Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sampai di Mana Keberanian Jokowi Diuji?

16 Februari 2016   17:18 Diperbarui: 16 Februari 2016   17:29 1784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Banyak yang menyampaikan Presiden Jokowi tidak tegas, tidak berani. Mana ada tidak tegas, tidak berani sampai menenggelamkan 107 kapal. Masalah narkoba, ada yang bilang tidak tegas, tidak berani, tetapi fakta satu tahun sudah ada yang dihukum mati 14 orang. Kami membubarkan Petral, kalau tidak diperintah mana menterinya berani. Kalau itu saya anggap benar , tidak ada kata tidak berani.”

Itulah penggalan dari pidato Presiden Jokowi yang diucapkan saat berpidato pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I PDI Perjuangan yang digelar di JI Expo Kemayoran, Jakarta Utara, Minggu (10/1/2016).

Hal itu disampaikan Jokowi untuk membantah sinyalemen sejumlah pihak yang menganggap dia adalah Presiden yang tidak berani dan tegas dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis tertentu.

Namun, bagi saya, ada yang kurang dari ucapan Presiden Jokowi itu untuk membuktikan lagi keberanian dan ketegasannya di bidang yang lain, yang di pidato itu tidak disebutkan. Yaitu, ketegasan dan keberaniannya dalam menolak revisi UU KPK.

Kenapa Jokowi tidak mengatakan juga, “Masalah revisi UU KPK, ada yang bilang, tidak tegas, tidak berani, faktanya …” saya menulis hanya dengan titik-titik, karena memang untuk yang ini belum ada faktanya.

Jokowi bilang, “Kalau itu saya anggap benar , tidak ada kata tidak berani.”

Pertanyaannya, mana yang dianggap benar oleh Jokowi, revisi UU KPK sebagaimana yang dikehendaki DPR, atau menolak revisi sebagaimana dikehendaki rakyat.

"Gerombolan" di DPR dengan Keculasannya

Sesungguhnya revisi UU KPK itu tidak lebih dari akal culas para musuh KPK di DPR, untuk semaksimal mungkin melumpuhkan KPK. Sebenarnya mereka ingin sekalian saja membunuh, atau membubarkan KPK, terbukti dari sempatnya dibuat draf perubahan yang menentukan usia KPK hanya 12 tahun sejak UU itu kelak diundangkan. Tetapi, karena begitu besarnya penolakan dari masyarakat, mereka terpaksa “mengalah” sedikit, dengan menghilangkan ketentuan tersebut.

Padahal, KPK adalah satu-satunya lembaga pemberantasan korupsi yang paling dipercaya rakyat, karena selama ini pula dengan kewenangan luar biasa yang ada pada dirinya, KPK sukses menangkap dan memenjarakan banyak pelaku kejahatan luar biasa itu, yang sebagian besar adalah kader partai politik, termasuk anggota DPR sendiri.

Apa yang disebut “revisi” dalam konteks ini, seharusnya dibaca identik dengan upaya sejumlah gerombolan di DPR itu untuk semata-mata melumpuhkan KPK.

Dengan sangat terang-benderang, sangat kelihatan dari 4 poin utama yang ingin gerombolan di DPR ubah dari UU KPK itu memang adalah upaya untuk melumpuhkan KPK, agar kelak KPK tidak lagi punya senjata andalan untuk menangkap koruptor. Sekaligus sebuah langkah antisipasi, barangkali, untuk melindungi diri mereka sendiri kelak.

Sebutan “gerombolan” yang saya pakai bagi mereka di parlemen yang begitu ngotot ingin melumpuhkan KPK, bukan sebutan yang berlebihan. Karena perilaku mereka sama sekali tidak mencerminman perilaku anggota parlemen yang sejati. Mana ada di dunia ini, para anggota parlemen secara bersama-sama begitu gigih melawan aspirasi rakyat untuk melumpuhkan sebuah institusi penegak hukum yang justru selama ini sudah terbukti berprestasi besar memenjarakan para penyamun dan perampok berjas dan berdasi itu.

KPK adalah lembaga penegak hukum yang sangat bisa diandalkan Jokowi untuk menyukseskan salah satu poin terpenting di dalam Nawacita-nya, yaitu pemberantasan korupsi secara maksimal.

 

"Kejahatan Terselubung"

Jadi, sangat mengherankan benar, ketika sampai sekarang, menjelang persetujuan pembahasan RUU perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK di DPR -- yang sebenarnya hanya merupakan kamuflase upaya keras pelumpuhan terhadap KPK itu, Presiden Jokowi belum juga menunjukkan ketegasan dan keberaniannya untuk menghentikan niat busuk, yang sejatinya merupakan suatu “kejahatan terselubung” para anggota Dewan itu.

Padahal, sikap tegas dan berani Presiden Jokowi inilah, kini, satu-satunya cara terakhir dan paling menentukan, apakah upaya pelumpuhan KPK oleh gerombolan-gerombolan di parlemen itu akan berjalan sukses ataukah tidak.

Saya sebutkan upaya pelumpuhan KPK itu sebagai “kejahatan terselubung”, karena bukankah suatu aksi melumpuhkan KPK agar tidak bisa lagi secara maksimal, efektif dan efesien menangkap para penggarong uang rakyat, sehingga mereka bisa semakin leluasa melakukan korupsi, sehingga merugikan negara secara besar-besaran itu, sesungguhnya memang suatu kejahatan itu sendiri?

Bisakah polisi bekerja secara maksimal menangkap para penjahat, jika senjata apinya, borgolnya, diambil darinya? Demikian juga dengan KPK, bisakah KPK bekerja maksmimal menangkap koruptor jika “senjata-senjata” andalannya, seperti kewenangan melakukan penyadapan, direduksi sampai sedemikian rupa sehingga benar-benar menjadi tidak lagi efektif dan efesien?

Sebagai contoh, seandainya saja, kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan sudah diubah sesuai draf yang sekarang ada, maka dengan terlebih dahulu harus mendapat izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan, maka hampir pasti KPK akan kehilangan momen menyadap dan tak bakal bisa menangkap tangan Andry Setyawan, Kepala Sub Direktorat Pranata Perdata Mahkamah Agung, dengan sejumlah barang bukti berupa sejumlah uang suap yang baru diterimanya dari seorang pengusaha, sebagaimana baru-baru ini sukses dilakukannya kepada yang bersangkutan.

Sebagaimana diketahui, empat poin utama yang sudah menjadi tekad bulat DPR melakukan perubahan terhadap UU KPK itu adalah tentang kewenangan penyadapan KPK harus dengan izin tertulis Badan Pengawas; tentang Dewan Pengawas, yang bertugas mengawasi dan dapat menjatuhkan sanksi administrasi kepada Pimpinan KPK; tentang penyelidik dan penyidik KPK yang harus direkrut dari Kepolisian dan Kejaksaan; dan tentang wewenang KPK untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Sebenarnya, masih ada satu lagi, yaitu kewenangan KPK yang dibatasi hanya boleh menangani kasus korupsi bernilai di atas Rp 25 miliar. Tetapi, 4 poin tersebut di atas yang dipertahankan DPR untuk mengubah UU KPK tersebut.

Keberanian Jokowi Sampai di Mana?

Semua poin rancangan perubahan itu jelas-jelas merupakan poin-poin pelumpuhan terhadap KPK. Semua pengamat sudah mengatakan hal itu, siapapun pemerhati kasus ini sangat paham terhadap hal itu. Bagaimana bisa DPR malah mengatakan poin-poin itu memperkuat KPK, kalau itu semuanya itu malah membuat KPK kehilangan kekuatan untuk memangkap para koruptor?

Jadi, sekali lagi pertanyaan ini diajukan: Apa yang membuat Jokowi masih belum juga menunjukkan kepastian sikapnya, keberanian, dan ketegasannya terhadap upaya pelumpuhan KPK melalui mekanisme revisi UU KPK itu?

Kenapa sampai sekarang, Jokowi masih terus membiarkan wakil pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk terus membahas, bahu membahu dengan fraksi-fraksi pendukung revisi UU KPK, untuk semakin maju ke arah kepastian disetujuinya pembahasan revisi UU KPK itu?

Seolah-olah pemerintah atau Jokowi sendiri pun akhirnya akan mendukung revisi yang akan melumpuhkan KPK Apakah ini dikarenakan sesungguhnya ada suatu kekuatan besar, yang berkepentingan dengan pelumpuhan KPK ini, yang mampu menaklukkan keberanian, dan ketegasan Jokowi?

Apakah ini ada kaitannya dengan fakta bahwa PDIP-lah yang menjadi pelopor utama dari revisi yang idem ditto dengan pelumpuhan KPK itu? Oleh karena itu, sepertinya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, lebih berpihak kepada kehendak revisi UU KPK itu, daripada kepada Presiden Jokowi yang tampaknya masih belum berani menunjukkan ketegasan sikapnya terhadap hasrat besar perevisian UU KPK itu.

Jokowi boleh saja mengklaim dirinya, berani dan tegas terhadap kasus kapal-kapal asing ilegal yang sudah 107 buah diledakkan; berani dan tegas dalam kasus narkoba, dengan menghukum mati 14 napi narkoba; berani dan tegas membubarkan Petral. Tetapi, giliran revisi UU KPK, belum berani dan tegas?

Cara Pemerintah Menolak Revisi UU KPK

Cara pemerintah menolak revisi UU KPK, sehingga demikian rencana melakukan revisi itu pasti batal, karena syarat untuk membahas suatu rancangan Undang-Undang harus dilakukan pihak DPR bersama-sama dengan pemerintah, tidak bisa salah satu pihak saja, sudah dikemukakan oleh beberapa pakar Hukum Tata Negara, di antaranya Refly Harun.

Refly mengajukan dua cara, yakni, pertama, Jokowi tak perlu mengirimkan perwakilan pemerintah untuk membahas RUU KPK bersama DPR. Kedua, Jokowi menyatakan penolakannya dalam pengambilan keputusan tingkat akhir di DPR nanti.

Sedangkan Saldi Irsa, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Fakultas Hukum Universitas Andalas, di artikelnya yang berjudul “Memperkuat Pelemahan KPK”, di Koran Kompas, Senin, 15/2/2016, mengajukan tiga cara yang bisa ditempuh Presiden Jokowi untuk mengakhiri niat perevisian UU KPK itu.

Pertama, melakukan konsolidasi semua partai politik pendukung pemerintahan Jokowi untuk menolak rencana revisi UU KPK.

Kedua, memastikan menteri yang mewakili pemerintah di DPR harus satu pemikiran dengan Jokowi, yaitu bahwa revisi hanya dbisa diterima jika sungguh-sungguh memperkuat KPK. Langkah pertama, daftar inventarisasi masalah (DIM) yang dibuat pemerintah harus mengarah pada menolak substansi revisi yang dimuat dalam rancangan yang diajukan DPR.

Ketiga, kalau pembahasan antara pemerintah dan DPR terus berlangsung, maka sesuai Pasal 20 Ayat (3) UUD 1945, Presiden harus memastikan pemerintah menolak memberikan persetujuan bersama. Jika mengikuti alur dan logika "persetujuan bersama" dalam Pasal 20 Ayat (3) UUD 1945, dalam hal menteri yang mewakili presiden menolak memberikan persetujuan bersama, maka persetujuan tak akan terjadi. Artinya, dengan tidak mendapat persetujuan bersama, revisi UU No 30/2002 tak akan pernah memasuki tahap pengesahan oleh presiden.

Berdasarkan penjelasan tersebut dan mengikuti logika posisi Presiden di dalam proses pembahasan rancangan undang- undang, publik masih memiliki harapan bahwa revisi UU No 30/2002 akan kandas di tengah jalan.Kuncinya, Presiden Jokowi harus istikamah dengan janji mendukung penguatan KPK.

Jokowi di Barisan Mana?

Saldi Irsa menutup artikelnya tersebut dengan menulis: "Kita baru khawatir jika naskah yang dihasilkan Badan Legislasi DPR dimaknai Jokowi bukan sebagai bentuk pelemahan KPK. Kalau itu terjadi, Jokowi akan berada dalam barisan yang memperkuat pelemahan KPK."

Jika itu yang akhirnya terjadi, ironisme akbar terjadilah, yaitu justru di era pemerintahan Presiden Jokowi, KPK akhirnya berhasil dilumpuhkan secara formal legal, sekaligus merupakan kemenangan telak koruptor atas negara. *****

 

Sumber gambar: tempo.co

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun