Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, Sistem hukum di Indonesia menganut dasar dari Eropa Kontinental. Sedangkan negara-negara “tax haven”, seperti Kepulauan Virgin Britania Raya, Cayman Island, atau Swiss itu, menggunakan sistem hukum dengan dasar dari Anglo-Saxon. Ini menyulitkan penegak hukum ketika akan mengeksekusi atau menarik kembali dana yang ditempatkan di negara-negara tersebut.
Hal itu dibenarkan Direktur Upaya Hukum, Eksekusi, dan Eksaminasi pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ahmad Djainuri. Eksekusi aset terpidana korupsi merupakan hal yang paling sulit dilakukan, apalagi jika aset tersebut berada di luar wilayah Indonesia. Hal ini yang sering kali membuat lambatnya penyelamatan uang negara oleh penegak hukum.
”Tim eksekusi sering kewalahan dengan eksekusi aset meski sudah mengantongi putusan pengadilan. Pertama, jika asetnya sudah berpindah tangan ke pihak ketiga. Kedua, nilai aset tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti. Terakhir, yang paling rumit saat uang atau asetnya ada di luar negeri,” ujar Djainuri.
Pencegahan aliran dana pun tak mudah untuk para koruptor. Selama yang bersangkutan belum ditetapkan sebagai tersangka atau tak terikat dengan putusan berkekuatan hukum tetap, tindakan yang dilakukannya, termasuk menitipkan dana ke luar negeri, tak dapat dilarang.
Sedangkan, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, belum disahkannya RUU Perampasan Aset membuat penegakan hukum atas aset pelaku kejahatan tidak efektif. Aset dari kejahatan korupsi, penyelundupan, narkoba, dan kejahatan lainnya masih bisa "bergerak" ke mana-mana, termasuk ke luar negeri. Penjahat yang dipenjara pun bisa menggerakkan kejahatan baru dengan menggunakan asetnya yang tidak dirampas.
"Pertama, RUU ini penting karena mengatur pembuktian terbalik sehingga pejabat yang dicurigai harus bisa membuktikan asal-usul asetnya. Kedua, perampasan aset bisa dilakukan tanpa putusan pengadilan. Misalnya orang lari ke luar negeri, tetapi aset di mana-mana, negara (sekarang) tidak bisa klaim kalau tidak ada putusan hukum. Dalam konteks perampasan aset, itu bisa dilakukan," katanya.
Efektif untuk Memiskinkan Koruptor
Fakta-fakta tersebut di atas seharusnya lebih dari cukup untuk mendorong DPR berinisiatif untuk memprioritaskan pembahasan RUU Perampasan Aset tersebut, dengan maksud untuk menutup serapat-rapatnya peluang para penjahat, termasuk para koruptor mengamankan, dan mengirim dana hasil kejahatannya ke luar negeri, khususnya ke negara-negara “tax haven” tersebut di atas.
Selain itu, dengan adanya UU Perampasan Aset tersebut, juga bisa menutup peluang para penjahat itu, termasuk koruptor untuk menggunakan dana hasil kejatan mereka itu membayar pengacara termahal membela mereka, melawan negara.
Sudah merupakan rahasia umum dan fakta yang ironis bahwa selama ini, para penjahat itu, termasuk para koruptor itu justru menggunakan uang hasil korupsinya itu, yang sejatinya uang negara yang meraka garong itu, untuk membayar pengacara-pengacara mahal membela meraka.
Jadi, mereka, para koruptor itu, sudah menggarong uang negara, ketika tertangkap, uang negara itulah yang mereka pakai untuk membayar pengacara-pengacara termahal di negeri ini, untuk melawan negara, supaya mreka bisa bebas dari jerat hukum, atau dihukum seringan-ringannya, sedangkan aset hasil korupsinya tetap aman, tak tersentuh. Sehingga bisa digunakan untuk melakukan kejahatan lainnya, pencucian uang, dan sebagainya. Pokoknya setelah keluar dari penjara nan singkat itu, mereka pun sudah menjadi orang yang kaya-raya turun-temurun, yang juga bisa digunakan sebagai mahar politik untuk menjadikan mereka sebagai kepala daerah, atau pejabat tinggi negara lainnya.
Untuk menghentikan dan mencegahkan fenomena ironis itu terus berlanjut, maka itulah sangat penting dibahas dan diundangkan Undang-Undang tentang Perampasan Aset tersebut.