Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

“Pasal Selundupan” di Draf Revisi Peraturan KPU untuk Jegal Ahok?

20 April 2016   09:08 Diperbarui: 20 April 2016   09:22 6343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapakah yang mempunyai inisiatif tiba-tiba “menyusupkan” ketentuan kewajiban menggunakan meterai di setiap formulir pendukung calon perorangan di draf revisi Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 itu? Apakah itu inisiatif KPU sendiri? Tetapi, bukankah KPU sendiri mengharapkan pilkada serentak di 2017 itu harus berjalan dengan cepat, efektif, efesien, dan berbiaya seminimal mungkin? Ketentuan tentang wajib formulir dukungan bermeterai itu tentu akan menjadikan pilkada lewat jalur perorangan itu tidak murah, tidak efektif dan efesien.

Jika meterainya harus ditanggung oleh pihak calon pasangan perorangan, tentu akan memberatkan juga bagi yang bersangkutan. Untuk pilkada DKI Jakarta, dengan harus memenuhi minimal 532.000 dukungan, berarti calon pasangan perorangan itu harus menyediakan paling sedikit hanya untuk meterai anggaran sebesar 532.000 x Rp. 6.000 = Rp. 3.192.000.000.

Jika Teman Ahok berhasil mengumpulkan satu juta lebih KTP dukungan, maka dana yang harus disipakan untuk meterai saja menjadi lebih dari Rp. 6 miliar!

Padahal tanpa meterai pun, bukankah KPU pasti akan melakukan juga klarifikasi langsung kepada satu per satu pemilik KTP dukungan itu?

Keberadaan ketentuan “penyusupan” tersebut antara lain dipublikasikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, yang sekaligus mempertanyakan alasan KPU tiba-tiba mengadakan ketentuan itu.

Setelah keberadaan ketentuan itu diketahui publik, barulah KPU menyatakan akan menghapus ketentuan tersebut dari draf revisi.  Ketentuan menggunakan meterai hanya diwajibkan pada surat pernyataan dukungan per desa/kelurahan saja. Hal itu dipastikan oleh Komisioner KP Hadar Nafis Gumay di aula KPU, Selasa, 19 April 2016, katanya: "KPU telah putuskan bahwa penggunaan meterai itu cukup per desa saja."

Kalau bukan KPU yang punya inisiatif mengadakan ketentuan konyol tersebut, lalu siapa?

Maka, patut kita curigai bahwa diam-diam ada pihak lain lawan Ahok yang telah berupaya mengintervensi KPU dengan menyisipkan ketentuan yang berpotensi membuat Ahok gagal maju melalui jalur perorangan itu.

Ini diduga kuat merupakan salah satu cara yang sangat tak patut dari sekian cara menghalalkan segala cara haram dari para lawan Ahok, yang sudah nyaris frustrasi dan kalap untuk menemukan formula yang tepat menjatuhkan dan menggagalkan Ahok untuk meneruskan jabatan gubernurnya lewat pilkada DKI 2017, setelah mereka memastikan bahwa melawan Ahok lewat cara-cara yang bersih dan sportif merupakan hal yang sia-sia, karena pasti kalah telak dari Ahok.

Maka itulah segenap sumber kekuatan pun mulai mereka kerahkan, termasuk dengan mengerahkan kubu mereka di DPR-RI untuk ikut mengintervensi berbagai kasus di Provinsi DKI Jakarta, setelah DPRD DKI Jakarta pun tak berdaya melawan Ahok.

Partai-partai politik di DPR pun rela melakukan deparpolisasi, dengan ikut campur tangan dalam urusan yang sebenarnya merupakan kewenangan Pemprov DKI Jakarta dengan partnernya di DPRD DKI Jakarta, yaitu ikut melawan Ahok lewat semakin mempolitisasi kasus hukum pembelian RS Sumber Waras dan reklamasi pantai utara Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun