Pada 16 September 2015, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menghimbau kepada seluruh kepala daerah untuk tidak mencontoh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang terus berkonflik dengan DPRD DKI Jakarta mengenai penggunaan anggaran dan program pembangunan daerah.
Menurut Mendagri, eksekutif dan legislatif harus bersinergi dalam rangka mengusung kerangka anggaran guna merealisasi program pembangunan daerah, bukannya malah terus berkonflik (Rimanews.com).
Saya merasa heran dengan pernyataan Mendagri ini, apakah ia tidak tahu kenapa Ahok berkonflik dengan legislatif selama ini? Bukankah puncak konflik itu terjadi justru ketika Ahok membongkar, dan berhasil mengagalkan anggaran siluman lebih dari Rp. 12 triliun yang hendak disusupi oleh DPRD DKI bekerja sama dengan sejumlah SKPD di RAPBD DKI 2015?
Keberhasilan Ahok menggagalkan penyusupan anggaran siluman di RAPBD DKI 2015 oleh DPRD DKI itu jelas merupakan suatu kerugian besar bagi mereka, karena sesungguhnya dari situlah sumber penghasilan terbesar yang mereka peroleh, yang selama ini, dari tahun-tahun sebelumnya, berlangsung lancar-lancar saja.
Sebaliknya pencoretan semua anggaran siluman itu oleh Ahok sangat menguntungkan rakyat DKI Jakarta pada khususnya, dan merupakan penyelamatan uang negara pada umumnya dari tindakan-tindakan yang diduga kuat merupakan upaya korupsi anggaran itu.
Selama ini, sudah merupakan suatu rahasia umum, dari tahun anggaran satu ke tahun anggaran berikutnya praktek anggaran siluman itu sudah merupakan suatu kelaziman, yang merupakan hasil kolaborasi yang baik, dan “bersinergi” dengan prinsip “TST” (‘tau sama tau’) antara eksekutif di DKI dengan legislatif DKI. Uang rakyat pun dirampok dengan sukses, aman sentosa, dan penuh kenikmatan.
“Pokir” itu wujudnya adalah proyek-proyek siluman seperti pengadaan sejumlah UPS, dan peralatan olah raga sekolah-sekolah di RAPBD DKI 2015, yang kemudian dicoret semuanya oleh Ahok itu, yang membuat banyak anggota DPRD DKI itu meradang.
Akibatnya, tahun 2015 ini sejumlah anggota DPRD DKI pun hidupnya “merana” dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, karena tidak bisa menikmati penghasilan dari anggaran siluman itu. Maka, tak heran dendam membara selalu menyala-nyala di dalam dada mereka kepada Ahok. Konflik terbuka dengan Gubernur Ahok pun kerap terjadi, karena sikap Ahok yang tidak mau bertoleransi dan berkompromi dengan mereka untuk meloloskan anggaran siluman tersebut.
Diduga karena mengalami trauma dengan apa yang terjadi pada “perang” melawan Gubernur Ahok di RAPBD DKI 2015 itu, pada menjelang pembicaraan RAPBD DKI 2016, Wakil Ketua DPRD DKI dari Partai Gerindra Mohammad Taufik pun menyatakan keluhannya dengan gaya memelas mengenai gajinya sebagai pimpinan DPRD DKI yang dinilainya jauh dari cukup, meskipun sudah ditambah dengan berbagai macam tunjangan. Padahal ia yang sudah dua periode menjadi anggota DPRD DKI itu pasti lebih dari tahu sejak sebelum menjadi anggota Dewan, berapa penghasilan resmi (legal) sebenarnya dari anggota, maupun pimpinan DPR DKI Jakarta itu.
"Kuranglah orang gaji pokok cuma Rp 6 juta. Saya baru lihat tabungan di Bank DKI ya sebulan Rp 22 jutaan itu termasuk gaji sama tunjangan semuanya," ujar Taufik di Gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Senin (28/9/2015).
Taufik pun mengharapkan Mendagri menaikkan gaji Gubernur Ahok. Oh, betapa baiknya dan perhatiannya Taufik kepada Ahok? Ternyata tidak, ia mengharapkan Mendagri menaikkan gaji Gubernur DKI dikarenakan sesuai dengan Undang-Undang, maka gaji pimpinan DPRD DKI paling banyak maksimum 75 persen dari gaji Gubernur DKI. Dengan dinaikkan gaji Gubernur DKI, maka otomatis gaji dia sebagai pimpinan DPRD DKI pun berpeluang untuk ikut naik juga.
"Kalau soal kenaikan gaji itu usulannya gaji gubernur harus dinaikkin juga. Kita minta Mendagri naikin dong gaji gubernur," ujar dia (Kompas.com).
Padahal, sampai hari ini, sebagian besar anggota dan jajaran pimpinan DPRD DKI, termasuk Taufik dan Haji Lulung (yang merupakan “musuh utama” Ahok dalam konflik tersebut) belum melaporkan harta kekayaannya kepada KPK (Kompas.com).
Dengan latar belakang seperti ini, bukankah sangat mengherankan Mendagri Tjahjo Kumolo malah menghimbau kepada seluruh kepala daerah di seluruh Indonesia jangan mencontoh Gubernur DKI Jakarta Ahok yang berkonflik dengan DPRD DKI. Padahal konflik itu terjadi justru karena upaya keras Ahok menyelamatkan uang negara dari korupsi anggaran yang dikamuflasekan dengan berbagai proyek abal-abal dari DPRD DKI itu. Konflik itu terjadi karena Gubernur Ahok tidak mau berkompromi dengan DPRD DKI meloloskan anggaran siluman bernilai lebih dari Rp. 12 triliun itu. Jika, tidak ada anggaran siluman itu, pastilah tidak ada konflik itu.
Seolah-olah Tjahjo Kumolo hendak bilang kepada semua kepala daerah itu agar bertoleransi dan berkompromi sajalah dengan DPRD-DPRD setempat, sekalipun seandainya mengetahui adanya praktek-praktek anggaran siluman seperti yang terjadi di DKI Jakarta itu. Jangan cari keributan, “pura-pura tidak tahu sajalah”, supaya tidak terjadi konflik seperti di DKI itu.
Apakah bagi Tjahjo, yang terpenting adalah eksekutif dan legislatif harus bersinergi dalam rangka mengusung kerangka anggaran guna merealisasi program pembangunan daerah, sekalipun di balik itu itu sesungguhnya terdapat program-program kerja berwujud proyek-proyek abal-abal dengan dana silumannya, seperti rancangan anggaran pengadaan UPS di DKI Jakarta. Kepala daerah pura-pura tidak tahu saja, agar hubungannya dengan legislatif selalu baik.
Tjahjo Kumolo bilang kepada seluruh kepala daerah se-Indonesia supaya jangan mencontoh Gubernur DKI Jakarta, Ahok yang berkonflik terus dengan DPRD DKI (karena berperang melawan korupsi anggaran). Lalu, kepada kepala daerah yang mana, Tjahjo hendak himbaukan kepada seluruh kepala daerah untuk menjadikannya contoh?
Mungkinkah mencontoh kepada Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pudjo Notonegoro, yang mempunyai hubungan yang sangat baik dengan DPRD Sumatera Utara, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini? Apalagi berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan RI terhadap laporan keuangan 2014 Provinsi ini adalah wajar tanpa pengecualian (WTP)? Sedangkan terhadap hasil audit yang sama Provinsi DKI Jakarta tidak memperoleh predikat yang sama, atau berpredikat wajar dengan pengecualian itu.
Contoh terbaik yang bisa diambil adalah apa yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, dengan terjadinya “hubungan yang begitu baik” antara Gubernur Sumut Gatot Pudjo Nugroho dengan DPRD Sumut, terkait kasus penggunaan dana bantuan sosial (bansos), dan persoalan etika sang Gubernur yang menikahi seorang perempuan muda bernama Evy Susanti, sebagai istri keduanya.
Atas kasus tersebut sebagian besar anggota DPRD Sumut telah sepakat untuk menggunakan Hak Interpelasinya kepada Gubernur Gatot. Jika Hak Interpelasi itu benar-benar digunakan, maka besar kemungkinan berujung pada pemakzulan sang Gubernur.
Wacana penggunaan hak interpelasi terhadap Gubernur Gatot menguat pada Maret 2015. Sebanyak 57 dari 100 anggota DPRD Sumut membubuhkan tanda tangan untuk mengajukan Hak Interpelasi. Namun, demi “hubungan baik” antara DPRD dengan Gubernur Sumut itu, maka pada rapat paripurna 20 April, tiba-tiba DPRD berbalik sikap seratus delapan puluh derajat, sepakat untuk mencabut kembali Hak Interpelasi itu. Dari 88 dari 100 anggota DPRD Sumut yang hadir, 52 orang menolak penggunaan hak tersebut, 35 orang menyatakan persetujuan, dan satu bersikap abstain.
Lolos dari jerat interpelasi DPRD Sumut yang mendadak begitu baik kepadanya, Gubernur Gatot dijerat oleh Kejaksaan Tinggi Sumut. Kasus dana hibah dan bantuan sosial tersebut dipersoalkan oleh Kejaksaan, Gatot beserta jajarannya pun hendak diperiksa. Tidak terima, Pemprov Sumut menggugat Kejaksaan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Sumut di Medan.
Di PTUN Sumut, hakim memenangkan Pemprov Sumut, dan Kejaksaan diwajibkan menghentikan penyelidikan terhadap persoalan penggunaan dana bantuan sosial oleh Pemprov Sumut itu.
Diam-diam KPK mencium adanya suap dalam keputusan tersebut, akhirnya berhasil menangkap tangan tiga hakim, termasuk Ketua PTUN Sumut, dan seorang panitera dari PTUN Medan, serta seorang pengacara Pemprov Sumut dari Kantor Pengacara OC Kaligis yang saat menyerahkan uang suap.
Menyusul kemudian pengacara O.C Kaligis, Gubernur Gatot Pudjo Nugroho, dan istri keduanya Evy Susanti juga ikut ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK terkait kasus suap itu.
Sedangkan untuk kasus dugaan korupsi dalam penggunaan dana bantuan sosial oleh Gubernur Sumut, Gatot Pudjo Notonegoro itu, tetap diteruskan penyidikannya oleh Kejaksaan Agung.
**
Kasus di Provinsi Sumatera Utara itu bisa terjadi karena adanya upaya menjaga hubungan baik antara DPRD dengan Gubernur Sumut itu. Mereka bisa saja terus bersinergi bersama menjalankan pembangunan dan program-program kerja Provinsi tanpa terjadi konflik di antara mereka berdasarkan prinsip “tahu sama tahu”, tanpa mempersoalkan lagi masalah penggunaan dana bantuan sosial oleh Gubernur Sumut itu.
Apalagi Badan Pemeriksa Keuangan RI telah memberikan opini wajar tanpa pengecualian terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Sumatera Utara tahun 2014.
Hubungan baik, dan saling bersinergi antara kepala daerah dengan DPRD Sumatera Utara itu bisa tetap berlangsung baik tanpa konflik karena adanya prinsip “tahu sama tahu” di antara mereka itu, seandainya saja dari pihak Kejaksaan Tinggi Sumut tidak mempersoalkan lagi penggunaan dana bantuan sosial oleh Gubernur Gatot itu (yang kemudian kasusnya berlanjut dan berkembang seperti sekarang), maka besar kemungkinan harapan Mendagri Tjahjo Kumolo bahwa kepala daerah dengan DPRD selalu harus menjaga hubungan baik di antara mereka itu, benar-benar terkabul di Provinsi Sumatera Utara.
Dengan begitu, mungkin saja, Mendagri Tjahjo Kumolo akan dengan bangga menghimbau kepada seluruh kepala daerah se-Indonesia agar mencontohi hubungan yang begitu baik antara Gubernur Sumut dengan DPRD Sumut. “Jangan mencontohi Ahok di DKI Jakarta, tetapi mencotihilah Gubernur Gatot di Sumatera Utara!”
Tetapi karena ternyata terbongkar di balik hubungan baik itu terdapat dugaan adanya kebusukan korupsi anggaran, maka tentu saja Tjahjo tak mungkin mau memberi himbauan seperti itu. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H