Memang kalau itu alasannya, pasti itu alasan yang dicari-cari. Karena Ahok hanya ada di Bareskrim Polri sampai dengan pukul 10:45, dan langsung kembali ke Balai Kota.
Alasan pembatalan sidang paripurna itu baru dijelaskan oleh Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik pada 1 Maret 2016, alasannya adalah ada dua pasal dari Raperda Zonasi tersebut yang harus dibahas ulang lagi, karena ternyata ada perubahan.
Diketahui bahwa dua pasal yang dimaksud adalah pasal mengenai perizinan, dan mengenai kontribusi yang wajib dipenuhi pengembang reklamasi. Kedua pasal itulah yang alot diperdebatkan antara pihak Ahok (Pemprov DKI) dengan DPR DKI.
Yang pertama adalah Pasal Perizinan, diatur di Pasal 103 Raperda. Pemprov DKI telah menetapkan bahwa izin pemanfataan ruang dan pelaksanaan reklamasi harus dari Gubernur, sedangkan DPRD DKI menghendaki Raperda Tata Ruang hanya mengatur pemanfaatan tata ruang, bukan pelaksanaan. Perdebatan tersebut berakhir dengan terjadi kata sepakat bahwa izin pemanfatan ruang dan pelaksanaan reklamasi harus dari Gubernur.
Yang kedua, Pasal 111, yang mengatur tentang kontribusi (tambahan). Dari Pemprov DKI menentukan tambahan konstribusi sebesar 15 persen x NJOP x luas lahan yang dijual. Sedangkan DPRD DKI menghendaki tambahan kontribusi adalah kontribusi yang dapat diambil denganmengkonversi dari kontribusi (5 persen) yang diatur dengan perjanjian kerjasama antara Gubernur dengan pengembang.
Untuk ketentuan ini tidak ada kata sepakat antara Pemprov DKI dengan DPRD DKI. Keduanya bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing.
Berkaitan dengan ketentuan inilah yang diduga kemudian menjadi masalah besar dengan tertangkap tangannya Ketua Komisi D DPRD DKI, Mohammad Sanusi, yang juga Ketua Fraksi Partai Gerindra, pada 31 Maret malam lalu. Diduga penurunan kontribusi menjadi 5 persen itu merupakan pesanan dari pihak pengembang yaitu PT Agung Podomoro Land (APL), yang diakomodasi oleh Mohammad Sanusi dan kawan-kawan.
Disebut "dan kawan-kawan", karena dapat dipastikan bukan hanya M Sanusi, tetapi juga beberapa koleganya di DPRD DKI yang ikut terlibat di dalam kasus ini.
Bahkan jika disimak dari penjelasan Ahok, pada 2 April 2016, yang mengatakan bahwa selama pembahasan Raperda itu beberapakali Sekretaris Daerah membisikinya bahwa ada pesan dari Badan Legislasi DPRD DKI agar Ahok setuju dengan angka kontribusi tambahan yang 5 persen itu., dengan ancaman jika tidak disetujui DPRD DKI tidak akan  mengesahkan Raperda tersebut.
Menurut Ahok, ia dengan tegas menolak permintaan tersebut, meskipun ada ancaman DPRD DKI yang tidak akan mengesahkan Raperda itu.
Dan, Ketua Badan Legislasi DPRD DKI itu bukan lain adalah Mohammad Taufik, kakak kandung dari Mohammad Sanusi. Jadi, patut diduga Taufik punya peran penting dalam pengusulan penurunan angka kontribusi 5 persen itu, yang bisa jadi juga merupakan pesanan dari pihak APL.