Pengaduan pelanggaran terhadap anggota DPR tidak dapat diproses apabila teradu:
- meninggal dunia;
- telah mengundurkan diri; atau
- telah ditarik keanggotaannya oleh partai politik.
Yang disebut Pasal itu adalah proses tidak dapat dilanjutkanMKD jika anggota DPR meninggal dunia, telah mengundurkan diri, dan telah ditarik keanggotaannya oleh partai politik. Sedangkan yang terjadi pada kasus Setya ini adalah dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR, statusnya sebagai anggota DPR tetap ada.
Harus juga diingat bahwa meskipun menyatakan dirinya mundur dari ketua DPR, Setya tidak pernah, termasuk di surat pengunduran dirinya itu, mengakui dirinya bersalah! Bahkan setelah secara resmi mundur pun kepada wartawan dengan tegas Setya mengatakan dia tidak bersalah. Dia mundur bukan karena mengakui telah bersalah, dia mundur, kata dia, untuk meredakan kegaduhan yang telah terjadi, “demi kepentingan bangsa dan negara”.
Di dalam sidang pengadilan biasa saja, sekalipun terdakwa telah mengakui bersalah, mengakui semua perbuatan yang dituduhkan jaksa kepadanya, hakim tetap meneruskan sidang terhadapnya untuk secara resmi demi kepastian hukum membaca keputusan dan vonis hukuman terhadap terdakwa itu.
Setelah Setya menyerahkan surat pengunduran dirinya dan dibacakan di sidang MKD, Ketua MKD Surahman Hidayat menyatakan sidang MKD tidak perlu lagi dilanjutkan, karena terduga (Setya Novanto) sudah mengundurkan diri. Kemudian dia bilang, sejak 16 Desember 2015 itu, Setya Novanto tidak lagi menjabat sebagai Ketua DPR RI. "Jadi Alhamdulillah sudah berakhir, happy ending," katanya.
Happy ending? Apanya yang happy ending? Apakah diakira rakyat begitu bodoh sehingga tidak memahami skenario yang mereka mainkan itu? Ya, benar happy ending, tetapi happy ending untuk Setya Novanto.
Setelah sandiwara-sandiwara tersebut mereka mainkan dengan sukses menghantarkan Setya Novanto menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar, mungkin saja para petinggi Golkar, seperti Aburizal Bakrie, Tantowi Yahya, dan tentu saja Setya Novanto sendiri tertawa terbahak-bahak, karena menanggap sukses memperdayai rakyat.
Juga bukankah karakter rakyat Indonesia itu adalah cepat bereaksi dengan berbagai aksi protes, kritik, kecaman, dan olok-oloknya terhadap suatu kejadian yang tidak bisa mereka terima, tetapi cepat pula melupakannya? Seiring dengan berlalunya waktu, mereka pun akan dengan cepat melupakannya. Pengenalan terhadap karakter inilah yang dipakai Golkar dan para konconya itu untuk bertahan dari badai kecaman dari rakyat itu. Nanti kan rakyat capek sendiri, lalu melupkannya semua kejadian terkait Setya Novanto itu. Jadi, tenang sajalah ...
Bagaimana dengan sekelompok anggota DPR yang dipimpin oleh Akbar Faizal dari Partai Nasdem beberapa waktu melancarkan aksinya dengan hastag #SaveDPR? Apakah mereka serius, atau hanya demi pencitraan sesaat? Kita lihat saja bagaimana reaksi mereka dengan aksi Golkar di DPR itu terkait dengan status Setya Novanto.