Di artikel saya yang baru saja saya tulis di Kompasiana, kemarin (Kamis, 17/12/2015) dengan judul Skenario Terselubung di Balik Mundurnya Setya Novanto, antara lain saya menyebutkan salah satu skenario di balik mundurnya Setya Novanto dari jabatannya sebagai ketua DPR itu adalah dia akan diberi peluang untuk menjabat sebagai salah satu ketua alat kelengkapan DPR lainnya, sebagai pengganti jabatan Ketua DPR yang telah lepas dari tangannya itu.
Analisa saya itu terbukti benar, hanya sehari setelah menyatakan dirinya mundur sebagai Ketua DPR, Setya Novanto langsung dikasih jatah kursi Ketua Fraksi Partai Golkar, menggantikan Ade Komarudin. Sedangkan Ade sendiri diplot menggantikan Setya sebagai Ketua DPR. Jadi, mereka dua bertukar tempat.
Keputusan Golkar (yang super cepat) ini membuktikan bahwa partai ini benar-benar tidak menghargai etika. Etika bagi partai ini bukan sesuatu yang penting. Keputusan Golkar itu sekaligus membuktikan secara terang-benderang bahwa apa yang dinyatakan oleh tiga orang wakilnya di MKD itu: Ridwan Bae, Adies Kadir, dan Kahar Muzakir, Rabu kemarin itu, betul-betul suatu aksi sandiwara picisan yang sangat vulgar untuk menipu rakyat.
Tiga anggota MKD dari Golkar pada Rabu kemarin (16/12) itu menyatakan Setya Novanto terbukti melakukan pelanggaran etik berat, tetapi belum genap 24 jam berlalu. Partainya sendiri langsung memutuskan Setya Novanto diangkat menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar.
Dari awal sampai akhir persidangan MKD itu memang sudah jelas terlihat tiga anggota dari Golkar ini hanyalah pemain sandiwara murahan yang aktingnya sangat buruk dengan niatnya yang lebih buruk lagi, tetapi apa yang kemudian diputuskan partainya untuk Setya Novanto itu benar-benar suatu manuver yang sangat kasar dan kotor. Bagaimana bisa kadernya yang sudah dinyatakan sendiri terbukti melakukan pelanggaran etik berat, malah dijadikan Ketua Fraksinya.
Ini sebenarnya kelanjutan dari skenario yang dimainkan MKD untuk menyelamatkan Setya Novanto. Seperti yang saya sebut di tulisan saya tersebut di atas, meskipun Setya sudah menyatakan dirinya mundur dari ketua DPR, seharusnya sidang MKD itu tetap dilanjutkan, untuk dituntaskan dengan suatu keputusan sanksi apa yang dijatuhkan kepadanya.
Tanpa keputusan MKD itu status Setya itu mengambang, apakah dia secara sah telah dinyatakan bersalah dan oleh karenanya dijatuhi suatu sanksi, tidak jelas. MKD diduga memang sengaja membiarkan status Setya seperti itu. Agar dengan demikian Setya tetap bisa menjadi ketua dari salah satu alat kelengkapan DPR, yang sekarang sudah terwujud, yaitu diadiangkat partainya menjadi Ketua Fraksi di DPR.
Seandainya MKD melanjutkan sidangnya itu sudah pasti keputusannya adalah Setya terbukti melakukan pelanggaran etik sedang atau berat diikuti dengan sanksi kepadanya. Karena semua dari 17 anggota MKD itu sudah menyatakan Setya terbukti melakukan pelanggaranetik sedang/berat. Hanya menunggu “vonis” MKD sebagai suatu lembaga “peradilan etik” DPR, tak kemudian ternyata tak pernah ada.
Jika itu dilakukan MKD, maka status Setya menjadi jelas dan pasti di DPR, yaitu sebagai pelaku pelanggaran etik berat, sehingga tidak layak lagi menjadi Ketua DPR, maupun ketua alat kelengkapan lain apapun di DPR. Itulah yang sebetulnya justru ingin dihindari MKD, sesuai dengan skenarionya.
Karena tidak ada keputusan MKD terhadap kasusnya itu, maka secara formal, tidak ada yang menyatakan secara sah bahwa Setya itu bersalah, dan juga tidak ada sanksi apapun yang dijatuhkan kepadanya. Jadi, secara logika-formal tidak ada yang dilanggar ketika Golkar malah langsung mengangkatnya menjadi Ketua Fraksi Golkar di DPR.
Ketua MKD Surahman Hidayat menyatakan di sidang MKD itu bahwa karena teradu (Setya Novanto) sudah mengundurkan diri, maka sidang MKD tidak perlu lagi dilanjutkan, merupakan suatu pelanggaran berat terhadap UU MD 3 2014, khususnya Pasal 127, yang berbunyi: