Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ngaco-nya Artikel Gatot Swandito

30 April 2016   09:38 Diperbarui: 30 April 2016   17:33 4399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi memutuskan mengubah besaran NJOP karena selama empat tahun, NJOP tidak naik. Besaran NJOP yang tetap dalam empat tahun tidak sesuai dengan fakta bahwa harga pasar sudah melonjak cukup signifikan (sumber).

Lebih lanjut tentang NJOP dapat dibaca sumber ini sebagai referensinya.

Hal ini perlu ditegaskan agar jangan lagi ada fitnah bahwa yang menaikkan NJOP 2014 itu adalah Ahok, dengan niat jahat, yaitu supaya menguntungkan pihak YKSW.

Saat terjadi kesepakatan jual-beli yang diikat dengan ikatan jual-beli pada 14 November 2013 antara pihak YKSW dengan pihak CKU, lahan tersebut disepakati dengan harga Rp. 15,5 juta per meter persegi, yang berarti juga di atas NJOP 2013 yang ketika itu Rp. 12,195 juta.

Dari ikatan jual-beli tersebut terlihat jelas bahwa harga lahan itu mau dilepas YKSW kepada CKU dengan harga Rp. 15,5 juta per meter persegi, jadi apakah masuk akal, setahun kemudian saat harga tanah naik drastis, harga lahan itu justru mau diturunkan YKSW menjadi separohnya, mengikuti NJOP 2014 versi BPN, saat hendak dilepas kepada Pemprov DKI?

Dengan luas lahan 36.441 meter persegi, maka harga seluruh lahan yang harus dibayar CKU kepada YKSW adalah Rp. 564 miliar. Tetapi karena lahannya tidak bisa diubah peruntukannya sampai 3 Maret 2014, maka sesuai dengan perjanjian antara kedua belah pihak, perjanjian ikatan jual-beli tersebut batal demi hukum, uang panjar Rp 50 miliar yang sudah dibayarkan CKU sebagai panjar pun dikembalikan oleh YKSW.

Sedangkan saat dilakukan pelepasan hak oleh YKSW kepada Pemprov DKI Jakarta pada 2014, NJOP lahan itu sudah melonjak drastis dari Rp. 12,195 juta menjadi Rp. 20,755 juta per meter persegi, sehingga harga yang harus dibayar Pemprov DKI kepada pemilik lahan (YKSW) adalah Rp. 755 miliar. Tentu saja keuntungan dari selisih nilai NJOP itu saja sudah lebih dari cukup bagi pihak YKSW, tidak perlu lagi menaikkan harga lahannya itu sampai di atas NJOP.

Jika YKSW bersikukuh dengan harga lahannya itu di atas NJOP 2014, kemungkinan besar (Pemprov DKI (Ahok) tidak jadi membeli lahan itu. Kalau Pemprov tidak mau beli, siapakah yang diharapkan mau membelinya, mengingat peruntukan lahan tersebut tidak boleh untuk kepentingan komersial (bisnis).

Lazimnya Orang Menjual Tanahnya di Atas NJOP, Bukan Sebaliknya

Lazimnya pemilik lahan atau pemegang hak atas tanah menjual tanahnya di atas NJOP, apalagi di perkotaan, dan di lokasi yang strategis. Hampir tidak pernah ada cerita pemegang hak atas tanah menjual tanahnya sama atau bahkan di bawah NJOP, kecuali pemegang hak atas tanah itu berjiwa sosial dan mau menyumbangkan tanahnya itu dengan menjualnya sangat murah, atau orang itu tidak pernah mengenal jual-beli tanah, sehingga dengan lugunya dia menjual tanahnya itu justru di bawah NJOP.

Oleh karena itu saya merasa aneh, ketika membaca pernyataan Gatot Swandito di artikelnya itu bahwa lazimnya pemegang hak atas tanah menjual tanahnya di bawah NJOP! Entah dari mana sumbernya, sampai dia menulis begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun