Berbeda dengan sekarang, GMT di kala itu disambut pemerintah, yang diikuti oleh rakyat, sesuai dengan perintah pemerintah, dengan penuh ketegangan dan ketakutan, seolah-olah dunia hendak kiamat. Seruan dan perintah disebarkan melalui media cetak, radio, dan TVRI yang ketika itu merupakan stasiun televisi satu-satunya di Indonesia. Isinya masyarakat dilarang melihat GMT secara langsung, karena akan menyebabkan kebutaan total dan permanen, orang-orang diperintahkan tinggal di rumah saja, menonton GMT dari TVRI saja, ada pula perintah celah-celah yang ada di rumah, yang bisa membuat cahaya matahari masuk, harus ditutup.
Lebih konyol lagi, seruan agar mata hewan-hewan peliharaan juga harus ditutupi, karena GMT akan merusak mata mereka semua!
Seruan dari pemerintah itu sumber utamanya datang dari Menteri Penerangan Harmoko, yang saat itu dikenal juga sebagai seorang menteri penjilat Soeharto yang paling kentara. Hampir semua pernyataannya, selalu diikuti dengan frasa “Menurut petunjuk Bapak Presiden, ...”
[caption caption="(gentaloka.com)"]
Demikian juga dengan saat mengumumkan perintah itu, kata dia, menurut petunjuk Bapak Presiden ... agar masyarakat tidak keluar rumah, dan tidak menyaksikan GMT secara langsung dari mana pun. Masyarakat hanya diperbolehkan melihat GMT lewat siaran langsung TVRI.
Anggota Polri dan TNI pun melakukan patroli dan razia. Di Jawa Timur, mereka menyita puluhan alat teropong yang akan digunakan masyarakat untuk melihat GMT. Beberapa astronom dan turis asing di beberapa lokasi juga tak terhindar dari razia saat hendak melihat GMT dengan berbagai peralatan yang mereka bawa dari negaranya. Mereka diusir dari lokasi itu, dengan alasan, sesuai instruksi pemerintah, dilarang melihat GMT secara langsung.
[caption caption="(detik.com)"]
Maka fenomena ironis dan konyol pun terjadi, ketika ribuan orang asing dengan penuh antusias jauh-jauh dari dari negaranya berdatangan ke Indonesia untuk melihat GMT, tuan rumah, rakyat Indonesia sendiri dibuat ketakutan oleh pemerintahnya, dan disuruh bersembunyi di rumahnya masing-masing.
Tidak cukup sampai di situ, rumah-rumah sakit pemerintah di wilayah-wilayah lintasan GMT juga diperintahkan siaga satu untuk berjaga-jaga jika ada limpahan pasien karena melihat GMT.
Sikap pemerintah di kala itu sepertinya tak berbeda jauh dengan mitos dan takhayul rakyat tentang GMT yang disebutkan di atas itu.
Memang, bukan tak ada yang mengkritik sikap pemerintah yang terlalu berlebihan itu, terutama dari kalangan akademisi, tetapi itu sangat sedikit, nyaris tak ada yang berani. Salah satu yang sedikit berani itu adalah dari Universitas Gadjah Mada dari Pusat Penelitian dan Studi Lingkungan Hidup (PPSLH), yakni Dr Salahuddin Jalal Tanjung dan Dr Sugeng Martopo. Mereka menganggap pemerintah terlalu berlebihan menyikapi datangnya GMT.