Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Jangan Contohi Ahok!"

29 September 2015   09:57 Diperbarui: 29 September 2015   10:08 2954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Taufik pun mengharapkan Mendagri menaikkan gaji Gubernur Ahok. Oh, betapa baiknya dan perhatiannya Taufik kepada Ahok? Ternyata tidak, ia mengharapkan Mendagri menaikkan gaji Gubernur DKI dikarenakan sesuai dengan Undang-Undang, maka gaji pimpinan DPRD DKI paling banyak maksimum 75 persen dari gaji Gubernur DKI. Dengan dinaikkan gaji Gubernur DKI, maka otomatis gaji dia sebagai pimpinan DPRD DKI pun berpeluang untuk ikut naik juga.

"Kalau soal kenaikan gaji itu usulannya gaji gubernur harus dinaikkin juga. Kita minta Mendagri naikin dong gaji gubernur," ujar dia (Kompas.com).


Padahal, sampai hari ini, sebagian besar anggota dan jajaran pimpinan DPRD DKI, termasuk Taufik dan Haji Lulung (yang merupakan “musuh utama” Ahok dalam konflik tersebut) belum melaporkan harta kekayaannya kepada KPK (Kompas.com).


Dengan latar belakang seperti ini, bukankah sangat mengherankan Mendagri Tjahjo Kumolo malah menghimbau kepada seluruh kepala daerah di seluruh Indonesia jangan mencontoh Gubernur DKI Jakarta Ahok yang berkonflik dengan DPRD DKI. Padahal konflik itu terjadi justru karena upaya keras Ahok menyelamatkan uang negara dari korupsi anggaran yang dikamuflasekan dengan berbagai proyek abal-abal dari DPRD DKI itu. Konflik itu terjadi karena Gubernur Ahok tidak mau berkompromi dengan DPRD DKI meloloskan anggaran siluman bernilai lebih dari Rp. 12 triliun itu. Jika, tidak ada anggaran siluman itu, pastilah tidak ada konflik itu.

Seolah-olah Tjahjo Kumolo hendak bilang kepada semua kepala daerah itu agar bertoleransi dan berkompromi sajalah dengan DPRD-DPRD setempat, sekalipun seandainya mengetahui adanya praktek-praktek anggaran siluman seperti yang terjadi di DKI Jakarta itu. Jangan cari keributan, “pura-pura tidak tahu sajalah”, supaya tidak terjadi konflik seperti di DKI itu.

Apakah bagi Tjahjo, yang terpenting adalah eksekutif dan legislatif harus bersinergi dalam rangka mengusung kerangka anggaran guna merealisasi program pembangunan daerah, sekalipun di balik itu itu sesungguhnya terdapat program-program kerja berwujud proyek-proyek abal-abal dengan dana silumannya, seperti rancangan anggaran pengadaan UPS di DKI Jakarta. Kepala daerah pura-pura tidak tahu saja, agar hubungannya dengan legislatif selalu baik.

Tjahjo Kumolo bilang kepada seluruh kepala daerah se-Indonesia supaya jangan mencontoh Gubernur DKI Jakarta, Ahok yang berkonflik terus dengan DPRD DKI (karena berperang melawan korupsi anggaran). Lalu, kepada kepala daerah yang mana, Tjahjo hendak himbaukan kepada seluruh kepala daerah untuk menjadikannya contoh?

Mungkinkah mencontoh kepada Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pudjo Notonegoro, yang mempunyai hubungan yang sangat baik dengan DPRD Sumatera Utara, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini? Apalagi berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan RI terhadap laporan keuangan 2014 Provinsi ini adalah wajar tanpa pengecualian (WTP)? Sedangkan terhadap hasil audit yang sama Provinsi DKI Jakarta tidak memperoleh predikat yang sama, atau berpredikat wajar dengan pengecualian itu.

Contoh terbaik yang bisa diambil adalah apa yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, dengan terjadinya “hubungan yang begitu baik” antara Gubernur Sumut Gatot Pudjo Nugroho dengan DPRD Sumut, terkait kasus penggunaan dana bantuan sosial (bansos), dan persoalan etika sang Gubernur yang menikahi seorang perempuan muda bernama Evy Susanti, sebagai istri keduanya.

Atas kasus tersebut sebagian besar anggota DPRD Sumut telah sepakat untuk menggunakan Hak Interpelasinya kepada Gubernur Gatot. Jika Hak Interpelasi itu benar-benar digunakan, maka besar kemungkinan berujung pada pemakzulan sang Gubernur.

Wacana penggunaan hak interpelasi terhadap Gubernur Gatot menguat pada Maret 2015. Sebanyak 57 dari 100 anggota DPRD Sumut membubuhkan tanda tangan untuk mengajukan Hak Interpelasi. Namun, demi “hubungan baik” antara DPRD dengan Gubernur Sumut itu, maka pada rapat paripurna 20 April, tiba-tiba DPRD berbalik sikap seratus delapan puluh derajat, sepakat untuk mencabut kembali Hak Interpelasi itu. Dari 88 dari 100 anggota DPRD Sumut yang hadir, 52 orang menolak penggunaan hak tersebut, 35 orang menyatakan persetujuan, dan satu bersikap abstain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun