[caption caption="Oom Pasikom (Koran Kompas, Sabtu, 5/3/2016)"][/caption]Presiden Jokowi mengingatkan para menterinya agar tidak meributkan kebijakan yang belum diputuskan. Dengan nada tinggi dan beberapa kali penekanan, Presiden mengatakan para menteri tidak berhak mendahuluinya dalam memutuskan kebijakan tertentu.
"Jangan meributkan sesuatu yang belum tuntas, yang belum saya putuskan. Ini kan sebuah pekerjaan besar," katanya setelah meninjau persiapan Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam di Jakarta Convention Center, Jumat, 4 Maret 2016.
Jokowi yang sabaran sampai menunjukkan ekspresi kemarahan secara terbuka seperti itu menunjukkan hal yang memicu kemarahannya itu sudah terlalu melewati batas. Sebelumnya, awal Desember 2015 lalu, Jokowi juga pernah marah secara terbuka seperti ini, ketika menghadapi kasus rekaman percakapan “papa minta saham,” yang melibatkan Ketua DPR ketika itu Setya Novanto, dan pengusaha pertambangan Muhammad Riza Chalid.
Kali ini yang memicu kemarahan Jokowi adalah perilaku dari beberapa menterinya, yang kerap berselisih paham dan berpolemik secara terbuka, sampai-sampai saling sindir dan saling ejek di ranah publik, media massa, dan media sosial.
Padahal, sudah beberapakali Jokowi perintahkan dan ingatkan kepada mereka untuk menahan diri, boleh berdebat dan berpolemik sengit di rapat kabinet, tetapi jangan sampai dibawa ke luar ruang rapat kabinet, apalagi di media massa.
Faktanya, beberapa menteri itu bukan saja membawa polemik itu ke media massa, tetapi juga di media sosial, bahkan sampai saling sindir dan saling ejek, lengkap dengan gambar meme-nya.
[caption caption="Twitter"]
Kelakuan-kelakuan yang mengingatkan kita kepada anak-anak kecil saat sedang bermain, bertengkar, lalu saling ejek, saling menjulurkan lidahnya, satu terhadap yang lain. Jadi, rupanya, bukan hanya di DPR saja ada anak-anak TK, tetapi juga di Kabinet Kerjanya Presiden Jokowi.
Seperti berpolemiknya Menko Kemaritiman Rizal Ramli dengan Menteri ESDM Sudirman Said, mengenai proyek pembangkit listrik 35.000 MW, dalam polemik ini Rizal juga bahkan sempat menantang secara terbuka kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk berdebat dengannya di hadapan publik tentang mega proyek yang sebetulnya sudah diputuskan oleh Jokowi itu.
Polemik antara Rizal Ramli dengan Menteri BUMN Rini Soemarno, mengenai rencana pembelian sejumlah pesawat Boing A350 oleh Garuda Indonesia; polemik antara Rizal Ramli dengan Sudirman Said, mengenai perpanjangan kontrak Freeport; polemik antara Menteri Pertanian Amri Amran Sulaiman dengan Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengenai impor beras; polemik antara Menteri BUMN Rini Soemarno dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengenai kereta api cepat Jakarta-Bandung; dan yang terakhir, polemik lagi-lagi antara Rizal Ramil dengan Sudirman Said, kali ini mengenai rencana pembangunan kilang gas alam cair di Lapangan Gas Abadi, Masela, Maluku.
Kumulatif dari rangkaian ulah kekanak-kanakan para menterinya itulah yang membuat Jokowi berang. Puncaknya adalah perdebatan terbuka antara Rizal Ramli dengan Sudirman Said mengenai pembangunan kilang gas alam cair di Blok Masela itu. Sudirman mendukung pembangunan kilang gas alam lepas pantai, floating liquefied natural gas (offshore), sedangkan Rizal ngotot pembangunan kilang tersebut harus di darat (onshore).
Dilihat dari rangkaian polemik terbuka yang akhirnya membuat Jokowi berang itu, menteri yang paling dominasi adalah Rizal Ramli. Dia yang punya lawan terbanyak. Ia berpolemik dengan beberapa menteri sekaligus, dengan Sudirman Said lebih dari satu masalah, dengan Rini Soemarno, bahkan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang nota bene adalah atasannya, belum lagi dihitung polemiknya dengan RJ Lino, ketika Lino masih menjabat sebagai Direktur Utama PT Pelindo II mengenai kebijakan pengelolaan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Selain itu, Rizal Ramli juga pernah bikin heboh publik dengan pernyataan yang menuding bahwa ada mafia pulsa listrik di PLN, yang ternyata tidak terbukti, dia salah dalam cara memperhitungkan transaksi pembelian dan pemakain pula oleh pelanggan PLN itu. Setelah pihak PLN mengklarifikasikannya, Rizal Ramli tak pernah berkomentar lagi.
Polemik terakhir yang merupakan polemik pamungkas pemicu reaksi marah Jokowi adalah polemik Rizal Ramli dengan Sudirman Said mengenai rencana pembangunan kilang gas alam cair di Lapangan Gas Abadi, Masela, Maluku.
Siapakah yang dimaksud Presiden Jokowi dengan “menteri yang mendahuluinya dalam mengambil kebijakan tertentu”?
Meskipun Jokowi menggunakan kalimat jamak, yaitu “para menteri”, dari pemberitaan beberapa media, dapat disimpulkan bahwa fokus utama kemarahan Jokowi itu sebenarnya ditujukan kepada Rizal Ramli, karena dialah yang menciptakan kegaduhan-kegaduhan tersebut.
Dalam rapat kabinet terbatas yang diadakan pada awal Februari lalu, Rizal Ramli dengan Sudirman Said kembali terlibat perdebatan seru mengenai opsi mana yang paling tepat dalam pembangunan kilang gas alam cair di Blok Masela itu, Rizal membawa data untuk memperkuatkan argumennya bahwa opsi onshore (di darat) yang paling tepat, sebaliknya Sudirman Said juga mengemukakan datanya untuk membuktikan opsi offshore-lah (di laut) yang paling tepat.
Setelah rapat usai, Jokowi meminta perdebatan selesai sampai di ruang rapat saja, jangan dibawa sampai ke luar, apalagi di media. Ketika keluar dari ruang rapat itu, saat wartawan bertanya kepadanya, Sudirman tidak mau berkomentar, dia bilang, “Presiden berpesan, jangan lagi berpolemik.”
Sumber dari Istana mengatakan bahwa Jokowi berencana mengumumkan keputusan tentang Blok Masela sepulangnya dari kunjungan ke Amerika Serikat. Belum sempat keputusan itu diumumkan, pada Senin, 22 Februari 2016, Rizal Ramli membuat pernyataan mendahului Presiden Jokowi.
Melalui rilis resmi Kementerian Koordinator MKemaritiman dan Sumber Daya Nomor 16/II/2016, Rizal mengklaim bahwa Presiden menginginkan pembangunan kilang gas Lapangan Abadi Blok Masela di darat. “Pertimbangannya, pemerintah memperhatikan multiplier effect serta percepatan pembangunan ekonomi Maluku” (sumber).
Presiden Jokowi terkejut oleh rilisan tersebut, itulah sebabnya, keesokan harinya, Juru Bicara Presiden, Johan Budi, segera mengumumkan bahwa sampai saat ini Presiden belum memutuskan metode pembangunan Blok Masela apakah di laut (off shore) ataukah di darat (on shore).
"Presiden masih mengkaji seluruh aspek Proyek Masela. Mengingat besaranya skala dan kompleksitas proyek gas blok Masela, keputusan harus dibuat dengan sangat berhati hati," kata Johan Budi dalam keterangan tertulisnya itu (sumber).
Sebenarnya, masalah utama terkait proyek gas alam cair itu sudah bukan lagi masalah apakah pembangunan kilang gasnya dengan skema onshore ataukah offshore yang akan dilaksanakan, karena keputusan mengenai hal tersebut, sebenarnya, pada Desember 2010 (di masa pemerintahan Presiden SBY), sudah disepakati antara pihak Inpex dengan pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yaitu skema kilang terapung (offshore)-lah yang akan dibangun, dengan kapasitas 2,5 juta metrik ton per tahun.
Pada September 2015, Inpex mengajukan perubahan plan of development (POD) dari semula 2,5 juta itu ke 7,5 juta metrik ton per tahun, tetap dengan menggunakan skema kilang terapung (offshore). Proposal permohonan menaikkan kapasitas produksi sampai tiga kali lipat inilah yang dijadikan masalah oleh Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli.
Pada kesemptan itulah, pada Oktober 2015, Rizal mempersoalkan juga perencanaan pembangunan kilang dengan skema offshore, yang sebenarnya sudah disepakati itu. Ia memeinta SKK Migas mengkaji ulang proposal tersebut karena pembangunan kilang dengan skema offshore itu merupakan suatu pemborosan, seharusnya yang dibangun adalah kilang dengan skema onshore.
Di sinilah awal dari polemik sengit dan berkepanjangan antara Rizal dengan Sudirman. Rizal mengaku hitung-hitungannya tersebut berdasarkan perhtitungan yang telah dilakukan oleh Tim Fortuga (Forum Tujuh Tiga) – kumpulan alumnus angkatan 1973 Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sedangkan dari pihak Ikatan Alumnus ITB sendiri pernah membantah pengakuan Rizal itu 23 Desemebr 2015).
"Banyak alumni yang keberatan, tidak semua alumni ITB mendukung Rizal Ramli. Kalangan alumni ITB pun paling tidak ada dua sudut pandang mengenai Blok Masela," kata Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni ITB, Betti Alisjahbana (sumber).
Polemik antara Rizal dengan Sudirman itu melahirkan dua kubu menteri yang berkaitan dengan proyek di Blok Masela itu, beberapa menteri mendukung Rizal, beberapa lainnya mendukung Sudirman. Hal ini, membuat Sudirman menangguhkan persetujuannya terhadap proposal peningkatan produksi dari Inpex itu.
Sebagai jalan tengah, Kementerian Energi bersama SKK Migas menunjukkan konsultan independen internasional. Tujuannya agar ada masukan yang netral dari pihak profesional. Pemerintah akhirnya memilih Poten & Partners, konsultan energi dan transportasi asal Inggris, untuk mengevaluasi ulang skema pengembangan Masela, dan memberi kesimpulan dan sarannya.
Kesimpulan hasil studi Poten & Partners disampaikan pada 23 Desember 2015, pada intinya sama dengan perhitungan dari pihak Inpex Corporation bahwa opsi lepas pantai (offshore) untuk menggembangkan gas Blok Masela lebih menguntungkan.
Dalam rapat kabinet terbatas seminggu kemudian, pihak Rizal Ramli tetap menolak hasil studi yang disampaikan oleh Poten & Partners itu, maka perdebatan dan polemik antara dia dengan Sudirman Said pun berlanjut.
Jadi, mubazirlah uang negara yang dipakai untuk menyewa Poten & Partners itu, yang pasti juga tidak murah, karena hasil studi mereka ternyata tak terpakai. Kalau begitu, untuk apa pemerintah buang-buang duit untuk menyewa mereka?
Polemik antara Rizal Ramli dengan Sudirman Said saat ini terhenti (untuk sementara), karena adanya teguran keras dan amarah Presiden Jokowi itu, tetapi tentu saja tidak cukup sampai di sini, kemungkinan besar kelak mereka akan melakukan hal yang sama. Presiden Jokowi diharapkan untuk segera bertindak dengan ketegasan lebih lanjut, bila perlu, pecat saja menteri(-menteri) pembuat gaduh itu. Paling tidak, kemarahan Jokowi itu seharusnya merupakan peringatan terakhir bagi mereka semua.
Jika kemudian ada lagi menteri seperti itu, maka dengan meminjam jurus "Rajawali Ngepret" dari Rizal Ramli, Jokowi copot saja menteri seperti itu, kalau Rizal Ramli sendiri yang berulah, pakai saja jurus "Menendang Rajawali Ngepret." *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H