[caption caption="Face Book Suryo Prabowo"]
Jika Ahok dianggap arogan, lalu kenapa harus semua etnis Tionghoa yang menanggung akibatnya, dibantai, dijarah, seperti kerusuhan Mei 1998?
Inilah strategi politik rezim Orde Baru di bawah kuasa diktator Soeharto dahulu, yang kerap mengorban etnis Tionghoa demi maksud dan tujuan politik tertentu, dengan menciptakan dan memelihara sentimen anti-Cina, yang masih tersisa sampai sekarang.
Jika ada suatu tujuan tertentu, atau ada persoalan negara yang berpotensi melemahkan kekuasaannya, maka salah satu cara untuk mengatasinya dilakukan dengan merekayasakan suatu bentrokan antara individu pribumi dengan Tionghoa. Lalu, datanglah provokar-provokator yang memanas-manasi situasi sampai meletuskan kerusuhan besar anti-Cina di kota tersebut.
Maka tak heran di masa kekuasaan Orde Baru, hanya gara-gara sepele, seperti senggolan, cekcok mulut antarwarga berlainan etnis itu, dengan mudah memicu kerusuhan anti-Cina, yang melumpuhkan satu kota selama beberapa hari berturut-turut. Satu Cina diangap salah, semua Cina harus menanggung akibatnya. Orang-orangnya dianiaya, toko-tokonya dijarah dan dibakar. Itulah lazim terjadi di era Orde baru, yang mencapai puncaknya di Jakarta, pada Mei 1998 (kerusuhan Mei 1998), yang ironisnya diikuti dengan jatuhnya rezim Soeharto.
Begitu rezim Soeharto jatuh, era reformasi dimulai, sejak itu pula wawasan masyarakat banyak pun semakin terbuka, dan maju. Demokrasi pun semakin berkembang. Semakin banyak rakyat yang bisa menerima perbedaan yang ada di masyarakat, baik itu perbedaan etnis, agama, bahasa, budaya, maupun lainnya. Semua dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, selaras dengan dasar negara Pancasila.
Satu hal yang tampak nyata adalah begitu rezim Soeharto tumbang, sejak saat itulah sampai sekarang tidak pernah ada lagi kerusuhan anti-Cina, di kota mana pun. Semangat anti-Cina memang masih ada di dalam sebagian masyarakat, tetapi sudah tidak sampai meletuskan kerusuhan-kerusuhan anti-Cina sebagaimana lazim terjadi di era kekuasaan Presiden Soeharto.
Jangan Pandang Remeh
Sekarang, lawan-lawan politik Ahok, yang sudah kehabisan daya dan akal untuk mengalahkan Ahok secara fair, sebagian darinya tampaknya hendak menghidupkan kembali semangat sentimen anti-Cina seperti di era Orde Baru, agar bisa dimanfaatkan demi kekuasaan sebagaimana diterapkan oleh rezim Soeharto dahulu.
Meskipun pilkada DKI 2017 masih sekitar 10 bulan lagi, tetapi karena pemanasannya sudah dimulai dari sekarang, dengan terus memperlihatkan fenomena dukungan terhadap Ahok semakin lama semakin kuat, maka senjata provokasi SARA pun mulai digunakan oleh lawan-lawan tertentu Ahok.
Salah satunya dari kubu Yusril Ihza Mahendra, yang dimuali oleh adiknya, yang adalah Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Yusron Ihza Mahendra, dengan kicauan rasisnya di akun Twitter-nya sebagaimana disebutkan di atas itu.
Provokasi rasis Yusron itu bisa saja ditafsirkan sebagai suatu strategi terselubung yang ditujukan kepada warga DKI Tionghoa untuk tidak memilih Ahok, nanti di pilkada DKI 2017 mendatang. Warga DKI Tionghoa ditanam rasa takutnya sejak sekarang, supaya tidak memilih Ahok, karena jika memilih Ahok yang arogan itu, maka silakan tanggung risikonya, yaitu jika pribumi marah, maka akan meletus kerusuhan anti-Cina seperti yang terjadi di kerusuhan Mei 1998 itu.