperpanjang sewanya kalau usahanya di ruko tersebut menguntungkan. Sebaliknya, kalau merugi pastinya ia tidak akan meneruskan sewanya.

Pemengang HGB itu boleh dikatakan juga menginvestasi tanah, terutama sekali HGB yang diperoleh dari negara, jangka waktunya umumnya 30 tahun, dengan jaminan pasti bisa diperpanjang 20 tahun lagi selama semua persyaratan pemegang haknya masih ada. Setelah 20 tahun perpanjangan itu berakhir, dia masih punya hak lagi untuk mengajukan pembaruan hak.

Sedangkan sewa-menyewa ruko itu umumnya untuk menjalankan bisnis, usaha, atau kantornya, jadi lebih pada pemanfaatan ruko itu sendiri, bukan tanahnya. Jangka waktu sewa-menyewa rukopun pada umumnya berkisar antara 2-5 tahun, paling lama 10 tahun, dengan tidak ada jaminan akan mau diperpanjang lagi oleh pemilik ruko selama itu tidak dicantumkan di dalam akta perjanjiannya.

Sewa-menyewa ruko juga bisa dilakukan di bawah tangan, atau di hadapan notaris. Sedangkan HGB wajib di hadapan PPAT (bukan notaris), dan harus didaftrakan di Buku Tanah kantor pertanahan setempat.

Gatot Swandito menulis:

“Katakanlah YKSW pailit lantas menjual HGB-nya kepada pihak lain sebelum 26 Mei 2016. Transaksi HGB kepada pihak lain sah menurut UU. Sebab HGB bisa diserahterimakan kepada pihak lain dengan cara jual beli, hibah, tukar guling, dll. Asalkan, ada persetujuan tertulis dari pemilik lahan. Itu sama saja dengan orang yang menyewa ruko selama 10 tahun dan pada tahun ke 8, hak sewa itu dijual kepada pihak lain.”

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang (UU Kepailitan) menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang dinyatakan pailit, seketika itu juga tidak lagi punya hak lagi untuk mengurus, termasuk melakukan transaksi dalam bentuk apapun dengan pihak ketiga terhadap hartanya yang masuk dalam kepalitan.

Jadi, jika YKSW dinyatakan palit, tidak mungkin lagi dia bisa menjual tanahnya yang bersertifikat HGB itu kepada siapapun.

Pasal 21 UU Kepailitan: Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.

Pasal 24 ayat (1) Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

Semua harta kekayaan yang berada di dalam kepailitan berada di bawah kepengurusan kurator yang diangkat dalam keputusan kepailitan tersebut. Kurator dapat dari Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

Demikian dari ulasan dari saya. Semoga bermanfaat. *****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun